Mohon tunggu...
muhrain
muhrain Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kesusastraan Aceh Kini dan Nanti

2 Maret 2016   21:02 Diperbarui: 3 Maret 2016   02:07 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Suasana perpustakaan Ali Hasjmy, di sini tersimpan berbagai literatur klasik tentang kesusastraan Aceh."][/caption]Membatasi pemikiran tentang perjalanan kesusastraan Aceh semata-mata untuk kepentingan angkatan dan para pujangga/penyairnya merupakan suatu kenaifan. Kendaraan sastra yang begitu luasnya itu tidak dapat dibatasi hanya pada kinerja awal-awal sastra Aceh bangkit memenuhi manuskrip-manuskrip di Belanda, meskipun dari karya lama tersebut jejak sastra Aceh dimulai. Kebertahanan sastra Aceh masa kini dan nanti sepatutnya diwadahi oleh kesiapan para pemiliknya, orang Aceh.

Jejak kekinian sastra di Aceh sering sekali dipengaruhi rentang jarak dan waktu. Pada masa Aceh mencapai keunggulan Ilmu Pengetahuan di segala bidang, sastra juga mengalami pencapaiannya. Syair-syair dari Aceh mengisi segenap literatur di masa lalu tersebut. Hikayat-hikayat dan ilmu-ilmu yang memanfaatkan wadah sastra sebagai media menyampaikan makna dan kebijakan ulama maupun keputusan hukum juga adat dari Kerajaan Islam Aceh selanjutnya mewariskan kegemilangan tersendiri yang patut dijaga hingga tiada batas di masa depan. Tetapi untuk mewakili perkembangan sastra yang hadir di Aceh masa kini, tentu saja para penyair mesti menyiasatinya dengan memahamkan diri, di diri merekalah kini sastra digantungkan nasibnya. Kelemahan dan kelebihan kesusastraan Aceh kini dan nanti ada di pundak para pemikir.

Menyibak perpustakaan Ali Hasjmy, terdapat berbagai koleksi yang menuntun dan menunjukkan cerminan tingginya produktifitas karya sastra Aceh di masa lalu. Nama-nama yang tidak lekang dikutip oleh para penulis terkait sastra Aceh secara repetitif tersebutlah: Hamzah Fanshuri, Nuruddin Arraniry, Chik Pante Kulu, Syekh Abdurrauf al Singkili dan lainnya tersebut adalah skala awal dalam menyatakan peran kesusastraan sebelum abad ke-19. Refleksi kehadiran para penyair yang sekaligus ulama tersebut menghadapkan kepada peran sastra sekaligus berkait erat dengan peran agama Islam dalam mengharungi dunia kesusastraan dunia.

Selanjutnya, Aceh memasuki pemisahan antara sastra dan agama, terutama dari sisi pemerannya sendiri, artinya pergeseran antara penyair yang sekaligus ulama serta sebaliknya mulai terjadi. Sastra Aceh lalu dihadapkan kepada kekhususan dan sekaligus kemandirian. Ali Hasjmy yang merupakan salah satu tokoh pemeran dalam kesusastraan pada awal-awal kemerdekaan berkesempatan menelusuri berbagai rupa wajah baru sastra Aceh di masanya, meskipun bukan tokoh sentral, pada masa tumbuhnya keberlanjutan kiprah penyair Aceh mencipta karya sastra, perbenturan antara sastra dan agama semakin meruncing, namun tingkatan penulisan sastra itu sendiri mengalami perbedaan yang sangat transparan terutama dari penggunaan bahasa.

Dijabarkan secara luas dalam beberapa tulisan Ali Hasjmy bahwa pemakaian bahasa pada masa Kerajaan Islam Aceh terdapat tiga variasi, sesuai penggunaannya. Bahasa Arab pada masa itu sebagai bahasa ilmu pengetahuan, bahasa Melayu sebagai bahasa pemerintahan kerajaan sedangkan bahasa Aceh itu sendiri digunakan sebagai bahasa komunikasi lintas masyarakat. 

Dengan demikian, karya sastra yang hadir terdahulu akibat pendekatan syiar Islam sebagai modulasi utama menjadikan sastra di Aceh terlahir dari khazanah sastra Arab (Islam) berikut pula dipengaruhi bahasa Parsi (Persia) dan tidak tertutup kemungkinan berbagai kebudayaan yang melintasi antara keduanya menjadikan kesusastraan Aceh sangat dipengaruhi oleh induknya tersebut yaitu bahasa Arab. 

Syair-syair Aceh semisal nazam yang sarat menyiarkan pandangan dan ilmu agama Islam ke dalam wilayah literasi sastra Aceh pada masa itu menuntun pergaulan yang sangat akrab dwibahasa. Pada saatnya pula pemakaian bahasa Aceh mendapatkan pengaruh di dalam penciptaan syair-syair penyair Aceh disebabkan oleh makna-makna lokalitas yang urgensinya demi memenuhi rasa bahasa orisionalitas Aceh dalam karya tulis sastra. Tetapi perlu dipahami, bahwa kebijakan Kerajaan Islam Aceh menyiarkan ilmu pengetahuan (berikut sastra) ke seluruh wilayah kerajaan-kerajaan kecil yang mengakui Kerajaan Islam Aceh sebagai pemimpin mereka dengan pakaian bahasa Melayu di wilayah nusantara telah menunjukkan pengaruh bahasa Melayu di masa tersebut sebagai tonggak kesusastraan nasional yang menjadi warisan hingga masa kini dan masa depan.

Memenuhi gambaran perkembangan kesusastraan masa kini, alangkah baiknya ketika seorang penyair Aceh memahami dengan baik apa dan bagaimana sastra Islam pada masa kejayaannya di masa lampau itu sehingga dengan demikian mereka tidak keliru dalam memisahkan kemandirian sastra Aceh di dalam wilayah kemajuan sastra nasional. 

Bahasa Melayu yang menjadi satu komponen penting dalam menyiarkan peradaban dan kebudayaan melalui sastra yang dimiliki bahasa tersebut menuntun kepada berbagai parameter kebertahanan kesusastraan Aceh di masa kini. Ketika kemampuan menguasai bahasa Melayu tidak dimiliki oleh penyair Aceh, maka tak ayal, kemampuan dan ketinggian hasil karya cipta penyair Aceh dengan demikian menjadi goyah dan rendah, hal ini terkait parameter penguasaan bahasa Melayu di masa kini telah tak terbantahkan sebagai satu bagian pokok yang wajib terpenuhi. 

Bahasa Melayu yang selanjutnya resmi menjadi bahasa nasional yang lalu disebut sebagai Bahasa Indonesia oleh sebagian besar penyair Aceh hanya dapat dikuasai ketika mereka mendapatkan pengetahuan kebahasaan, termasuk pengetahuan kesusastraan Melayu dari ruang lembaga pendidikan. 

Di masa dayah, pesantren dan bilik-bilik mengaji digantikan secara penyempurnaan didaktik guna memenuhi tuntutan pendidikan Ilmu Pengetahuan Umum sekaligus Ilmu Pengetahuan Agama, maka muncullah Madrasah-madrasah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, demikian pula pada tingkat kesarjanaan, muncul Zawiyah-Zawiyah, Ma'had dan lain sebagainya yang membawa bekal awal bahwa sastra Aceh mendapatkan masa yang ketat dalam hal tuntutan dunia pendidikan modern meskipun tidak meninggalkan sama sekali pola pendidikan Islam sebagaimana dayah dan pesantren tersebut.

Selanjutnya di masa kini, kesusastraan Aceh telah mencapai bentuk yang lebih beragam dan lebih berterima dari segi pergeseran latar belakang kepenyairan penyair Aceh, terkait latar belakang pendidikan agama yang tidak lagi dianggap satu-satunya wilayah eraman dan pembenihan akan pada masanya lahir penyair-penyair Aceh yang menguasai pendidikan agama semata-mata. 

Telaah penolakan masyarakat Aceh terhadap penyair yang layak bagi mereka adalah yang selain mampu menciptakan karya sastra, mereka sebagai penyair dituntut sekilas pandang mampu menguasai literasi-literasi awal kesusastraan Aceh yang terdiri dari khazanah bahasa Arab juga tafsir-tafsir terkait isi ilmu pengetahuan agama Islam di dalamnya. 

Dengan demikian, jelaslah bagi kesusastraan Aceh kini dan nanti, syarat menguasai ilmu pengetahuan yang lengkap (ilmu agama dan ilmu umum) merupakan patron utama dan tidak dapat dilepaskan atas adanya tuntutan tersebut bagi kemandirian kesusastraan Aceh pada masa-masa yang akan datang. 

Selain sastra Aceh telah dianggap sastra berlatar pengetahuan syariat Islam, keberadaan teks serta konteks yang hadir dalam karya sastra Aceh tersebut meskipun tidak mendampingi secara penuh pandangan Islam dalam karya sastra tetapi untuk menghindarkan diri dari penolakan masyarakat pembaca, penyair Aceh harus kenal benar apa-apa saja batasan dan wilayah sentuh ide dan pemikiran dalam karya yang hendak mereka cipta.

Kesusatraan Aceh pada masanya pula telah mengalami persentuhan yang sangat intimade (dekat) dengan wilayah kesenian yang beragam. Rangkaian syair-syair yang diciptakan oleh penyair Aceh telah menjadi lirik-lirik, lafal-lafal yang memenuhi ruang pendidikan Islam maupun pendidikan umum. Tidak sedikit karya sastra selanjutnya berkontribusi secara ekspresif dalam kesenian tari, kesenian musik, kesenian tradisi Aceh yang selain memiliki pakem keunikan berdasarkan kontribusi syariat Islam sebagai muasal perkembangannya selanjutnya membawa syair para penyair Aceh sebagai isi sekaligus makna yang berhasil menyuarakan sastra dan seni musik dalam proses penciptaan karya. 

Lirik-lirik shalawat nabi beriring sejalan dengan lirik-lirik muasal syair sastra Aceh, konsep tradisi selanjutnya membaurkan tiga bahasa yang telah disampaikan di atas. Sehingga dengan sangat mudah bagi penikmat seni Aceh memperoleh keberagaman karya seni turut dipengaruhi pemakaian bahasa Arab, bahasa Aceh dan bahasa Melayu (bahasa Indonesia).

Berbagai kendala akan dialami oleh penyair-penyair Aceh di masa depan apabila mereka tidak menyiapkan diri untuk memahami sejarah sastra Aceh di masa kejayaannya dahulu, berikut pula kendala penguasaan bahasa selanjutnya meski diminimalisir oleh penguatan ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu pengetahuan agama. Mana-mana pun pilihan yang hendak dikedepankan oleh cikal penyair Aceh di masa depan tidaklah menjadi persoalan yang mengikat, asalkan mereka telah menyadari ruang dan waktu serta persyaratan yang mendampingi kekuatan bahasa dan pengetahuan sastra dengan luas dapat dipersiapkan jauh-jauh hari. 

Karena hal ini pula, pengharapan regenerasi kepenyairan di Aceh tidak dapat berjalan ketika para intelektual bahasa terdahulu lahir tidak melakukan pengajaran dan pendidikan yang layak bagi generasi berikutnya. Apakah gunanya ilmu sastra yang telah mereka miliki sebelum-belum ini jika tidak mampu menghadapkan dirinya kepada syiar dari tanggung jawab yang turut mempertaruhkan kebertahanan dan kemajuan kesusastraan Aceh di masa yang akan datang?

Seiring berpulangnya para syeh, penyair Aceh yang telah menjadi pewaris sastra Aceh terdahulu tersebut, kesusastraan Aceh kembali menghadapi pilihan yang sangat riskan. Rasa ketertarikan para generasi muda Aceh untuk mencintai tradisi sastra penting sekali ditumbuhkan. Tanggung jawab tersebut adalah menuntut kesadaran peradaban yang didalamnya kebudayaan juga kesusastraa turut dipertaruhkan. Sastra Aceh memiliki kekhasan yang orisionil dari segi bentuk dan isi/makna, pengalaman-pengalaman yang ada selama ini terkait revitalisasi nilai-nilai kesenian dan kebudayaan sangat perlu guna berkontribusi melambangkan pertahanan kekhasan Aceh terutama melindungi karakteristik Aceh sebagai cikal bakal kesusastraan nasional. Pilihan yang rumit justru terjadi ketika pemerintah Aceh tidak lagi mengedepankan karya cipta para penyair Aceh terdahulu, kini dan nanti mendapatkan perhatian yang seadanya. 

Pikiran-pikiran yang terpendam pada berbagai pondasi intelektualisme masyarakat Aceh selama ini yang telah diwarisi oleh penyair Aceh sepatutnya mendapatkan sentuhan dan perhatian pemerintah Aceh. Kelangkaan munculnya syeh-syeh pengganti yang telah wafat dan yang telah menua usianya tersebut mengharuskan pihak-pihak umum mendorong kebijakan aktif dan realistis guna menghadapi potensi kemunduran sastra Aceh di masa yang akan datang. 

Keberpihakan lembaga pendidikan umum maupun lembaga pendidikan agama sepatutnya tidak melepaskan diri dari tanggung jawab kepada keberlanjutan dunia kesusastraan Aceh dahulu telah menjadi induk yang menghasilkan para intelektual Aceh bagi pembangunan peradaban sekaligus catatan kiprah dari sejarah mereka para ilmuan sastra yang juga ulama tersebut.

 

*Penulis adalah Muhammad Rain (Muhrain) Mahasiswa Magister Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah-Aceh angkatan 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun