Mohon tunggu...
Muh Rafi Zadah
Muh Rafi Zadah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sorong

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menganalisis dan Kritik Otonomi Khusus di Daerah Papua

11 November 2023   19:15 Diperbarui: 11 November 2023   19:15 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

Otonomi Khusus Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008. UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus.

Tulisan ini memuat tinjauan kritis saya terhadap isi RAPBD. Ada beberapa hal yang menjadi sorotan, yaitu: (1) aspek-aspek legal-formal RAPBD tersebut; (2) aspek-aspek keberpihakan kepada orang asli Papua, pemerataan serta pemberian prioritas kepada daerah-daerah tertinggal di Provinsi Papua.

1. Persoalan Legal-Formal RAPBD Provinsi Papua.

Pasal 34 ayat 7 UU No. 21/2001 menyatakan bahwa “Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5), dan huruf e antara Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal”. Yang dimaksud dalam kutipan tersebut sebagai ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) adalah penerimaan yang berasal dari bagi hasil sumberdaya alam minyak bumi sebesar 70 persen dan gas bumi 70 persen. Di samping itu, yang dimaksud dengan huruf e Pasal 34 ayat 7 UU No. 21/2001 adalah Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan ”

Ada tiga kata kunci (syarat) yang tidak bisa diabaikan dari kutipan Pasal 34 ayat 7 UU No. 21/2001. Pertama, sumber- sumber dana tersebut harus dibagi antar Provinsi Papua, Kabupaten dan Kota. Kedua, pembagian tersebut haruslah diatur secara adil dan berimbang dengan memberikan perhatian khusus kepada daerah-daerah yang tertinggal. Ketiga, Pengaturan secara adil dan berimbang itu haruslah dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus).

Hal yang disebutkan di atas inilah yang merupakan salah satu persoalan legal-fomal serius karena tidak dipenuhi dalam penyusunan RAPBD Provinsi Papua tahun 2002. Undang- undang Nomor 21 tahun 2001 menegaskan bahwa Rancangan Perdasus disusun oleh Eksekutif dan Legislatif, namun sebelum dapat dilaksanakan perlu memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Hingga saat ini MRP belum terbentuk, dan karenanya Perdasus untuk pemanfaatan sumber dana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat 7 belum dapat ditetapkan oleh DPRP dan Eksekutif. Dengan demikian, pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan DPRP mengenai pemanfaatan sumberdana yang berasal dari pendanaan dalam rangka Otsus hanya dapat diartikan sebagai persiapan dan pemantapan rancangan, yang masih harus memperoleh persetujuan dari MRP sebelum dapat digunakan. Apabila keseluruhan atau bagian-bagian dari pemanfaatan sumber dana Otsus tersebut tidak disetujui oleh MRP, maka sudah barang tentu RAPBD perlu diperbaiki kembali.

Saya merasa penting untuk menegaskan hal ini, karena diperoleh kesan yang sangat kuat bahwa pembahasan RAPBD yang sekarang ini berlangsung di DPRP bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan secara paralel sambil menunggu terbentuknya MRP. Setidak-tidaknya format RAPBD tersebut, baik untuk Anggaran Rutin maupun Anggaran Pembangunan, tidak menunjukkan hal tersebut. Kalau pembahasan itu dilanjutkan dengan pengesahan oleh DPRP, maka itu berarti bahwa Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah dilanggar oleh Pemerintah dan DPR Provinsi Papua sendiri.

Selain itu, hasil pemantauan saya menunjukkan, bahwa pembahasan dalam rangka menghasilkan RAPBD ini tidak melibatkan berbagai stakeholder yang seharusnya diikutsertakan dalam rangka menghasilkan suatu RAPBD yang adil dan berimbang, dengan memberikan perhatian pada daerah-daerah terpencil. RAPBD yang adil dan berimbang tentu tidak mungkin dapat disusun oleh instansi teknis Provinsi semata-mata. Pemerintah dan Parlemen Provinsi perlu melibatkan pemerintah dan parlemen Kabupaten/Kota dan berbagai unsur masyarakat yang berkompeten, karena mereka yang sesungguhnya memahami dengan lebih baik apa yang menjadi kebutuhan masyarakat Papua.

Hal lain yang tidak kalah pentingya adalah tidak dimasukkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 dalam konsideran RAPBD. Walaupun mungkin ada pihak yang berkilah bahwa hal tersebut `terlupakan’, tetapi hal ini sebenarnya berimplikasi bahwa sebenarnya masih ada keengganan untuk mendalami dengan sungguh-sungguh isi dan amanat Undang-undang Nomor 21 tahun 2001. Secara legal formal, kealpaan ini adalah suatu persoalan yang serius – karena dengan demikian patut dipertanyakan apa dasar hukum yang digunakan oleh pihak Eksekutif untuk memanfaatkan dana yang berasal dari pendanaan Otsus Papua?

Hal yang terakhir adalah sebutan sumber-sumber keuangan yang digunakan dalam RAPBD. Seyogyanya semua sumber pendanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 disebutkan dalam RAPBD Provinsi Papua tahun 2002. Dengan demikian, rakyat Papua dapat mengetahui dengan jelas seberapa besar kontribusi masing-masing sumber tersebut terhadap RAPBD tahun 2002. Tetapi, hal ini tidak dilakukan. Bahkan, DAK (Dana Alokasi Khusus) sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 dicampuradukkan dengan sumber dana Penerimaan Khusus dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana yang disebut dalam Pasal 34 ayat 3 huruf e Undang-undang tersebut.

Hal yang disebutkan di atas tersebut memiliki implikasi legal-formal yang mendasar. Pertama, dengan mencampur aduk keduanya, DAK kehilangan arti yang sebenarnya dalam RAPBD kita. Pengertian DAK sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 34 ayat 3 huruf f UU Nomor 21 tahun 2001 sesungguhnya secara mendasar telah berubah dibandingkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999. DAK pada Undang- undang Nomor 25 tersebut tidak mencantumkan kata-kata “...dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua ...” sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 34 ayat 3 huruf f UU Nomor 21 tahun 2001. Artinya, DAK dalam era Otsus sekarang nilainya harus lebih besar dari DAK yang dialokasikan menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 pada tahun anggaran 2001 lalu. Sayangnya, DAK yang `lebih’ seperti ini tidak ditaksir jumlahnya dan tidak dimasukkan dalam RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 – dan hanya disebut dengan simbol “u.p.”.

Kedua, sebutan “DAK-Otsus” sebagaimana yang tercantum dalam hampir semua mata anggaran Pembangunan RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 tidak memiliki dasar hukum. Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 sama sekali tidak mengenal istilah DAK-Otsus. Kalau ditinjau dari jumlah anggarannya maka tampaknya yang dimaksud dengan DAK-Otsus dalam RAPBD adalah Penerimaan Khusus dalam rangka Otonomi Khusus yang penggunaannya tidak bisa diatur sebagaimana penggunaan DAK di waktu lalu.

2. Sejauh Mana RAPBD Mencerminkan Pemihakan dan Pemberdayaan Orang-orang Asli Papua.

Pada bagian awal tulisan ini telah dikutip intisari dari Pidato Gubernur Provinsi Papua pada tanggal 21 Januari 2001. Dalam pidato itu secara tegas dikemukakan bahwa setiap program pembangunan di Provinsi Papua harus mampu menunjukkan dengan jelas keberpihakannya bagi orang-orang Papua, dan harus dilakukan dalam kerangka pemberdayaan orang-orang asli Papua.

Dalam Sub-sektor Pendidikan dan Kesehatan, misalnya, pemihakan dan pemberdayaan dimaksud salah satunya haruslah dalam bentuk mengurangi beban pembiayaan rakyat serendah-rendahnya untuk sektor Pendidikan dan Kesehatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat 3 dan Pasal 59 ayat 3 Undang-undang Nomor 21 tahun 2001. Dengan perkataan lain, harus ada alokasi anggaran yang bertujuan untuk mensubsidi secara langsung biaya-biaya pendidikan dan kesehatan yang selama ini dipikul oleh rakyat. Sayangnya, RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 tidak mencantumkan hal tersebut dalam proyek-proyeknya. Tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk secara khusus memberikan subsidi bagi para peserta didik di Provinsi Papua, khususnya anak-anak Papua asli, agar orang tua mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang mereka sendiri yang sudah sangat terbatas itu untuk membeli buku tulis, alat tulis, buku-buku pelajaran, pakaian seragam, sepatu dan lain- lain.

Hal yang sama juga terjadi pada pengalokasian anggaran untuk pembangunan kesehatan. Tidak terlihat dengan jelas berapa besar dana yang dialokasikan agar orang-orang asli Papua tidak perlu lagi mengeluarkan dana untuk membiayai pengobatan mereka di fasilitas kesehatan pemerintah.
Selain contoh-contoh yang dikeluarkan di atas, perlu pula dikemukakan di sini bahwa masih belum tercermin secara jelas dalam RAPBD ini upaya-upaya yang secara sengaja direncanakan oleh Pemerintah Provinsi untuk member- dayakan orang-orang Papua asli di dalam setiap proyek pada setiap sektor pembangunan. Analisis isi (content analysis) yang dilakukan terhadap judul-judul proyek pada hampir semua sektor/sub-sektor sebagaimana yang tercantum dalam RAPBD membuat saya terpaksa menyimpulkan bahwa sulit untuk menyatakan bahwa proyek-proyek tersebut memang dirancang dan diarahkan untuk pemberdayaan orang Papua asli, karena tidak jelas siapa yang akan menjadi resipien (penerima manfaat) langsung dari proyek-proyek tersebut.

3. Keterlibatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Stakeholder Lainnya.

Salah satu masalah mendasar dengan proses penyusunan RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 adalah bahwa usulan- usulan kegiatan pembangunan seperti yang terlihat dalam proyek-proyek tersebut sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak melibatkan stakeholder non-Pemerintah Provinsi yang seharusnya diikutsertakan.

Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan Pemerintahan Provinsi Papua di dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tidak saja terbatas pada pemerintahan tingkat Provinsi, tetapi juga pemerintahan tingkat Kabu- paten/Kota bahkan sampai ke kampung-kampung. Dengan demikian penting untuk selalu diupayakan agar Kabu- paten/Kota tidak sekedar menjadi objek/sasaran dalam perencanaan dan pelaksanaan Pembangunan. Menjadikan daerah bawahan hanya sebagai sasaran adalah salah satu kelemahan pemerintahan Orde Baru yang seharusnya tidak boleh terjadi lagi dalam masa reformasi sekarang ini. Kita harus berusaha, supaya “Jayapura” pada masa reformasi, apalagi pada masa Otsus Papua, tidak menjadi seperti “Jakarta” pada masa Orde Baru.

Jadi, pada dasarnya ada dua ekstrim yang harus dihindari dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan atas dasar RAPBD 2002. Ekstrim yang pertama adalah proyek-proyek pembangunan diputuskan dan dikendalikan dari Jayapura (termasuk para pimpro-nya pun berkedudukan di Jayapura). Ekstrim yang kedua adalah mengalokasikan sejumlah besar dana yang berasal dari pendanaan Otsus ke pemerintah kabupaten/kota tanpa disertai dengan suatu mekanisme untuk memastikan bahwa dana itu benar-benar akan digunakan untuk menjalankan amanat Undang-undang Nomor 21/2001.

Saya menyarankan bahwa yang harus dilakukan adalah kombinasi dari kedua ekstrim tersebut di atas. Pendekatan kombinasi adalah dalam bentuk pemerintah provinsi melibatkan instansi-instansi teknis dari pemerintah kabupaten/kota, ditambah stakeholder lain (lihat alinea di bawah) untuk bersama-sama membahas apa yang seharusnya dilakukan sesuai dengan pengalokasian dana untuk sektor tertentu. Kesepakatan yang dimaksud tidak saja menyangkut program apa yang harus dilakukan, tetapi juga siapa yang melakukan, dan pendanaannya dikendalikan dari mana. Dengan cara seperti ini bisa diidentifikasi proyek-proyek apa saja yang sebaiknya (baca: lebih efisien dan efektif) dikendalikan dari tingkat Kabupaten (dan karena itu harus masuk dalam RAPBD Kabupaten/Kota yang bersangkutan), dan proyek-proyek apa yang akan jauh lebih efektif dan efisien dikendalikan dari tingkat Provinsi.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melibatkan elemen-elemen masyarakat yang berkompeten (LSM, Yayasan, lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga profesi, dll) di dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek- proyek pembangunan yang sumbernya berasal dari pen- galokasian khusus dalam rangka pelaksanaan Otsus. Pendekatan ini pada dasarnya adalah pelaksanaan amanat dari Undang-undang Nomor 21 tahun 2001, sebagaimana yang tercantum dalam bagian Umum dari Penjelasan Undang-undang tersebut, yang berbunyi sebagai berikut “dengan memungkinkan terciptanya partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan.” Hal-hal yang dikemukakan ini hanya dapat dicapai apabila masing-masing instansi teknis di tingkat Provinsi Papua (Biro, Dinas, Badan, dll) melakukan apa yang dikenal dengan istilah “konsultasi stakeholder”. Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari konsultasi stakeholder seperti ini. Yang pertama adalah, konsultasi stakeholder akan menolong semua pihak untuk memastikan bahwa apa yang direncanakan dan dilaksanakan benar-benar mencerminkan semangat dan isi Undang-undang Nomor 21 tahun 2001.

Yang kedua, konsultasi seperti ini memungkinkan terjadinya pengawasan yang efektif – sesuatu hal yang harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai dari Dana Otsus. Kecenderungan-kecenderungan untuk terjadinya ine- fisiensi penggunaan dana Otsus, termasuk di dalamnya dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), akan relatif efektif dapat diawasi dan dihindari apabila dilakukan proses konsultasi stakeholder seperti yang dimaksud di atas.

Yang ketiga, konsultasi stakeholder adalah alat yang efektif untuk menciptakan rasa memiliki dan meningkatkan tanggung jawab bersama antar berbagai unsur di pemerintahan, parlemen dan masyarakat terhadap keberhasilan program Otsus. Otsus Papua yang berdaya adalah Otsus Papua yang diterima dan dihargai oleh rakyat Papua sendiri. Dan, salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan memastikan terjadinya konsultasi stakeholder.

Dengan ini saya ingin memberikan sara terhadap permasalah otsus ini.

Menyadari tentang pentingnya dana Otsus digunakan secara tertib, benar dan tepat sejak awal, maka disarankan kepada Pemerintah Provinsi dan DPRP Papua untuk mempertimbangkan pokok-pokok berikut ini.

1. Prioritaskan segera pembentukan MRP. Agar Dana Otsus dapat digunakan pada tahun 2002 ini, tidak ada cara lain yang konsisten dengan isi Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 kecuali memprioritaskan pembentukan MRP. Segera sesudah MRP terbentuk, maka Eksekutif dan Legislatif dapat memasukkan rancangan rencana peman- faatan dana otsus tersebut (sebagai bagian dari RAPBD 2002) kepada MRP untuk dibahas. Apabila MRP menyetujuinya, maka rancangan tersebut dapat langsung disahkan oleh DPRP untuk kemudian digunakan untuk melaksanakan program- program. Sebaliknya, apabila MRP tidak menyetujui, maka sudah barang tentu rancangan tersebut masih harus diperbaiki.

2. Sementara proses pembentukan MRP berlangsung, rancangan rencana pemanfaatan Dana Otsus harus dibahas ulang dengan melakukan konsultasi stakeholder secara baik. Pembentukan MRP akan memakan waktu, dan karenanya perlu dilakukan kegiatan perencanaan penggunaan keuangan yang berasal dari pendanaan Otsus secara secara paralel. Dengan cara seperti ini maka kita tidak perlu kehilangan waktu percuma, dan dana Otsus untuk tahun 2002 tetap dapat digunakan sesuai peruntukannya. Perencanaan keuangan Otsus untuk tahun 2002, sementara menunggu pembentukan MRP, seharusnya dapat dilakukan secara baik karena tersedia waktu lebih banyak untuk melakukan konsultasi stakeholder.

3. Berikan perhatian pada upaya-upaya perbaikan ketersediaan data dan informasi yang benar- benar mencerminkan keadaan yang sebenarnya sebagai prasyarat utama perencanaan pemba- ngunan Papua. Salah satu masalah pokok pembangunan di Provinsi Papua adalah kelangkaan data dan informasi yang benar- benar dapat dipercaya – apalagi yang menyangkut berbagai informasi sosial, ekonomi dan kebudayaan penduduk asli Papua. Tentu kita masih ingat bahwa Sensus Penduduk 2000 tidak dapat dilakukan di paling tidak 4 Kabupaten di Provinsi Papua: Puncak Jaya, Paniai, Jayawijaya dan Yapen Waropen. Selain itu, cukup banyak orang asli Papua di Kabupaten/Kota lain yang menolak untuk dicacah pada sensus tersebut. Karena itu saya menyarankan agar dilakukan Sensus Penduduk Papua pada tahun 2002 dengan menggunakan kuesioner yang lebih tajam mengukur variabel-variabel yang memungkinkan kita untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas dan mendalam tentang keadaan orang-orang asli Papua pada khususnya dan penduduk Papua pada umumnya. Dengan demikian, kita akan memperoleh data yang jauh lebih dapat dipercaya dan akan sangat bermanfaat bagi peren- canaan pembangunan di masa mendatang.

Terima kasih.

Referensi :

https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/kebijakan-dana-otsus-bagi-provinsi-papua-9fd42c1f/detail#:~:text=%3E-,Pada%20Tahun%202001%2C%20Provinsi%20Papua%20diberikan%20otonomi%20khusus%20berdasarkan%20UU,Pemerintah%20Pusat%20dan%20Pemerintah%20Daerah.

https://bpkad.papua.go.id/dana-otsus/18/penerimaan-dalam-rangka-pelaksanaan-otonomi-khusus-bagi-provinsi-papua.htm#:~:text=Otonomi%20Khusus%20bagi%20Provinsi%20Papua%20adalah%20kewenangan%20khusus%20yang%20diakui,hak%2Dhak%20dasar%20masyarakat%20Papua.

https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/289/248

Agus Sumule, 2003. Satu Setengah Tahun Otsus Papua Refleksi dan Prospek. Jalan Cendrawasih C-65,Manokwari,Papua 98314. Yayasan Topang.

https://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/452

https://ejurnal.lppmunsera.org/index.php/Sawala/article/download/3496/1838/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun