Mohon tunggu...
Muhsin Nuralim
Muhsin Nuralim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at UIN Sunan Kalijaga in Religious Studies | English Tutor | Bibliophile

Menulis untuk belajar memahami perspektif lain dan menghargai keberagaman

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

8 Alasan Kita Prokrastinasi dan Cara Mengatasinya

8 Mei 2023   11:06 Diperbarui: 8 Mei 2023   11:28 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4. Takut
Takut tidak sesuai, takut tidak menghasilkan karya yang baik, takut melakukan kesalahan, dan beberapa pikiran lain ini justru menjadikan diri diam di tempat. Tidak bergerak kemana-mana. Apalagi bagi seseorang yang mengidap perfeksionisme akut. Bukan berarti mengingikan kesempuranaan hasil itu sesuatu yang buruk, tapi bila pikiran itu justru menjadi penghambat diri untuk memulai, mungkin sebaiknya perlu dikurangi sesering mungkin.

Solusinya: chase progression, not perfection. Kejar progres dulu, yang penting maju dulu, nanti seiring waktu kesempurnaan akan datang dengan editing, revisi, dan lain semacamnya.

5. Kurangnya Rasa Mendesak
"The power of kepepet" yang sering menjadi validasi para kaum mager (seperti saya) cukup kuat untuk diaminkan berkali-kali. Yang ingin saya gali lebih dalam, berdasarkan pengalaman, sebetulnya saat 'kepepet' itu otak kita begitu fokus dan bebas dari distraksi. Alasan lain, kita terjebak oleh persepsi waktu. Kita yakin kita akan lebih baik jika melakukan sesuatu itu 'nanti'.

Konsep seperti ini dijelaskan dengan nama Parkinson Law. Saat diberi tugas dengan deadline satu bulan, kita merasa satu bulan itu cukup lama sehingga bisa berleha-leha dulu, tapi ujung-ujungnya tetap dikerjakan diakhir bulan.

Solusinya: buat deadline menjadi terlihat mendesak lebih awal.

6. Tidak Memiliki Rutinitas

Dulu saya percaya jadwal adalah segalanya! Tapi seringkali saya kecewa disebabkan hari yang saya jalani, seringnya, tidak sesuai dengan jadwal dan to do list. Setelah merasa kesal karena jadwal itu. Saya mencoba untuk hidup tanpa struktur dan hidup dengan diktum "let it flow". Awalnya enak dan nyaman. Namun, setelah beberapa tahun saya kembali terjebak dalam beragam pilihan dan beragam kebingungan. Tingkat overthinking menjadi lebih intens. Dan saya menemukan bahwa struktur ternyata penting.

Strukutur dan jadwal harian mengurangi kecemasan mental untuk memilih.

Saat banyak kegiatan yang harus diselasaikan, dan tidak punya set prioritas, ujung-ujungnya kita bingung harus pilih yang mana. Dengan energi yang sudah terkuras mental, ujung-ujungnya kita tidur. Meninggalkan semua pekerjaan penting itu.

Solusinya: buat rutinitas, meskipun sebentar durasinya, yang penting konsisten. Dengan konsistensi, hal yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin untuk diraih.

7. Terlalu Banyak Distraksi
Lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan produktif kita. Saat lingkungan terlalu banyak distraksi dan celah, kita begitu kesulitan melakukan sesuatu yang sifatnya produktif. Ini karena, pada dasarnya, manusia itu malas. Maka solusi praktis adalah kondisikan lingkungan agar bebas dari gangguan. Saat notifikasi sudah tidak dapat ditolerir, kita bisa menon-aktifkan data seluler selama durasi tertentu.

8. Mental Overload
Ini terjadi saat kita merasa semua pekerjaan sama pentingnya. Tugas kelas, tugas oraganisasi, tugas lomba, tugas kelompok, semua menuntut perhatian dan menuntut agar segera diselasaikan. Rasanya ingin kita teriak sekeras mungkin. Skala prioritas "Eisenhower Decision Matrix" serasa tidak berguna. Hal yang bisa mengurangi kegelisahan itu adalah menuliskan tugas dan memperinci dengan detail. Kemudian Eisenhower Decision Matrix bisa dirasakan manfaatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun