Kritik pengetahuan mudah diterima, karena basisnya yang rasional, sedangkan kritik peraturan yang kaitannya dengan nilai-nilai moral cenderung tak diterima. Sebab ada suatu hegemoni simbolik yang mengaturnya, sehingga mengakibatkan munculnya pemutlakan kebenaran dalam relativitas pandangan.
 Semisal peraturan pelarangan rambut gondrong dalam sekolahan dengan dalih kebaikan (etis) dan kerapian (estetis), lalu dikritik dengan argumen bahwa aturan itu justru tak baik karena mengalihkan fokus sekolah pada penampilan ketimbang kecerdasan. Namun oknum sekolah masih bersikeras tuk memapankan aturan itu padahal telah rancu, dengan justifikasi etis yang telah kadaluarsa dan basi hipotesanya.
 Dengan membedakan dua kritik ini, kita akan mencoba memasuki pembahasan utama.
Mengkritisi Haruskah Mencari Solusi?
Apakah mengkritik harus disertakan solusi dalam mekanismenya? Dalam kritik pengetahuan yang salah satu contohnya adalah revolusi copernikan, Copernicus memperlihatkan kerancuan pandangan bahwa bumi adalah pusat alam semesta dengan cara melakukan observasi, ternyata menemukan sistem tata surya, lalu memberi pandangan baru bahwa matahari lah yang menjadi pusat alam semesta.
Anggaplah bahwa observasi Copernicus akan benda-benda di semesta adalah upaya pembuktian kerancuan pandangan 'bumi adalah pusat alam semesta', lalu pandangan 'matahari adalah pusat alam semesta' adalah solusinya.
Akankah wajib bagi Copernicus ketika mengamati benda-benda di angkasa lalu mengkritik pandangan 'bumi pusat alam semesta' memberikan solusi atas kritikannya?.
Kita ambil contoh yang lebih kompleks, ada suatu masyarakat yang menaati pola hidup sehat hasil rumusan ilmuwan setempat, ternyata banyak orang yang justru sakit ketika mengikuti pola tersebut. Lalu ada penduduk biasa yang mengkritik pola hidup sehat rumusan para ilmuwan itu, akankah wajib bagi penduduk itu tuk melakukan observasi guna menemukan solusinya?.
 Terlihat di sini bahwa mencari solusi tak harus dilakukan bagi orang yang mengkritisi, mencari solusi adalah tugas bagi orang yang mumpuni. Copernicus mengkritisi sekaligus menemukan solusi karena ia memiliki kapasitas yang mumpuni (sebagai akademisi).
 Dalam kritik peraturan, kita ambil contoh kasus mengenai efektivitas pembelajaran daring. Kita melihat bahwa ternyata pembelajaran daring itu kurang efektif lalu kita mengkritiknya, apakah kita wajib tuk mencari solusinya? Tentu tidak, karena mencari solusi adalah tugas pemerintah, namun jika kita memberi solusi tentu akan lebih baik.
Tak Mau Dikritisi Malah Minta Solusi, Apakah Pikiran Sudah Tak Berfungsi?