Mohon tunggu...
Muhsin Nuralim
Muhsin Nuralim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at UIN Sunan Kalijaga in Religious Studies | English Tutor | Bibliophile

Menulis untuk belajar memahami perspektif lain dan menghargai keberagaman

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bedug dan Halloween Ramadhan

19 April 2021   12:18 Diperbarui: 19 April 2021   12:24 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Beduk yang berada di Wat Phothikyan Phutthaktham by Kamaruzzaman Salleh | sumber flickr.com

Tempat dimana kita menyerap segala informasi dengan rakus tanpa menimbang baik buruk adalah masa kecil. Baik buruk itu memang diketahui setelah diberitahu orang tua atau tetangga. 

Seorang anak jika tidak mau dicap bandel ya harus nurut kepada apa yang perintahkan orang tua, lagi pula itu sudah norma sosial dibentuk, agar rapi dan tertib tatanan masyarakat kita.

Tapi sebagai anak kecil yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, peduli amat ini benar apa salah, yang penting kami mengalami hal itu. Kami masih dalam masa membuat pengalaman.

Selaku anak ingusan yang bergerombol membentuk pasukan, kami merasa aman dari ancaman dan amukan orang tua kami. Itulah gunanya bergerombol seperti kata pepatah "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!"

Kami menjadi berandal-berandal kecil saat Ramdhan tiba, dengan alat bermain sebagai senjata, kami menemukan keasyikan dalam bunyi-bunyi petasan. 

Melihat bagaimana reaksi kimia meledakan sesuatu. Kadang kami membuat gunung dari pasir (keusik B. Sunda) yang dibuat untuk bangunan. Kemudian kami simpan petasan ukuran kecil-kecil atau sebesar ibu jari di dalamnya. Kami mereplika bagaimana gunung berapi bekerja. "Keren sekali!" pikir kami.

Tentu saja, semua warga kocar-kacir, lebih tepat kaget setengah mati. Memang petasan seukuran ibu jari mampu menembus barisan batas pohon serta memecah keheningan seisi kampung. 

Sontaklah! Warga terdekat datang tergopoh-gopoh mengomeli kami semua, tanpa rasa bersalah kami kabur meninggalkan lokasi. Watados! (wajah tanpa dosa). Maafkan kami duhai warga karena telah mengganggu ibadah tidur Bapak/Ibu di pagi hari.

Tidak hanya dengan petasan saja kami bereksperimen bunyi-bunyian. Setelah selesai pengajian kuliah subuh, kami jarang langsung beranjak dari masjid. 

Perhatian kami terseret oleh bedug*, kentong dan palu-palunya yang menggiurkan untuk dibunyikan. Seakan berbisik "mainkanlah aku, ayo meriahkan bulan Ramadhan dengan keceriaan!"

Setiap orang dalam satu sesi terdiri dari empat orang untuk memainkan perkusi ini. Alat sebagai panggilan adzan, pertanda sahur sekaligus imsak kami rubah menjadi satu alat musik yang mengundang daya magis. Anak kecil, sungguh luar biasa imajinatif. Apa pun dan di mana pun adalah arena bermain bagi kami, pengajian sekalipun. (astagfirullah)

Satu orang memukul bagain utama di depan, satu orang sebagai asisten dengan palu (lupa apa istilahnya), pokoknya alat untuk mukul saja. Titik! Dua orang lagi memaikan kentongan di samping bedung, karena cukup besar, kentongan itu lebih mirip sampan untuk berlayar daripada sekedar untuk di pukul. Nah, jika masih banyak teman kami yang belum kebagian, biasanya mereka duduk di atas bedug sambil berkhayal menaiki gajah, sapi, kerbau atau dinosaurus yang berteriak. Tak lupa alunan bedug kami iringi dengan lantunan sholawat yang telah diajarkan.

Penggunaan bedug sebagai pertanda ramainya situasi Ramadhan tak hanya kami mainkan saat pagi atau sore saja. Bedug pula menjadi identitas bahwa Ramadhan hampir usai.  Farewell! Ciao... Ada perasaan campur aduk saat malam takbir ini.

Pertama perasaan sedih karena kami akan beraktifitas seperti biasa, tidak ada ngabuburit, tarawih jamaah dan bukber bareng keluarga. Dengan segenap hati, kami memohon kepada Ramadhan agar bisa dipertemukan dengannya di tahun berikutnya.

Kedua perasaan senang karena kami berhasil menjalani ibadah puasa dengan baik, ada berbagai hadiah dari orangtua kami sebagai THR: Baju baru dan tentu saja liburan, atau silaturahmi keluarga besar di berbagai daerah yang telah ditetapkan (Haolan).

Bedug kami bawa (tentu ini ukuran yang lebih kecil) di atas mobil mengelilingi kampung saat malam takbiran. Sambil bertakbir Allahu akbar...Allahu akbar...Allahu akbar walillahil ham.... Pada tiap jarak 5 meter mobil bak itu berhenti. Anak-anak yang di atas mobil, turun membawa serta plastik atau wadah, kemudian mengetuk pintu-pintu rumah tiap warga.

Sudah menjadi tradisi bahwa tiap rumah akan memberikan makanan. Ini macam tradisi Halloween saja. Jika Halloween anak-anak memakai kostum serba seram dan meminta permen kepada tiap rumah. 

Kami memakai pakaian serba sederhana nan biasa, tak lupa sarung kami ikatkan di dada. Karena pakaian lebaran kami simpan dulu tuk dipakai esok hari mengikuti Shalat Idul Fitri. 

Dan makanan yang kami terima bukanlah permen, permen gak baik buat kesehatan lagi pula, adalah keripik pisang, singkong, ubi kukus yang manis, saroja, rengginang, akar kelapa dan kadang ada juga bolu sebagai makanan paling 'mewah' diantara yang lain.

Setiap rumah memberi sesuai kemampuan mereka. Kuncinya adalah berbagi, tak penting apa jenis makanan yang dibagi itu. Dan makanan yang terkumpul itu akan bermuara di masjid-masjid, ini sebagai konsumsi  bagi yang bertakbir. Allahu akbar!

*penulisan bedug ada juga beduk, saya memakai bedug menggunakan hurup 'g' karena terbiasa memaikai itu. Lagipula bedu(g/k) hanya masalah voiced dan unvoiced saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun