Mohon tunggu...
Muhtolib
Muhtolib Mohon Tunggu... Freelancer - Seneng ngopi sambil bermacapat

Berbagi yukk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Njlimet"-nya Minyak Goreng

21 Maret 2022   08:54 Diperbarui: 21 Maret 2022   09:00 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Njlimet" artinya rumit atau ruwet. Keadaan yang menggambarkan situasi serba sulit karena sesuatu hal. Biasanya situasi seperti ini menuntut kita untuk melakukan kreativitas tertentu untuk keluar dari ruwetnya keadaan.

Berbicara minyak goreng, berarti berbicara pengolahan makanan. Higienitas menjadi ukuran dalam pemenuhan standar kesehatan. Bila pemerintah tetap memberikan harga minyak goreng pada pasar, maka harga akan semakin naik. 

Konsumsi minyak goreng kemasan yang tentu telah memenuhi standar higienitas akan berkurang, karena daya beli masyarakat akan turun. Masyarakat akan memilih minyak curah, karena harga terjangkau. Sepintas ini akan menyelesaikan masalah kelangkaan minyak. 

Namun, apa akibatnya, bila masyarakat banyak yang mengkonsumsi minyak curah. Tahun 2019 pemerintah melarang peredaran minyak curah karena dituding tidak higienis, tidak ada jaminan kesehatan. 

Bila demikian faktanya, kita bisa mengalami krisis kesehatan di masyarakat. Daya tahan tubuh menurun dan rentan penyakit. Belum lagi, pengaruh kecerdasan anak karena terlalu seringnya mengonsumsi makanan olahan dengan minyak goreng curah.

Kaitan dengan ekonomi, konteksnya adalah pendapatan masyarakat. Jelas ini sangat berpengaruh. Sebagian besar kuliner kita mengandalkan minyak goreng sebagai sarana memasak. 

Bila harga minyak naik, maka makanan yang menggunakan yang pengolahannya digoreng pasti akan naik. Daya beli masyarakat pasti akan menurun. Jual mahal tidak laku, jual murah tidak kembali modal. Njlimet!

Padahal, sampai hari ini masyarakat selalu berupaya untuk tidak membebani apapun terhadap negaranya. Masyarakat berjuang sendiri untuk hidupnya, untuk kesejahteraannya. 

Mereka berpikir sendiri untuk memperoleh penghidupan, mencari pekerjaannya, bila tidak mencukupi, dia harus rela menjadi pekerja migran ke luar negeri, bahkan masyarakat pun masih mau mengantri untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk minyak goreng.

Njlimet-nya minyak goreng menjadi cerminan betapa njlimet-nya cara berpikir pemerintah, elit politik, para pengambil kebijakan, maupun para pengusaha. 

Apa kepentingannya, apa keuntungannya, dan apa yang diinginkan mereka dari masyarakat. Apapun itu, masyarakat hanya ingin ngopi dan makan gorengan dengan penuh senyum, guyon, dan berlepasan**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun