Selanjutnya di masa kini, kesusastraan Aceh telah mencapai bentuk yang lebih beragam dan lebih berterima dari segi pergeseran latar belakang kepenyairan penyair Aceh, terkait latar belakang pendidikan agama yang tidak lagi dianggap satu-satunya wilayah eraman dan pembenihan akan pada masanya lahir penyair-penyair Aceh yang menguasai pendidikan agama semata-mata.Â
Telaah penolakan masyarakat Aceh terhadap penyair yang layak bagi mereka adalah yang selain mampu menciptakan karya sastra, mereka sebagai penyair dituntut sekilas pandang mampu menguasai literasi-literasi awal kesusastraan Aceh yang terdiri dari khazanah bahasa Arab juga tafsir-tafsir terkait isi ilmu pengetahuan agama Islam di dalamnya.Â
Dengan demikian, jelaslah bagi kesusastraan Aceh kini dan nanti, syarat menguasai ilmu pengetahuan yang lengkap (ilmu agama dan ilmu umum) merupakan patron utama dan tidak dapat dilepaskan atas adanya tuntutan tersebut bagi kemandirian kesusastraan Aceh pada masa-masa yang akan datang.Â
Selain sastra Aceh telah dianggap sastra berlatar pengetahuan syariat Islam, keberadaan teks serta konteks yang hadir dalam karya sastra Aceh tersebut meskipun tidak mendampingi secara penuh pandangan Islam dalam karya sastra tetapi untuk menghindarkan diri dari penolakan masyarakat pembaca, penyair Aceh harus kenal benar apa-apa saja batasan dan wilayah sentuh ide dan pemikiran dalam karya yang hendak mereka cipta.
Kesusatraan Aceh pada masanya pula telah mengalami persentuhan yang sangat intimade (dekat) dengan wilayah kesenian yang beragam. Rangkaian syair-syair yang diciptakan oleh penyair Aceh telah menjadi lirik-lirik, lafal-lafal yang memenuhi ruang pendidikan Islam maupun pendidikan umum. Tidak sedikit karya sastra selanjutnya berkontribusi secara ekspresif dalam kesenian tari, kesenian musik, kesenian tradisi Aceh yang selain memiliki pakem keunikan berdasarkan kontribusi syariat Islam sebagai muasal perkembangannya selanjutnya membawa syair para penyair Aceh sebagai isi sekaligus makna yang berhasil menyuarakan sastra dan seni musik dalam proses penciptaan karya.Â
Lirik-lirik shalawat nabi beriring sejalan dengan lirik-lirik muasal syair sastra Aceh, konsep tradisi selanjutnya membaurkan tiga bahasa yang telah disampaikan di atas. Sehingga dengan sangat mudah bagi penikmat seni Aceh memperoleh keberagaman karya seni turut dipengaruhi pemakaian bahasa Arab, bahasa Aceh dan bahasa Melayu (bahasa Indonesia).
Berbagai kendala akan dialami oleh penyair-penyair Aceh di masa depan apabila mereka tidak menyiapkan diri untuk memahami sejarah sastra Aceh di masa kejayaannya dahulu, berikut pula kendala penguasaan bahasa selanjutnya meski diminimalisir oleh penguatan ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu pengetahuan agama. Mana-mana pun pilihan yang hendak dikedepankan oleh cikal penyair Aceh di masa depan tidaklah menjadi persoalan yang mengikat, asalkan mereka telah menyadari ruang dan waktu serta persyaratan yang mendampingi kekuatan bahasa dan pengetahuan sastra dengan luas dapat dipersiapkan jauh-jauh hari.Â
Karena hal ini pula, pengharapan regenerasi kepenyairan di Aceh tidak dapat berjalan ketika para intelektual bahasa terdahulu lahir tidak melakukan pengajaran dan pendidikan yang layak bagi generasi berikutnya. Apakah gunanya ilmu sastra yang telah mereka miliki sebelum-belum ini jika tidak mampu menghadapkan dirinya kepada syiar dari tanggung jawab yang turut mempertaruhkan kebertahanan dan kemajuan kesusastraan Aceh di masa yang akan datang?
Seiring berpulangnya para syeh, penyair Aceh yang telah menjadi pewaris sastra Aceh terdahulu tersebut, kesusastraan Aceh kembali menghadapi pilihan yang sangat riskan. Rasa ketertarikan para generasi muda Aceh untuk mencintai tradisi sastra penting sekali ditumbuhkan. Tanggung jawab tersebut adalah menuntut kesadaran peradaban yang didalamnya kebudayaan juga kesusastraa turut dipertaruhkan. Sastra Aceh memiliki kekhasan yang orisionil dari segi bentuk dan isi/makna, pengalaman-pengalaman yang ada selama ini terkait revitalisasi nilai-nilai kesenian dan kebudayaan sangat perlu guna berkontribusi melambangkan pertahanan kekhasan Aceh terutama melindungi karakteristik Aceh sebagai cikal bakal kesusastraan nasional. Pilihan yang rumit justru terjadi ketika pemerintah Aceh tidak lagi mengedepankan karya cipta para penyair Aceh terdahulu, kini dan nanti mendapatkan perhatian yang seadanya.Â
Pikiran-pikiran yang terpendam pada berbagai pondasi intelektualisme masyarakat Aceh selama ini yang telah diwarisi oleh penyair Aceh sepatutnya mendapatkan sentuhan dan perhatian pemerintah Aceh. Kelangkaan munculnya syeh-syeh pengganti yang telah wafat dan yang telah menua usianya tersebut mengharuskan pihak-pihak umum mendorong kebijakan aktif dan realistis guna menghadapi potensi kemunduran sastra Aceh di masa yang akan datang.Â
Keberpihakan lembaga pendidikan umum maupun lembaga pendidikan agama sepatutnya tidak melepaskan diri dari tanggung jawab kepada keberlanjutan dunia kesusastraan Aceh dahulu telah menjadi induk yang menghasilkan para intelektual Aceh bagi pembangunan peradaban sekaligus catatan kiprah dari sejarah mereka para ilmuan sastra yang juga ulama tersebut.