Mohon tunggu...
Muhsin Nuralim
Muhsin Nuralim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at UIN Sunan Kalijaga in Religious Studies | English Tutor | Bibliophile

Menulis untuk belajar memahami perspektif lain dan menghargai keberagaman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Refleksi Hari Raya Waisak 2568 BE dari Perspektif Lintas Iman

28 Mei 2024   14:49 Diperbarui: 28 Mei 2024   14:59 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa Studi Agama-agama berfoto bersama para Shifu | sumber: dokpri

Momen perayaan Waisak, Hari Raya Umat Buddha, beberapa hari lalu telah usai. Sengaja, saya tidak menulis refleksi ini sesegera mungkin setelah mengikuti kegiatan di Borobudur kemarin, agar tulisan ini sedapat mungkin bebas dari perasaan euforia akibat melihat pelbagai kegiatan Waisak yang khidmat itu. Pasalnya, mengikuti rangkaian acara Waisak ini, meski tak sepenuhnya, merupakan kesempatan berharga yang mungkin akan saya jumpai sekali seumur hidup. Dengan melewati seleksi esai pendek, saya dan teman-teman yang lolos seleksi akhirnya mendapatkan tanda pengenal sebagai peserta.

Menjelang siang, Kamis, 23 Mei 2024, satu persatu kami berangkat dari titik masing-masing ke Vihara Griya Vipasana Avalokitesvara (GVA Mendut), di Kec. Mungkid, Kab. Magelang. Sekitar empat puluh menit dari Yogyakarta, kami pun tiba di sana. Hal pertama yang kami cari adalah tempat parkir sebab beberapa akses jalan sudah ditutup. Para petugas mengamankan jalan raya agar tetap tertib, masyarakat sekitar Candi Mendut sibuk berjualan, menyewakan lahan parkir, dan ikut mendokumentasikan kegiatan ini pada smartphone-nya masing-masing.

Saya dan teman-teman lain pun demikian. Begitu banyak umat Buddha berkumpul dalam seragam serba putih dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jakarta, Kalimantan, kota-kota di Jawa Barat, bahkan mancanegara seperti Thailand.  Perkumpulan di Mendut ini mengingatkan saya pada konsep Axis Mundi Mircea Eliade yang berarti titik tengah dunia (the center of the world). Konsep axis mundi ini terdapat pada kepercayaan-kepercayaan di dunia. Dalam Islam, Ka'bah misalnya, dipandang sebagai kiblat yang menghubungkan realitas dunia fana dan alam 'lain'. Sehingga, tak heran dalam Islam, selain menjadi rukun Islam terakhir, Ka'bah adalah tempat berkumpulnya umat muslim seluruh dunia untuk berhaji. Bagi umat Buddha di Indonesia, Candi Borobudur itulah tempat mengenang Sang Buddha dan ajarannya. Dalam Perayaan Waisak itu, mereka mengingat kembali apa makna 'percaya pada Tri Ratna: Buddha, Dharma, dan Sangha.'

Waisak sendiri diambil dari bahasa Pali "Wesakha" atau Sansakerta "Waishakha", nama salah satu bulan dalam penanggalan India Kuno. Peringatan Trisuci Waisak saat terang bulan (purnama sindhi) Mei adalah untuk memperingati tiga peristiwa besar dan penting dalam agama Buddha, yaitu: 1) Lahirnya Pangeran Siddharta di Taman Lumbini (623 S.M); 2) Momen mencapainya Penerangan Agung Pangeran Siddharta dan menjadi Buddha (588 S.M); dan 3) Wafatnya Buddha Gautama di Kusinara (543 S.M). Trisuci Waisak ini merupakan keputusan dari Konferensi Persaudaraan Buddhis Sedunia (World Fellowship of Buddhis) pertama di Sri Langka pada 1950.

Bagi umat Buddha sendiri, setiap dari mereka barangkali memaknainya dengan berbeda-beda. Bagi saya, seorang mahasiswa studi agama-agama, saat pertama kali belajar tentang agama Buddha di ruang kelas, saya sendiri kagum dengan ajaran mereka tentang pentingnya sebuah kesadaran. Dalam studi agama-agama ada istilah passing over and coming back saat mempelajari agama lain. Maksudnya, menyebrang untuk kemudian kembali membawa nilai-nilai universal. Konsep "kesadaran" ini dalam pemahaman saya adalah berarti 'hidup dengan penuh niat dan tujuan'. Ajaran ini menekankan bahwa dalam hidup kita mesti melakukan segala sesuatu dengan penuh intensi. Tak serta merta melakukan sesuatu secara default (otomatis). Sebetulnya, ini sejalan dengan hadist Rasulullah saw "Sesungguhnya amal perbuatan itu diiringi dengan niat, dan sesungguhnya bagi setiap insan akan memperoleh apa yang diniatkan" (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengapa ini penting? Karena kadang kala kita melakukan sesuatu tidak benar-benar dengan maksud melakukan itu. Misalnya, saat ada postingan tertentu di media sosial, secara tidak sadar kita telah mengomentari peristiwa itu, yang kadang kala komentar asal-asalan. Semuanya menjadi serba reaktif, bukan responsif dengan penuh pemikiran.  

Pemahaman kembali tentang niat atau intensi ini akan membantu kita dalam hidup, apalagi pada konteks lintas iman. Barangkali, bagi sebagian muslim ada yang menganggap bahwa mengunjungi tempat ibadah lain seperti Gereja, Vihara, atau sekadar mengucap "Selamat Hari Raya" pada saudara kita yang berbeda agama merupakan suatu dosa. Pelanggaran hukum syariat yang tidak bisa ditoleransi. Akhirnya, kita takut untuk berinteraksi dan mengenal perbedaan lebih dekat. Kita tetap teguh pendirian pada asumsi-asumsi kita tentang apa arti agama dan berbeda agama itu. Tapi, bila kita memahami kembali "hidup dengan penuh niat", mengapa kita menjadi takut akan judgment orang lain terhadap kita? Lagi pula, dari awal basis penilaian diri kita dan orang lain diambil dari sumber yang tak sama.

Kita menilai diri kita dari apa yang kita niatkan. Kita melakukan sesuatu sebab kita tahu alasan dibalik itu semua. Sedangkan orang lain memberikan penilaian terhadap diri kita hanya dari apa yang mereka lihat dan apa yang ingin mereka yakini saja. Mereka tidak pernah tahu niat kita melakukan sesuatu. Sehingga, kita tetap melakukan sesuatu yang mungkin orang pikir itu adalah sesuatu yang "baik" atau "buruk".

Dalam konteks antar iman, sejatinya bila kita percaya diri dengan iman yang kita miliki dan percaya bahwa Tuhan memberikan kebebasan pada setiap manusia untuk mengekspresikan setiap hubungan dengan-Nya, kita tak perlu merasa takut atau terancam oleh berbagai kepercayaan yang ada. Apalagi di Indonesia di mana agama tidak hanya satu yang diakui negara.

Pada perayaan Waisak kemarin, ada saat saya begitu tersentuh di mana para Bikkhu berhenti membaca paritta/mantra dan sutra saat adzan dzuhur berkumandang. Entah memang waktunya istirahat atau memang sengaja para Bikkhu menghentikan doa-doa mereka agar masjid-masjid sekitar menyeru umat Muslim untuk melaksanakan salat. Saya tak tahu pasti, tapi jika menghentikan pembacaan doa-doa saat adzan berkumandang oleh para Bikkhu di altar utama Candi Mendut itu, saya merasa tersentuh betapa pemahaman agama yang baik akan mendatangkan prilaku yang mulia.

Beberapa momen kecil pun ada yang begitu membekas. Saat detik-detik waisak, seorang ibu membawa dua anaknya untuk melihat pelepasan lampion pertama. Saya berkesempatan berbicang dengan ibu itu yang ternyata merupakan warga lokal. Hampir setiap tahun, dia menyempatkan diri untuk melihat momen indah malam itu. Kebetulan, tepat di samping saya berdiri adalah seorang warga asing. Di depan saya adalah para Bikkhu dan beberapa panitia penjaga. Sang anak lalu memberanikan diri berinteraksi dengan warga asing itu, dipandu si ibu ia mulai mengikuti kata-kata ibunya "what is your name?" atau "where are you come from?". Dengan antusias warga asing itu menyambut percakapan hangat si anak. Tapi, setelah beberapa waktu si anak bertanya pada ibunya "Bu, kenapa kok mereka menyembah patung?" dengan polos. Ibunya hanya bisa menjawab "Adek, gak boleh gitu, belajar menghormati orang lain, ya"

Mungkin pertanyaan itu adalah semata rasa ingin tahu. Dalam benak anak kecil, itu murni merupakan rasa penasaran "mengapa cara dia beribadah berbeda dengan apa yang dia lihat". Mungkin dibeberapa lingkungan dengan penganut agama beragam, ajaran toleransi sudah mandarah daging. Tapi, di beberapa lingkungan yang tertutup dan tidak ada keragaman sama sekali, bisa jadi respon yang diberikan mengarah pada kebencian-kebencian. Tidak seperti sang ibu, meski tak tahu banyak soal agama Buddha yang sedang merayakan Waisak, dirinya tetap menekankan nilai-nilai agar si anak tidak berkata yang berpotensi menyakiti umat lain.

Dalam refleksi ini, saya ingin mengajak diri saya dan teman-teman pembaca agar tak membenci perbedaan. Kita bukan siapa-siapa yang pantas menentukan orang-orang "kamu akan masuk neraka atau kamu akan masuk surga". Kita sama-sama manusia yang hanya mengerti sedikit dari keagungan Tuhan. Kita hanya paham sedikit bahwa Tuhan akan memberikan sesuatu jika kita berdoa dan berharap kepada-Nya. Jadi, sebagai sesama manusia, marilah kuatkan lagi nilai-nilai iman kita masing-masing tanpa merasa takut atau terancam oleh keimanan yang berbeda. Seharusnya, jika kita percaya diri dengan apa yang kita yakini, kita menerima perbedaan itu tanpa meberikan label apapun, tanpa menilai ini "baik" itu "buruk" atas perbedaan pengalaman keagamaan seseorang.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun