Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Kontradiksi "Ngopi" Hari Ini, Sebuah Kajian Semiologi

7 Januari 2022   04:54 Diperbarui: 8 Januari 2022   18:30 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Ngedit Sendiri

"Bahasa adalah alat berdusta, jika ia tak dapat digunakan untuk berdusta, maka ia juga tak dapat digunakan tuk mengatakan yang sebenarnya"---Umberto Eco

Kita mungkin akan tampak heran ketika menerima ajakan ngopi teman, namun ketika di ngopi ternyata bukan kopi yang dipesan, terkesan kontradiktif bukan? Apakah orang seperti ini munafik dan patut dimaklumi? Atau ternyata aktivitas ngopi tidak lagi murni?.

Ketika kita sedang ngopi lalu yang kita pesan bukanlah kopi, apakah kita masih dapat disebut ngopi?. Hal yang terlihat sepele ini mungkin pernah kita pikirkan, namun lambat laun kita lupakan tanpa menemukan kejelasan, toh saat tahu jawabannya kita juga tak mendapat kopi gratisan.

Namun bagi sebagian orang, kontradiksi semacam ajakan ngopi tapi yang dipesan bukan kopi patut dikaji secara serius dan diriset secara mendalam.

Pasalnya, bisa saja persoalan 'ngopi' ini menjadi salah satu misteri yang terbesar di muka bumi, misteri yang tak akan diminati orang yang tak mengerti dan terperdaya oleh arus globalisasi. Rasanya sudah waktunya kita kaji secara serius misteri kontradiksi 'ngopi' ini.

Aktivitas Ngopi yang Dikelilingi Kontradiksi

Seperti yang kita lihat, aktivitas ngopi senantiasa dikelilingi kontradiksi, seperti ngajak ngopi tapi yang dipesan bukan kopi, bahkan di tempat saya apapun aktivitas nongkrongnya, ngopilah sebutannya. Seolah akan tidak relevan jika aktivitas nongkrong disebut nge-teh, nge-es, nge-mie dan lain-lain.

Sumber : Ngedit Sendiri
Sumber : Ngedit Sendiri

Kontradiksi seperti ini mungkin secara harfiah dapat membantah teori speech act atau tindak tutur yang dicetuskan oleh Austin, dalam teori tersebut Austin menjelaskan bahwa ada hubungan antara tuturan manusia dengan tindakannya. 

Sedangkan tuturan manusia terkait 'ngopi' seringkali bertentangan dengan aktivitas yang dilakukannya seperti 'nge-es', 'nge-teh', dan 'nge-mie'.

Tentu teori tindak tutur Austin ini masih bisa bertahan bila kata 'ngopi' tak lagi dimaknai 'ngopi' atau 'minum kopi' yang jelas resikonya akan menimbulkan kontradiksi. 

Kontradiksi 'ngopi' ini jelas tak dapat diselesaikan dengan madzhab strukturalisme ala Saussure dkk. Namun kontradiksi ini dapat dipahami dan dicari jalan tengahnya melalui beberapa metode pemahaman.

Dari Perluasan Semantik Menuju Era Post-Dialektik

Pemahaman klasik bahwa 'ngopi' bermakna 'minum kopi' jelas sudah kadaluarsa, 'ngopi' hari ini telah mengalami perluasan semantik atau evolusi makna. Kata 'ngopi' yang awalnya dimaknai 'minum kopi' telah meluas maknanya hingga dapat mewakili kata 'nge-teh', 'nge-mie', 'nge-es', dan lain-lain.

Roland Barthes menjelaskan bahwa tak ada makna tetap dalam bahasa, dengan demikian makna bahasa senantiasa berubah dari masa ke masa, 'ngopi' sebagai suatu kata jelas akan mengalami perubahan makna disadari atau tidak disadari, dengan kata lain 'ngopi yang dulu bukanlah ngopi yang sekarang'.

Fenomena pergantian makna ini yang kemudian menjadi rumpun dialektika bahasa yang menyusun budaya, namun kita sama-sama melihat bahwa gerak laju bahasa mengalami tumpang-tindih makna sehingga terjadi peleburan nilai-nilai budaya. 

Di sinilah kita diantarkan pada era post-dialektis, era ketakjelasan makna yang secara radikal-sruktural bisa disebut sebagai era kemunafikan tanda.

Memahami bahwa tanda tak bersifat ajek rasanya perlu sebagai langkah menghindari perdebatan, seperti meng-iyakan segala minuman yang dipesan saat 'ngopi' bersama teman.

Deteritorialisasi Tanda dan Reteritorialisasi Makna Sebagai Bingkai Budaya

 Kesepakatan akan suatu makna membentuk suatu teritori tanda, yakni semacam wilayah makna (petanda) yang ada di setiap kata (penanda), semisal kata 'makan' yang memiliki teritori tanda yang berbeda dengan kata 'minum'.

Dalam fenomena pergantian makna, ada deteritorialisasi (penghancuran wilayah) tanda yang disepakati kemudian ada reteritorialisasi (pembentukan ulang wilayah) makna, yang kadang deteritorialisasi tak sepenuhnya diiyakan seperti ketakterimaan orang yang diajak 'ngopi' namun memesan yang 'bukan kopi'.

Kata 'ngopi' terlihat tak memiliki teritori, karena maknanya yang sangat banyak, namun kata 'ngopi' tetaplah memiliki teritori makna semisal dalam teritori 'aktivitas nyangkruk. 

Teritori makna kata 'ngopi' jelaslah berbeda dengan teritori makna kata 'tidur', yang keduanya bisa bertemu dalam teritori kata 'hidup'.

Sumber : Ngedit Sendiri
Sumber : Ngedit Sendiri
Teritorialisasi makna seperti yang kita lihat, jelas akan selalu berubah baik mengalami perluasan maupun penyempitan makna yang didasari lewat proses deteritorialisasi dan reteritorialisasi tak terhingga, perjalanannya bergantung (dalam suatu kasus menentukan) pada dinamika budaya yang ada.

Semiotika Metaforis Sebagai Renungan Metodis

Kita telah melihat bagaimana kata 'ngopi' mengalami kontradiksi, sekaligus bagaimana cara kerja bahasa hingga dapat membentuk makna kata 'ngopi' yang sedemikian rupa. 

Abstraksasi dalam kata 'ngopi' dapat kita lihat sebagai suatu metafora, bahwa kata 'ngopi' secara metaforis dapat bermakna apa saja namun tetap ada teritori yang memetakan tandanya.

Dengan menggunakan semiotika/semiologi, kita dapat melihat bagaimana metafora dalam kata 'ngopi' bekerja.

Semisal kita dapat melihat ajakan 'ngopi' ini berasal dari siapa yang kemudian kita lihat kebiasaannya, lalu kita dapat menerka apa yang akan ia pesan/lakukan ketika fenomena 'ngopi' terjadi.

Perlu dicatat, jika kita ingin memahami kata 'ngopi' hari ini, kita tak boleh terjebak dalam teritori lama kata 'ngopi' yang bermakna hanya 'minum kopi', selamat ngopi baik itu menggunakan kopi maupun bukan kopi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun