Mohon tunggu...
Muhtolib
Muhtolib Mohon Tunggu... Freelancer - Seneng ngopi sambil bermacapat

Berbagi yukk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Njlimet"-nya Minyak Goreng

21 Maret 2022   08:54 Diperbarui: 21 Maret 2022   09:00 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Njlimet-nya" Minyak Goreng

Beberapa minggu terakhir sempat  trending di twitter, seorang ketua umum partai politik terbesar yang mengatakan "apakah ibu-ibu, setiap hari kerjanya hanya menggoreng saja?". Perkataan ini bisa jadi mengarah pada sejauhmana kreativitas ibu-ibu di Indonesia manakala menyikapi keterbatasan minyak goreng. 

Artinya, kita harus kreatif dan tidak selalu mengandalkan minyak goreng dalam setiap proses olahan masakan kita. Reaksipun muncul dari berbagai kalangan masyarakat. Yang lebih unik, ada yang menggabungkan video ucapan ketum partai tersebut dengan seorang budayawan. 

Dalam potongan video, budayawan menyebut bahwa kita tidak boleh menuntut ketum partai itu memahami keadaan kita, karena memang beliau sudah terlahir jadi anak presiden, hidup tidak pernah ngutang, dan tidak pernah merasakan susah, seperti masyarakat biasa.

Pernyataan ini sebenarnya tidak akan menjadi permasalahan manakala ketersediaan minyak goreng terpenuhi dan juga terjangkau harganya oleh masyarakat. Presiden sebelumnya juga pernah mengatakan hal yang sama bahwa kita tidak harus mengandalkan nasi sebagai makanan utama. 

Hal ini dianggap sebagai inspirasi sehingga memunculkan kreativitas makanan yang terbuat dari selain beras. Tapi, memang kondisi beras saat itu juga tersedia dan terjangkau.

Beda halnya dengan minyak goreng. Hampir setiap pagi, saya disuguhkan kopi dan gorengan. Sepertinya ada yang "hilang" bila pagi tidak bertemu gorengan. Artinya ada sebagian masyarakat yang memang sangat bergantung dengan gorengan untuk sarapan paginya.  

Gorengan sudah menggantikan posisi nasi. Itu pun menjadi kreativitas baru di masyarakat, tidak semua menggantungkan makanannya pada beras, terutama di pagi hari. 

Dan hari ini kita dituntut untuk berkreativitas lagi, mengganti masakan olahan selain digoreng. "Weleh..weleh...cuk..cuk..." Sejauh ini yang saya tahu, hanya produk mie goreng yang cara masaknya tidak digoreng, melainkan direbus.

Mempertanyakan kemampuan orang lain untuk menutupi kelemahan kita tentu bukanlah tindakan bijak, apalagi seorang negarawan. Kreativitas dituntut makanala ketersediaaan alam kita yang memang tidak memenuhi/terbatas, itu hal yang wajar, malah sebuah keharusan. Tapi, kreativitas diminta hadir karena mengikuti keinginan para pengusaha minyak goreng tentu hal ini tidak bisa disamakan.

Keberadaan negara untuk melindungi rakyatnya menjadi pertanyaan. Ketidakmampuan memenuhi hak warga negara untuk menjamin kesejahteraan juga patut dipertanyakan. Lantas, pantaskah mempertanyakan "njlimetnya" masyarakat dalam mengolah makanan hingga yang terus mengandalkan minyak goreng?

"Njlimet" artinya rumit atau ruwet. Keadaan yang menggambarkan situasi serba sulit karena sesuatu hal. Biasanya situasi seperti ini menuntut kita untuk melakukan kreativitas tertentu untuk keluar dari ruwetnya keadaan.

Berbicara minyak goreng, berarti berbicara pengolahan makanan. Higienitas menjadi ukuran dalam pemenuhan standar kesehatan. Bila pemerintah tetap memberikan harga minyak goreng pada pasar, maka harga akan semakin naik. 

Konsumsi minyak goreng kemasan yang tentu telah memenuhi standar higienitas akan berkurang, karena daya beli masyarakat akan turun. Masyarakat akan memilih minyak curah, karena harga terjangkau. Sepintas ini akan menyelesaikan masalah kelangkaan minyak. 

Namun, apa akibatnya, bila masyarakat banyak yang mengkonsumsi minyak curah. Tahun 2019 pemerintah melarang peredaran minyak curah karena dituding tidak higienis, tidak ada jaminan kesehatan. 

Bila demikian faktanya, kita bisa mengalami krisis kesehatan di masyarakat. Daya tahan tubuh menurun dan rentan penyakit. Belum lagi, pengaruh kecerdasan anak karena terlalu seringnya mengonsumsi makanan olahan dengan minyak goreng curah.

Kaitan dengan ekonomi, konteksnya adalah pendapatan masyarakat. Jelas ini sangat berpengaruh. Sebagian besar kuliner kita mengandalkan minyak goreng sebagai sarana memasak. 

Bila harga minyak naik, maka makanan yang menggunakan yang pengolahannya digoreng pasti akan naik. Daya beli masyarakat pasti akan menurun. Jual mahal tidak laku, jual murah tidak kembali modal. Njlimet!

Padahal, sampai hari ini masyarakat selalu berupaya untuk tidak membebani apapun terhadap negaranya. Masyarakat berjuang sendiri untuk hidupnya, untuk kesejahteraannya. 

Mereka berpikir sendiri untuk memperoleh penghidupan, mencari pekerjaannya, bila tidak mencukupi, dia harus rela menjadi pekerja migran ke luar negeri, bahkan masyarakat pun masih mau mengantri untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk minyak goreng.

Njlimet-nya minyak goreng menjadi cerminan betapa njlimet-nya cara berpikir pemerintah, elit politik, para pengambil kebijakan, maupun para pengusaha. 

Apa kepentingannya, apa keuntungannya, dan apa yang diinginkan mereka dari masyarakat. Apapun itu, masyarakat hanya ingin ngopi dan makan gorengan dengan penuh senyum, guyon, dan berlepasan**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun