Mohon tunggu...
Muhsin Nuralim
Muhsin Nuralim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at UIN Sunan Kalijaga in Religious Studies | English Tutor | Bibliophile

Menulis untuk belajar memahami perspektif lain dan menghargai keberagaman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema dalam Mengambil Keputusan

28 Maret 2022   13:55 Diperbarui: 28 Maret 2022   14:25 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali kita mendengar slogan “you are what you do” atau “kamu adalah apa yang kamu lakukan”. Definisi ini menunjukan bahwa identitas seseorang bergantung pada apa yang dikerjakannya. Jika kegiatan sehari-harimu adalah menulis, bisa dikatakan kamu seorang penulis. Jika kegiatan yang paling sering kamu lakukan membaca, mungkin orang-orang akan melabeli dirimu dengan kutu buku. 

Meski pendefinisian diri ini cenderung terlalu menyederhanakan konsep diri yang kompleks, tapi hal itu dapat dibenarkan. Lagipula, kita manusia suka hal-hal praktis dan sederhana. Namun permasalahan dengan sesuatu yang akan kita lakukan ternyata lebih ribet lagi. Proses mental yang tidak disadari saat akan melakukan sesuatu sangat berkaitan dengan cara seseorang memutuskan sesuatu (decision making). 

Dalam Video TEDxDanubia dari Mikael Krogerus & Roman Tschappeler berjudul "How to Make Good Decision", terdapat poin-poin penting yang dirasa perlu untuk diketahui. Pada pembukaan presentasi tersebut audiens diberi sebuah pertanyaan “Ketika kamu mau nonton film, katakanlah di netflix, apakah kamu mengalami kesulitan memilih film sampai berjam-jam, atau tidak ada kesulitan sama sekali?” 

Fenomena pemilihan terhadap sesuatu sangat dekat dengan keseharian kita. Contoh lain, biasanya kalo kita lagi lapar dan mager ke luar, kita cenderung memilih menu makan apa yang akan kita cicipi berikutnya di onlinefood App bermenit-menit. Malah, kadang kita akhirnya tidak makan atau kembali ke menu makan yang biasa kita makan. Udah cape-cape dan lama milih, eeeh, makannya itu lagi...itu lagi...

Jawaban dari pertanyaan itu menghasilkan dua tipe pengambil keputusan. Namun, keduanya menghadapi dilema masing-masing. Pertama, seseorang yang tidak mengalami kesulitan saat memilih menonton film apa, atau menu makan apa adalah pengambil keputusan yang “buruk”, tapi kabar baiknya mereka selalu puas dengan hasil keputusan itu. Sedangkan tipe kedua adalah mereka yang menentukan akan menonton film dan makan apa hingga terlarut bermenit-menit hingga (mungkin) berjam-jam merupakan pengambil keputusan yang “baik”, tapi kabar buruknya mereka tidak senang dengan keputusan yang diambil karena mereka punya pertanyaan lain dalam benaknya “adakah opsi lain yang lebih baik?”. 

Begitulah hidup, rasanya tiap hari selalu ada keputusan yang harus diambil, penting atau tidak, mendesak atau biasa saja. Life is like a never-ending to-do list. Lalu bagaimana menyiasati agar keputusan-keputusan yang kita ambil menghasilkan sesuatu yang “baik”? 

Untuk mengambil keputusan perlu disadari tiga permasalah utama, yakni: Persiapan, Waktu, dan Penyesalan (Preparing, Timing, and Regretting).

1. Preparation

Pada tahap ini, kita sebisa mungkin harus mengolah informasi yang ada untuk memutuskan sesuatu. Jika informasi terlalu sedikit, kita akan merasa kebingungan apa yang mesti kita lakukan. Begitupun sebaliknya, informasi terlalu banyak juga sama membingungkannya saat kita tak punya informasi sama sekali. Fenomena kedua disebut “TMI Paradox”- (Too Much Information Paradox)

TMI mengarahkan kita pada suatu pertanyaan krusial “kapan kita tahu bahwa kita cukup tahu akan sesuatu?”. Pertanyaan itu disinggung pada poin dua Timing.

2. Timing: OMG TIU Problem

Permasalahan yang “Oh My God, Time Is Up!”, waktu habis. Ini berkaitan dengan waktu, sempurnanya kita inging mengambil keputusan secepat dan seefiesien mungkin. Hal ini karena semakin kita tumbuh dan dewasa, semakin bertambah pula pengetahuan dan pengalaman kita. Untuk sesaat kita tahu preferensi mana yang terbaik untuk kita. Tapi benarkah? 

Mengambil keputusan penting biasanya dipenuhi dengan kekhawatiran. Apakah hasilnya baik atau tidak? Sesuai rencana atau tidak? Kita ingin sekali memahami bagaimana cara kerja kehidupan masing-masing. Tapi hanya ada satu kesimpulan tentang pengambilan keputusan untuk tetap diambil yakni sadar akan ketidakpastian (uncertainty). 

“Untuk memahami hidup kita perlu melihat kebelakang, tapi sayangnya hidup selalu berjalan ke depan.”-Soren Kierkegaard

 

Ketidakpastian itu unik. Ia mampu menggerakan manusia dengan pengharapan dan doa. Ketika tidak ada ketidak-pastian, maka pembicaraan pengambilan keputusan sudah tidak bergaung lagi, sebab semua orang tahu apa yang perlu mereka lakukan. Dan pengetahuan itu menjadi fakta yang tidak menarik. Setiap orang tinggal memainkan peran masing-masing. Sehingga, muncul tahap ketiga yakni, penyesalan.

3. Regretting (the Post-Decision Feeling) 

Adalah ketidakpastian yang melahirkan harapan dan ekspektasi pada hasil dari sebuah keputusan. Singkatnya, orang akan sangat senang jika hasil sesuai dengan ekspektasi yang mereka simpan. Orang pun akan merasa kecewa jika ekspektasi-ekspektasi itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. 

Maka kembali pada orang yang mengambil keputusan cepat dan orang yang perlu berpikir lama untuk sebuah keputusan. Sebenarnya bagi yang pertama tidak ada keputusan baik, bagi mereka, keputusan yang diambil dianggap “cukup baik” karena tidak ada kesempurnaan yang utuh, (Satisficer). Bagi tipe pengambil keputusan kedua, keputusan yang diambil ingin dimaksimalkan sehingga mencapai kepuasan dengan selalu melihat alternatif dan opsi lain (Maximizer).

Tiga hal yang digarisbawahi agar kita mampu mengambil keputusan yang baik. Mungkin “baik-buruk” dalam mengambil keputusan tidak terlalu akurat, sebab kita tidak benar-benar tahu pasti akan hasil yang dicapai. Tiga permasalah itu jika lahir dalam bentuk pertanyaan:

  1. Apa aku “cukup tahu” untuk memutuskan sesuatu?  

  2. Apakah ini “waktu yang tepat” untuk memutuskan sesuatu?

  3. Apakah ada opsi lain yang lebih baik?

Pada akhirnya kita akan bertindak dan memilih atas jalan hidup masing-masing. Setiap pilihan yang kita ambil mengandung konsekuensi logisnya sendiri. Namun, untuk menghadapi ketidakpastian hidup, kita perlu berani berbuat sesuatu, perlu untuk memulai sesuatu. Menjadi seorang pragmatis dan satisficer adalah langkah awal yang baik. Tidak perlu kiranya kita menimbang terlalu lama sehingga tidak mencoba untuk melakukan sesuatu. 

Penjelasan dari Mikael Krogerus & Roman Tschappeler tentu lebih komprehensif. Tapi, semoga apapun pilihan kita dalam hidup, semoga terus ada dalam bimbingan-Nya. Setelah mengambil sebuah keputusan, jangan lupa untuk bertawakal. Untuk itu, link YouTubenya akan saya sematkan di bawah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun