Mohon tunggu...
Muhsin Nuralim
Muhsin Nuralim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at UIN Sunan Kalijaga in Religious Studies | English Tutor | Bibliophile

Menulis untuk belajar memahami perspektif lain dan menghargai keberagaman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Refleksi Hari Raya Waisak 2568 BE dari Perspektif Lintas Iman

28 Mei 2024   14:49 Diperbarui: 28 Mei 2024   14:59 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa momen kecil pun ada yang begitu membekas. Saat detik-detik waisak, seorang ibu membawa dua anaknya untuk melihat pelepasan lampion pertama. Saya berkesempatan berbicang dengan ibu itu yang ternyata merupakan warga lokal. Hampir setiap tahun, dia menyempatkan diri untuk melihat momen indah malam itu. Kebetulan, tepat di samping saya berdiri adalah seorang warga asing. Di depan saya adalah para Bikkhu dan beberapa panitia penjaga. Sang anak lalu memberanikan diri berinteraksi dengan warga asing itu, dipandu si ibu ia mulai mengikuti kata-kata ibunya "what is your name?" atau "where are you come from?". Dengan antusias warga asing itu menyambut percakapan hangat si anak. Tapi, setelah beberapa waktu si anak bertanya pada ibunya "Bu, kenapa kok mereka menyembah patung?" dengan polos. Ibunya hanya bisa menjawab "Adek, gak boleh gitu, belajar menghormati orang lain, ya"

Mungkin pertanyaan itu adalah semata rasa ingin tahu. Dalam benak anak kecil, itu murni merupakan rasa penasaran "mengapa cara dia beribadah berbeda dengan apa yang dia lihat". Mungkin dibeberapa lingkungan dengan penganut agama beragam, ajaran toleransi sudah mandarah daging. Tapi, di beberapa lingkungan yang tertutup dan tidak ada keragaman sama sekali, bisa jadi respon yang diberikan mengarah pada kebencian-kebencian. Tidak seperti sang ibu, meski tak tahu banyak soal agama Buddha yang sedang merayakan Waisak, dirinya tetap menekankan nilai-nilai agar si anak tidak berkata yang berpotensi menyakiti umat lain.

Dalam refleksi ini, saya ingin mengajak diri saya dan teman-teman pembaca agar tak membenci perbedaan. Kita bukan siapa-siapa yang pantas menentukan orang-orang "kamu akan masuk neraka atau kamu akan masuk surga". Kita sama-sama manusia yang hanya mengerti sedikit dari keagungan Tuhan. Kita hanya paham sedikit bahwa Tuhan akan memberikan sesuatu jika kita berdoa dan berharap kepada-Nya. Jadi, sebagai sesama manusia, marilah kuatkan lagi nilai-nilai iman kita masing-masing tanpa merasa takut atau terancam oleh keimanan yang berbeda. Seharusnya, jika kita percaya diri dengan apa yang kita yakini, kita menerima perbedaan itu tanpa meberikan label apapun, tanpa menilai ini "baik" itu "buruk" atas perbedaan pengalaman keagamaan seseorang.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun