Mohon tunggu...
Muh Rafi Zadah
Muh Rafi Zadah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sorong

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menganalisis dan Kritik Otonomi Khusus di Daerah Papua

11 November 2023   19:15 Diperbarui: 11 November 2023   19:15 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal yang disebutkan di atas tersebut memiliki implikasi legal-formal yang mendasar. Pertama, dengan mencampur aduk keduanya, DAK kehilangan arti yang sebenarnya dalam RAPBD kita. Pengertian DAK sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 34 ayat 3 huruf f UU Nomor 21 tahun 2001 sesungguhnya secara mendasar telah berubah dibandingkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999. DAK pada Undang- undang Nomor 25 tersebut tidak mencantumkan kata-kata “...dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua ...” sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 34 ayat 3 huruf f UU Nomor 21 tahun 2001. Artinya, DAK dalam era Otsus sekarang nilainya harus lebih besar dari DAK yang dialokasikan menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 pada tahun anggaran 2001 lalu. Sayangnya, DAK yang `lebih’ seperti ini tidak ditaksir jumlahnya dan tidak dimasukkan dalam RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 – dan hanya disebut dengan simbol “u.p.”.

Kedua, sebutan “DAK-Otsus” sebagaimana yang tercantum dalam hampir semua mata anggaran Pembangunan RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 tidak memiliki dasar hukum. Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 sama sekali tidak mengenal istilah DAK-Otsus. Kalau ditinjau dari jumlah anggarannya maka tampaknya yang dimaksud dengan DAK-Otsus dalam RAPBD adalah Penerimaan Khusus dalam rangka Otonomi Khusus yang penggunaannya tidak bisa diatur sebagaimana penggunaan DAK di waktu lalu.

2. Sejauh Mana RAPBD Mencerminkan Pemihakan dan Pemberdayaan Orang-orang Asli Papua.

Pada bagian awal tulisan ini telah dikutip intisari dari Pidato Gubernur Provinsi Papua pada tanggal 21 Januari 2001. Dalam pidato itu secara tegas dikemukakan bahwa setiap program pembangunan di Provinsi Papua harus mampu menunjukkan dengan jelas keberpihakannya bagi orang-orang Papua, dan harus dilakukan dalam kerangka pemberdayaan orang-orang asli Papua.

Dalam Sub-sektor Pendidikan dan Kesehatan, misalnya, pemihakan dan pemberdayaan dimaksud salah satunya haruslah dalam bentuk mengurangi beban pembiayaan rakyat serendah-rendahnya untuk sektor Pendidikan dan Kesehatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat 3 dan Pasal 59 ayat 3 Undang-undang Nomor 21 tahun 2001. Dengan perkataan lain, harus ada alokasi anggaran yang bertujuan untuk mensubsidi secara langsung biaya-biaya pendidikan dan kesehatan yang selama ini dipikul oleh rakyat. Sayangnya, RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 tidak mencantumkan hal tersebut dalam proyek-proyeknya. Tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk secara khusus memberikan subsidi bagi para peserta didik di Provinsi Papua, khususnya anak-anak Papua asli, agar orang tua mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang mereka sendiri yang sudah sangat terbatas itu untuk membeli buku tulis, alat tulis, buku-buku pelajaran, pakaian seragam, sepatu dan lain- lain.

Hal yang sama juga terjadi pada pengalokasian anggaran untuk pembangunan kesehatan. Tidak terlihat dengan jelas berapa besar dana yang dialokasikan agar orang-orang asli Papua tidak perlu lagi mengeluarkan dana untuk membiayai pengobatan mereka di fasilitas kesehatan pemerintah.
Selain contoh-contoh yang dikeluarkan di atas, perlu pula dikemukakan di sini bahwa masih belum tercermin secara jelas dalam RAPBD ini upaya-upaya yang secara sengaja direncanakan oleh Pemerintah Provinsi untuk member- dayakan orang-orang Papua asli di dalam setiap proyek pada setiap sektor pembangunan. Analisis isi (content analysis) yang dilakukan terhadap judul-judul proyek pada hampir semua sektor/sub-sektor sebagaimana yang tercantum dalam RAPBD membuat saya terpaksa menyimpulkan bahwa sulit untuk menyatakan bahwa proyek-proyek tersebut memang dirancang dan diarahkan untuk pemberdayaan orang Papua asli, karena tidak jelas siapa yang akan menjadi resipien (penerima manfaat) langsung dari proyek-proyek tersebut.

3. Keterlibatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Stakeholder Lainnya.

Salah satu masalah mendasar dengan proses penyusunan RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 adalah bahwa usulan- usulan kegiatan pembangunan seperti yang terlihat dalam proyek-proyek tersebut sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak melibatkan stakeholder non-Pemerintah Provinsi yang seharusnya diikutsertakan.

Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan Pemerintahan Provinsi Papua di dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tidak saja terbatas pada pemerintahan tingkat Provinsi, tetapi juga pemerintahan tingkat Kabu- paten/Kota bahkan sampai ke kampung-kampung. Dengan demikian penting untuk selalu diupayakan agar Kabu- paten/Kota tidak sekedar menjadi objek/sasaran dalam perencanaan dan pelaksanaan Pembangunan. Menjadikan daerah bawahan hanya sebagai sasaran adalah salah satu kelemahan pemerintahan Orde Baru yang seharusnya tidak boleh terjadi lagi dalam masa reformasi sekarang ini. Kita harus berusaha, supaya “Jayapura” pada masa reformasi, apalagi pada masa Otsus Papua, tidak menjadi seperti “Jakarta” pada masa Orde Baru.

Jadi, pada dasarnya ada dua ekstrim yang harus dihindari dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan atas dasar RAPBD 2002. Ekstrim yang pertama adalah proyek-proyek pembangunan diputuskan dan dikendalikan dari Jayapura (termasuk para pimpro-nya pun berkedudukan di Jayapura). Ekstrim yang kedua adalah mengalokasikan sejumlah besar dana yang berasal dari pendanaan Otsus ke pemerintah kabupaten/kota tanpa disertai dengan suatu mekanisme untuk memastikan bahwa dana itu benar-benar akan digunakan untuk menjalankan amanat Undang-undang Nomor 21/2001.

Saya menyarankan bahwa yang harus dilakukan adalah kombinasi dari kedua ekstrim tersebut di atas. Pendekatan kombinasi adalah dalam bentuk pemerintah provinsi melibatkan instansi-instansi teknis dari pemerintah kabupaten/kota, ditambah stakeholder lain (lihat alinea di bawah) untuk bersama-sama membahas apa yang seharusnya dilakukan sesuai dengan pengalokasian dana untuk sektor tertentu. Kesepakatan yang dimaksud tidak saja menyangkut program apa yang harus dilakukan, tetapi juga siapa yang melakukan, dan pendanaannya dikendalikan dari mana. Dengan cara seperti ini bisa diidentifikasi proyek-proyek apa saja yang sebaiknya (baca: lebih efisien dan efektif) dikendalikan dari tingkat Kabupaten (dan karena itu harus masuk dalam RAPBD Kabupaten/Kota yang bersangkutan), dan proyek-proyek apa yang akan jauh lebih efektif dan efisien dikendalikan dari tingkat Provinsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun