Kenapa disebut bulan Haram ? Para ulama menjelaskan terdapat 2 makna pada istilah Haram. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya. Demikian pula sebaliknya, melakukan amalan ketaatan pada bulan Haram sangat ditekankan. Bulan-bulan Haram dimuliakan, sehingga tidak boleh mengotorinya dengan berbuat kedzaliman, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Bentuk kedzaliman itu adalah meninggalkan apa yang diwajibkan Allah SWT dan melakukan apa yang dilarang. Dengan kata lain, kedzaliman adalah bermaksiat kepada Allah, dengan melanggar larangannya, dan tidak menjalankan perintahnya. Di luar bulan-bulan Haram, ketentuan ini tentu saja juga berlaku. Hanya saja ketika bulan Haram, lebih ditekankan. Artinya, larangan untuk bermaksiat lebih keras, dan perintah untuk berbuat baik lebih ditekankan. Maksiat di bulan Haram dosanya akan lebih besar dibanding pada bulan-bulan lain. Pahala untuk berbuat baik pada bulan ini juga lebih besar dibanding bulan-bulan lainnya. Orang-orang zaman dahulu sejak zaman jahiliyah pun sudah sangat memahami konsep bulan Haram ini. Mereka misalnya tidak mau berperang di bulan haram.
Bulan Muharam juga istimewa karena disebut sebagai syahrullah yaitu bulan Allah, Hal ini menunjukkan keutamaan, sepertinya ketika menyebut Ka’bah sebagai baitullah (rumah Allah). Salah satu kebaikan yang dianjurkan di bulan Muharam, adalah berpuasa sunnah Asyura, yaitu tanggal 9 dan 10 Muharram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim). Keutamaannya juga sangat luar biasa. “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).
Dalam konteks Sejarah nubuwah, bulan Muharam mengingatkan tentang peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad SAW, dan para sahabatnya dari Mekah menuju Madinah. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW, sudah 1445 tahun berlalu, tetapi masih terasa spiritnya hingga kini. Hijrah dapat bermakna sebagai perpindahan secara fisik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Berpindah dari satu negeri yang banyak fitnah ke negeri lain yang lebih kondusif untuk menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Hijrah juga bermakna secara maknawi (majaz), yaitu perpindahan dari maksiat dan segala apa yang Allah larang menuju ketaatan. Hijrah secara maknawi adalah hijrahnya seorang mukmin dari apa yang dilarang Allah SWT kepada apa yang diperintahkan oleh-Nya. Muharam yang menjadi permulaan bulan diperingati sebagai awal kebangkitan. Di bulan ini, sambil memperingati tahun baru hijriah, umat Islam menyelenggarakan berbagai kegiatan Islami yang bermanfaat. Imbasnya pun ke Indonesia, berbagai kegiatan pun dilakukan diantaranya membaca do’a akhir tahun dan awal tahun Hijriyah, disisi lain ada yang mengadakan pawai obor dari kampung ke kampung, untuk menunjukkan semangat kebangkitan. Pada bulan Muharam itu pula Tuhan membuka luas rahmat-Nya, sehingga manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba memperoleh rahmat itu. Dari uraian di atas, maka bisa kita pahami bahwa, makna Suro dalam tradisi Jawa ternyata masih memiliki relasi makna yang sangat mendalam dalam Tradisi Islam. Tradisi suro dalam masyarakat jawa tidak terlepas dengan misi dakwa ajaran Islam yang dibawa oleh para penyebar Islam yakni para wali songo. wallahu a'alam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H