Mohon tunggu...
Muhtolib
Muhtolib Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di STAI Nurul Iman Parung Bogor

Nama Muhtolib, Dipanggil tholib, berasal dari desa Luweng Kidul, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. sekarang tinggal di Parung Bogor Jawa Barat. Riwayat pendidikan SDN Luweng Lor (2000), MTs Ma'arif NU Pituruh (2003), MAN Purworejo (2006), STAI Nurul Iman (2011), S2 Institut PTIQ Jakarta (2018), S3 Beasiswa LPDP-Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal 2023 (Univ. PTIQ Jakarta), hoby traveling.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelisik Makna Suro dalam Tradisi Jawa dengan Tradisi Islam

25 Juli 2023   11:31 Diperbarui: 25 Juli 2023   13:22 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://indonesiakaya.com/

Istilah kata  Suro sudah lama dikenal di Indonesia terutama masyarakat Jawa.  Kata Suro sendiri berasal dari bahasa Arab (‘asyura) yang berarti kesepuluh yakni hari ke-10. Istilah Suro itu kemudian dijadikan sebagai bulan permulaan hitungan jawa. Sementara itu dalam kalender Islam, istilah suro sebagaimana yang telah dipahami oleh mayoritas masyarakat Islam di Indonesia, adalah bulan Muharam. Sementara pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab. Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura. Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran. Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura adalah hari raya bersejarah. Pada hari itu setiap suku mengadakan perayaan dengan mengenakan pakaian baru dan menghias kota-kota mereka. Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai kelompok Yazidi, merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka cita. Dalam tradisi Sunni Sebelum Islam, Hari 'Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa orang Mekkah biasanya melakukan puasa.

 Sedangkan sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai bahwa malam satu Suro (‘asyura) memang malam istimewa. Tradisi malam satu Suro konon dimulai pada zaman Sultan Agung. Pada saat itu, masyarakat pada umumnya masih mengikuti sistem penanggalan tahun Saka (Klender warisan dari tradisi Hindu). Sementara Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam). Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa, kemudian berinisiatif  memadukan antara kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa. Penyatuan kalender tersebut konon dimulai sejak hari Jum’at Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau bertepatan dengan 8 Juli 1633 Masehi. Pada masa itu, peringatan malam tahun baru yakni malam 1 Suro, Sultang Agung mulai mengakar pada kebudayaan Jawa, yang mana tidak boleh berbuat sembarangan dan bersikap prihatin. Dari tradisi tersebut, kemudian masyarakat menganggap bahwa ketika 1 Suro, yang dimulai pada hari Jumat legi itu  menjadi malam keramat (mistik). Bahkan dianggap sial jika ada sesorang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, haul, dan ziarah kepada para leluhur. Oleh karena itu, sampai sekarang masih terdapat pantangan pada malam 1 suro, bagi sebagian masyarakat Jawa untuk keluar rumah yang tidak ada manfaatnya, tidak boleh berbicara atau berisik pada malam tersebut, tidak boleh mengadakan acara pernikahan pada bulan suro, tidak boleh melakukan pindah rumah, dan masih banyak yang lainnya.

Tradisi memperingati malam 1 Suro sampai saat ini, setiap tahunnya selalu diadakan oleh masyarakat Jawa. 1 suro biasanya diperingati pada malam hari setelah waktu maghrib. Sebab, pergantian hari pada kalender Jawa terhitung dimulai pada saat matahari terbenam, bukan pada tengah malam. Beragam tradisi seringkali digelar untuk menyambut bulan Suro seperti jamas pusoko, ruwatan, hingga tapa brata. Dalam tradisi keraton misalnya, para abdi dalem keraton mengarak hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta kirab benda pusaka. seperti yang dilakukan di Keraton Surakarta. Peringatan  1 Suro dilakukan dengan cara bersyukur, tafakur (merenung) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang dipusatkan di Masjid Pujasana. Kemudian melaksanakan kirab pusaka di luar tembok keraton dan ada juga mengikutsertakan kebo bule yang dianggap sebagai bentuk pusaka keraton.

Berbeda halnya dari Keraton Solo, di Yogyakarta perayaan malam 1 Suro biasanya identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab. Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam 1 Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan do’a dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya (malapetaka). Selain itu, terdapat pula tradisi mubeng beteng atau mengelilingi benteng keraton. Disisi lain Ada juga dilakukan masyarakat Jawa untuk menyambut 1 Suro, yakni melakukan laku prihatin untuk tidak tidur semalaman. Aktivitas yang dilakukan adalah tirakatan, biasanya menyaksikan kesenian wayang samapai pagi, dan acara kesenian lainnya. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling lan wasp0do. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat kepada Tuhan. Sementara waspodo berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.

Lalu bagaiamana sebenarnya makna muharam dalam tradisi Islam? Secara etimologis Muharam berarti bulan yang diutamakan dan dimuliakan. Makna bahasa ini memang tidak terlepas dari makna simbolik yang melekat pada bulan itu, karena Muharam sarat dengan berbagai peristiwa sejarah baik kenabian maupun kerasulan. Muharam dengan demikian merupakan momentum sejarah yang sarat makna. Bagi sebagian masyarakat Islam di Indonesia, bulan Muharram adalah bulan istimewa. Sebagai bulan pertama tahun Hijriyah, Muharam menjadi momen muhasabah (intropeksi diri) akan amal masa lalu guna menjadi pedoman langkah masa depan. Muharam menjadi penentu untuk tahun berikutnya. Oleh karena itu, Muharam dipercaya memantulkan nuansa peribadatan seseorang dalam satu tahun ke depan. bulan Muharam, amal yang shalih di bulan ini mencitrakan sebelas bulan lainnya. Dengan demikian Muharam mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan bulan lainnya. Wajar saja jika umat muslim berbondong-bondong melakukan kebaikan, ibadah maupun sedekah pada bulan ini.

Secara historis Muharam adalah bulan yang telah lama dikenal sejak pra Islam. Kemudian di zaman Nabi Muhammad SAW, hingga Umar Ibnu Khattab di resmikan sebagai penanggalan tetap Islam yakni dalam Kalender Hijriah. Umat muslim mengenal kalender Hijriyah atau sering juga disebut kalender Islam. Ternyata kalender Islam dan Tahun Baru Islam tercatat pada salah satu ayat Al-Qur'an dan beberapa kali disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW. Awal tahun dalam kalender Islam dimulai dengan bulan Muharam. Bulan Muharam, menjadi satu dari empat bulan dalam kalender Islam yang memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan bulan Muharam sebagai momen Tahun Baru Islam ini disebutkan dalam firman Allah SWT, QS. at-Taubah/9:36:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah itu ada dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa." (At-Taubah/9: 36)

Dalam ayat tersebut di atas, menurut para mufasir 4 bulan yang disebutkan merupakan bulan-bulan yang dimuliakan. Oleh sebab itu, dijelaskan bahwa Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab merupakan bulan yang dipenuhi dengan kemuliaan oleh Allah SWT. Umat Islam pun dilarang melakukan perang pada 4 bulan tersebut. Begitu juga dalam hadist keistimewaan muharam telah dijelaskan dalam sebuah Riwayat, yakni diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda tentang keutamaan puasa di bulan Muharam yakni berada satu tingkat di bawah puasa Ramadhan. "Seseorang datang menemui Rasulullah SAW, ia bertanya, 'Setelah Ramadhan, puasa di bulan apa yang lebih afdhal?' Nabi menjawab, 'Puasa di Bulan Allah, yaitu bulan yang kalian sebut dengan Muharram," (HR Ibnu Majah).

 Selengkapnya dalam kalender Islam, urutan 12 bulan dalam kalender Hijriyah sebagai sistem penanggalan Islam, yang mungkin semakin banyak dilupakan oleh generasi anak muda, nama-nama bulan tersebut  yakni: Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah.

Kenapa disebut bulan Haram ? Para ulama menjelaskan terdapat 2 makna pada istilah Haram. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya. Demikian pula sebaliknya, melakukan amalan ketaatan pada bulan Haram sangat ditekankan. Bulan-bulan Haram dimuliakan, sehingga tidak boleh mengotorinya dengan berbuat kedzaliman, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Bentuk kedzaliman itu adalah meninggalkan apa yang diwajibkan Allah SWT dan melakukan apa yang dilarang. Dengan kata lain, kedzaliman adalah bermaksiat kepada Allah, dengan melanggar larangannya, dan tidak menjalankan perintahnya. Di luar bulan-bulan Haram, ketentuan ini tentu saja juga berlaku. Hanya saja ketika bulan Haram, lebih ditekankan. Artinya, larangan untuk bermaksiat lebih keras, dan perintah untuk berbuat baik lebih ditekankan. Maksiat di bulan Haram dosanya akan lebih besar dibanding pada bulan-bulan lain. Pahala untuk berbuat baik pada bulan ini juga lebih besar dibanding bulan-bulan lainnya. Orang-orang zaman dahulu sejak zaman jahiliyah pun sudah sangat memahami konsep bulan Haram ini. Mereka misalnya tidak mau berperang di bulan haram.

Bulan Muharam juga istimewa karena disebut sebagai syahrullah yaitu bulan Allah,  Hal ini menunjukkan keutamaan, sepertinya ketika menyebut Ka’bah sebagai baitullah (rumah Allah). Salah satu kebaikan yang dianjurkan di bulan Muharam, adalah berpuasa sunnah Asyura, yaitu tanggal 9 dan 10 Muharram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim). Keutamaannya juga sangat luar biasa. “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim). 

Dalam konteks Sejarah nubuwah, bulan Muharam mengingatkan tentang peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad SAW, dan para sahabatnya dari Mekah menuju Madinah. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW, sudah 1445 tahun berlalu, tetapi masih terasa spiritnya hingga kini. Hijrah dapat bermakna sebagai perpindahan secara fisik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Berpindah dari satu negeri yang banyak fitnah ke negeri lain yang lebih kondusif untuk menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Hijrah  juga bermakna secara maknawi (majaz), yaitu perpindahan dari maksiat dan segala apa yang Allah larang menuju ketaatan. Hijrah secara maknawi adalah hijrahnya seorang mukmin dari apa yang dilarang Allah SWT kepada apa yang diperintahkan oleh-Nya. Muharam yang menjadi permulaan bulan diperingati sebagai awal kebangkitan. Di bulan ini, sambil memperingati tahun baru hijriah, umat Islam menyelenggarakan berbagai kegiatan Islami yang bermanfaat. Imbasnya pun ke Indonesia, berbagai kegiatan pun dilakukan diantaranya membaca do’a akhir tahun dan awal tahun Hijriyah, disisi lain ada yang mengadakan pawai obor dari kampung ke kampung, untuk menunjukkan semangat kebangkitan. Pada bulan Muharam itu pula Tuhan membuka luas rahmat-Nya, sehingga manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba memperoleh rahmat itu. Dari uraian di atas, maka bisa kita pahami bahwa, makna Suro dalam tradisi Jawa ternyata masih memiliki relasi makna yang sangat mendalam dalam Tradisi Islam. Tradisi suro dalam masyarakat jawa tidak terlepas dengan misi dakwa  ajaran Islam yang dibawa oleh para penyebar Islam yakni para wali songo. wallahu a'alam...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun