Mohon tunggu...
Muhtolib
Muhtolib Mohon Tunggu... Freelancer - Seneng ngopi sambil bermacapat

Berbagi yukk

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menyiasati Ancaman Golput di Pemilu 2024

22 Maret 2022   23:58 Diperbarui: 23 Maret 2022   18:15 2225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi golput. (DOK KOMPAS/HANDINING via kompas.com)

Ada berbagai alasan seseorang menggunakan hak pilihnya atau tidak dalam pelaksanaan pemilu. Dari alasan idealis hingga pragmatis. Bila tidak menggunakan hak pilih, salahkah? 

Meski punya alasan kuat, karena tidak sesuai dengan visi misi calon atau pemilih tidak punya keyakinan kuat pada calon pemimpin bahwa akan ada perubahan setelah terpilihnya nanti.

Pertanyaan tadi tidak dihukumi benar atau salah, karena bukan sebuah larangan. Itu kan hak politik kita. Golput sering diartikan sebagai  golongan putih. Namun, dalam konteks ini golput tidak bisa disamakan dengan "golongan". Karena lebioh bersifat individu.

Istilah golput muncul pada pemilu 1971 oleh seorang sosiolog sekaligus aktivis, Arif Budiman, Kakak dari Soe Hok Gie. Alasan golput waktu itu karena pemerintah membatasi jumlah partai dan keberadaan partai lain hanya sebagai pelengkap. 

Dari tahun ke tahun, isu golput selalu muncul dipergelaran pemilu. Bila melihat angka golput sejak pemilu 1971, tren-nya cenderung naik. Meski pernah mengalami penurunan, tapi sebagian besar pemilu, angka golputnya naik.

Angka partisipasi pemilih bersumber dari  Ditpolkom Bappenas menyebutkan bahwa rentang pemilu 1971 hingga 1997 golput cenderung relatif kecil, tidak melebihi 10% karena saat itu pemerintah sangat kuat melakukan pressure terhadap partisipan.  

Namun, dalam 3 kurun waktu pemilu terakhir, yakni 2009, 2014, dan 2019 angka golput selalu lebih dari 10%. Secara keberhasilan pemilu, dengan faktor partispasi pemilih, bisa jadi lebih baik pada masa orde baru. 

Angka golput yang melebihi 10% belum tentu pemilu itu menjadi buruk. Amerika yang sudah mapan berdemokrasi, angka golputnya bisa mencapai 40%. Tapi, hal ini tidak bisa menjadi pembenaran bagi siapapun untuk menjadi golput pada pemilu 2024.

Golput, menurut Arif Budiman terbagi dalam tiga kategori; golput murni, golput kecelakaan, dan golput sadar. 

Golput murni diartikan sebagai memilih untuk tidak menggunakan hak pilih karena alasan prinsipil, seperti; masa orba yang hanya boleh memilih 3 parpol saja, partisipan  lebih ditekankan diarahkan pemerintah untuk memilih partai tertentu pada saat itu. 

Golput kecelakaan, pemilih tidak menggunakan hak pilihnya karena sakit atau sebab lain diluar kehendaknya. Sedangkan Golput sadar adalah keinginan pemilih untuk tidak menggunakan hak suaranya sebagai bentuk protes aturan pemilu.

Pemilu 2019, bila melihat data KPU, partisipan pemilih naik 6% dibanding pemilu 2014, bahkan melampui target target nasional, yakni 81% dari 199.987.870 pemilih. 

Sementara pada pemilu 2014, partisipasi pemilih sebesar 75%. Artinya, ada penurunan jumlah golput di 2 tahun pemilu terakhir. Keberhasilan ini bisa menjadi indikator kepercayaan masyarakat pada lembaga penyelenggara pemilu, pemerintah, maupun partai politik.

Lalu, Bagaimana dengan pemilu 2024? Begitu banyak drama sebelum perhelatan pemilu digelar. Banyak fenomena dan kejadian yang selalu dikaitkan dengan kepentingan politik. 

Sebutan "kampret, kadrun, dan cebong" pun masih terus mengiang di telinga kita, padahal sebutan itu muncul di pemilu 2019. Isu penundaan pemilu juga santer didengar karena memang para elit politik sendiri yang menyuarakannya. 

Di samping isu-isu yang sangat berdampak pada masyarakat bisa, seperti kelangkaan dan mahalnya minyak goreng. Kenaikan sejumlah bahan makanan pokok. Apakah ini menjadi ancaman golput di pemilu 2024?

Lantas, bagaimana menyiasati golput di pemilu 2024? Hal yang patut kita persiapkan adalah memahami alasan individu untuk golput. Meski, kita bisa katakana bahwa golput hari ini dengan golput pada pemilu 1971 itu sudah berbeda. 

Dulu, bisa jadi karena alasan prinsipil. Tapi, sekarang golput bisa jadi karena mereka apatis terhadap pemilu. Mereka beranggapan bahwa ada atau tidaknya pemilu, kehidupan akan tetap seperti itu, tidak berpengaruh dengan dirinya.

Bagi pemilih yang apatis tentu sangat susah mengubah pola pikirnya sebelum mereka membuka diri untuk berdiskusi tentang golput. 

Namun, kita bisa meminimalisir golput ini dari kategori tadi, yaitu golput murni dan golput sadar. Langkah pertama adalah Partai politik harus selektif dalam memilih kadernya. 

Pemilihan orang/tokoh untuk menjadi wakil rakyat/presiden sesuai keinginan pemilih menjadi pemicu seseorang untuk mendatangi TPS. Kedua, aturan/regulasi pemilu yang sederhana bagi pemilih untuk datang ke TPS. 

Saya sering melihat pemilihan kepala desa di kampung-kampung. Angka partisipasinya sangat tinggi. Bahkan sampai ke TPS pun para pemilih dijemput untuk menggunakan hak pilihnya, terutama yang secara geografis susah aksesnya. 

Penggunaan IT juga sangat membantu kelancaran, agar pemilih tidak terlalu lama atau mengantri di TPS. Menggunakan barcode pada surat pendaftaran pemilih akan mempercepat proses di TPS dan menghemat anggaran tinta untuk pemilu.

Kreativitas dan pelibatan publik dalam setiap tahapan pemilu menjadi kunci untuk menyiasati ancaman golput di pemilu 2024. Pemilu tidak lagi memandang bahwa masyarakat hanya dibutuhkan saat hari pemungutan suara saja. 

Pemilu tidak dipandang sebagai ritual 5 tahuan saja. Pemilu tidak hanya dipandang sebagai hajat KPU dan partai politik saja. Menjadikan masyarakat sebagai "subyek" bukan obyek dalam pemilu akan lebih membawa kehidupan demokrasi menjadi bermakna.**

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun