Mohon tunggu...
Muhsin Nuralim
Muhsin Nuralim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at UIN Sunan Kalijaga in Religious Studies | English Tutor | Bibliophile

Menulis untuk belajar memahami perspektif lain dan menghargai keberagaman

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

8 Alasan Kita Prokrastinasi dan Cara Mengatasinya

8 Mei 2023   11:06 Diperbarui: 8 Mei 2023   11:28 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua orang sedang mendiskusikan tugas tentang kapan akan dilakukan. si A bertanya kepada B:
A: "Kapan kita mau nyelesain tugas ini?"
B: "Ya elah, santai aja, tugasnya dua minggu lagi, nanti aja di akhir-akhir, biasanya kalo udah deadline suka dapat ide dari the power of 'kepepet'."
A: "Yakin?"

Percakapan di atas sering sekali kita lakukan, bahkan pada tugas yang menurut kita sudah mendesak. Prokrastinasi atau kegiatan mendunda pekerjaan dengan segaja untuk dikerjakan diakhir-akhir itu sebetulnya pilihan seseorang. Namun, bila terlalu sering dilakukan, hasilnya cenderung biasa-biasa saja. Dan setelah pekerjaan dilakukan, tak ada kepuasan sedikitpun didapat. Justru rasa bersalah seringkali muncul akibat kita menunda pekerjaan penting itu.

Tapi, kenapa kita tetap melakukan penundaan pekerjaan meski kita tahu bahwa pekerjaan atau tugas itu penting. Mengutip dari karya Thibaut Meurisse dalam "Master Your Time", setidaknya ada 8 alasan umum seseorang menunda pekerjaan mereka.

1. Kurangnya Kejelasan Tugas
Saat pertama kali diberikan tugas, misalnya, menulis suatu topik penelitian. Kita tidak tahu harus melakukan apa yang lebih dulu. Kita ragu pada diri sendiri apakah ide tulisan cocok atau tidak. Banyak hal membingungkan karena ketidaktahuan kita harus melakukan apa selanjutnya. Ini akhirnya menghambat diri untuk melakukan tugas itu sesegera mungkin.

Solusinya: Tanyakan pada diri sendiri "kenapa tugas ini penting?" "bagaimana aku mampu melihat hasil akhir dari tugas ini?" Jika masih kurang jelas, cara yang barangkali cukup ampuh adalah merincikan tugas itu menjadi bagian. Dengan contoh di atas menulis topik penelitian. Kita bisa membagi menjadi bagian-bagian kecil seperti: mengumpulkan bahan bacaan, menulis draf, menargetkan berapa kata dan halaman, mencari data-data lain, dan mulai membaca dulu beberapa waktu, lalu menulis, terakhir menulis ulang atau editing, konsultasi, dan publish.

2. Kurangnya Kesadaran
"Ah nanti aja, belum dapat hidayah aku tuh untuk nugas!" Kalimat seperti ini sering kita dengar bahkan kita lontarkan. Menunggu motivasi untuk hadir. Kita akan merampungkan pekerjaan dengan syarat telah mencapai kondisi tertentu. Faktanya, motivasi tidak pernah benar-benar dibutuhkan. Istilahnya dinamakan dengan motivation myth.

Solusinya: saat sedang tidak merasa ada motivasi, tanya lebih dulu kepada diri sendiri "kenapa aku harus merampungkan tugas ini sesegera mungkin? kenapa tugas ini penting untuk diselesaikan?" Kemudian kerjakan dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, niatkan saja dan komitmen selama 1 jam dengan penuh kesungguhan. Motivasi tidak pernah terlalu dibutuhkan. Saat kita sudah memulai, kondisi mental kita pun ikut berubah pada pekerjaan kita yang tengah coba kita selesaikan.

3. Kurang Fokus
Masa kini, fokus dalam jangka waktu lama sungguh sulit. Carl Newport bilang seperti sebuah kelangkaan. Terlalu banyak suara getar dan notifikasi muncul. Ini mungkin saja berpengaruh besar pada cara kita menghadapi rasa hening dan bosan.

Newport mengatakan saat kita tengah melakukan satu tugas lalu mendapat intrupsi secara mendadak, otak kita merespon intrupsi itu, dan pada akhirnya saat perhatian kita dikembalikan ke tugas awal, terdapat residu atensi dari intrupsi-intrupsi tadi. Dibutuhkan setidaknya 15-20 menit untuk mengkondisikan kembali agar benar-benar fokus dan terhindar dari residu atensi ini.

Solusinya: Latih diri kita untuk fokus sesering mungkin. Mungkin pada awalnya 5 menit, 10 menit, 20 menit, lama kelamaan, kita akan bisa mencapai deep work, atau kondisi puncak mengerjakan suatu tugas. Dengan mendedikasin waktu tertentu, kita akan merasa puas bagaimanapun hasilnya.

4. Takut
Takut tidak sesuai, takut tidak menghasilkan karya yang baik, takut melakukan kesalahan, dan beberapa pikiran lain ini justru menjadikan diri diam di tempat. Tidak bergerak kemana-mana. Apalagi bagi seseorang yang mengidap perfeksionisme akut. Bukan berarti mengingikan kesempuranaan hasil itu sesuatu yang buruk, tapi bila pikiran itu justru menjadi penghambat diri untuk memulai, mungkin sebaiknya perlu dikurangi sesering mungkin.

Solusinya: chase progression, not perfection. Kejar progres dulu, yang penting maju dulu, nanti seiring waktu kesempurnaan akan datang dengan editing, revisi, dan lain semacamnya.

5. Kurangnya Rasa Mendesak
"The power of kepepet" yang sering menjadi validasi para kaum mager (seperti saya) cukup kuat untuk diaminkan berkali-kali. Yang ingin saya gali lebih dalam, berdasarkan pengalaman, sebetulnya saat 'kepepet' itu otak kita begitu fokus dan bebas dari distraksi. Alasan lain, kita terjebak oleh persepsi waktu. Kita yakin kita akan lebih baik jika melakukan sesuatu itu 'nanti'.

Konsep seperti ini dijelaskan dengan nama Parkinson Law. Saat diberi tugas dengan deadline satu bulan, kita merasa satu bulan itu cukup lama sehingga bisa berleha-leha dulu, tapi ujung-ujungnya tetap dikerjakan diakhir bulan.

Solusinya: buat deadline menjadi terlihat mendesak lebih awal.

6. Tidak Memiliki Rutinitas

Dulu saya percaya jadwal adalah segalanya! Tapi seringkali saya kecewa disebabkan hari yang saya jalani, seringnya, tidak sesuai dengan jadwal dan to do list. Setelah merasa kesal karena jadwal itu. Saya mencoba untuk hidup tanpa struktur dan hidup dengan diktum "let it flow". Awalnya enak dan nyaman. Namun, setelah beberapa tahun saya kembali terjebak dalam beragam pilihan dan beragam kebingungan. Tingkat overthinking menjadi lebih intens. Dan saya menemukan bahwa struktur ternyata penting.

Strukutur dan jadwal harian mengurangi kecemasan mental untuk memilih.

Saat banyak kegiatan yang harus diselasaikan, dan tidak punya set prioritas, ujung-ujungnya kita bingung harus pilih yang mana. Dengan energi yang sudah terkuras mental, ujung-ujungnya kita tidur. Meninggalkan semua pekerjaan penting itu.

Solusinya: buat rutinitas, meskipun sebentar durasinya, yang penting konsisten. Dengan konsistensi, hal yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin untuk diraih.

7. Terlalu Banyak Distraksi
Lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan produktif kita. Saat lingkungan terlalu banyak distraksi dan celah, kita begitu kesulitan melakukan sesuatu yang sifatnya produktif. Ini karena, pada dasarnya, manusia itu malas. Maka solusi praktis adalah kondisikan lingkungan agar bebas dari gangguan. Saat notifikasi sudah tidak dapat ditolerir, kita bisa menon-aktifkan data seluler selama durasi tertentu.

8. Mental Overload
Ini terjadi saat kita merasa semua pekerjaan sama pentingnya. Tugas kelas, tugas oraganisasi, tugas lomba, tugas kelompok, semua menuntut perhatian dan menuntut agar segera diselasaikan. Rasanya ingin kita teriak sekeras mungkin. Skala prioritas "Eisenhower Decision Matrix" serasa tidak berguna. Hal yang bisa mengurangi kegelisahan itu adalah menuliskan tugas dan memperinci dengan detail. Kemudian Eisenhower Decision Matrix bisa dirasakan manfaatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun