Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelarangan Rambut Panjang pada Siswa: Peraturan Terbodoh di Dalam Sekolah

17 Agustus 2021   09:45 Diperbarui: 17 Agustus 2021   09:56 6457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika Sekolah Sudah Lebih Mementingkan Penampilan Ketimbang Kecerdasan, Maka Hancurlah Bangsa Di Masa Depan"

Bisa saya katakan bahwa orang yang menganggap remeh peraturan pelarangan rambut panjang di Sekolah adalah orang yang kurang asupan 4 sehat 5 sempurna, mengapa demikian? 

Tentu karena peraturan pelarangan rambut panjang di Sekolah adalah hal yang amat fatal di dalam pendidikan, kalau coba kita kaji kefatalannya mungkin akan setara fatalnya perilaku Fir'aun dalam kisah Nabi Musa, orang yang menerapkannya terus menerus tanpa mengkaji ulang ibarat para penyembah berhala ketika Nabi Muhammad dakwah.

Yah coba kita fikir saja, apa sih hubungan rambut panjang dengan akhlak baik dan kecerdasan? Memang benar bahwa para guru akan menganggap baik siswa yang mengikuti aturan sekolah, namun baik sendiri juga masih relatif, untuk melihat mana kebaikan dengan probabilitas 'baik' tertinggi tentu perlu kajian etis menggunakan analisa meta-etis yang mendalam. 

Kira-kira guru dan para oknum Sekolah mau menganalisa secara tajam? Yah saya rasa dengan analisis empiris saya mereka tak akan melakukannya, karena itu akan mengganggu pencarian nafkah mereka, yah murid yang sudah sadar akan menganggap bahwa mewajarkan hal tersebut seperti memberi sedekah pada kaum dhuafa.

Kalau saya sih tidak, pendidikan bukan sarana tuk cari nafkah, pendidikan adalah sarana tuk menyusun puzzle-puzzle masa depan, mencari nafkah di dalam pendidikan dengan mengesampingkan tugas utama pembangunan masa depan ibarat menjadi para penjajah keji yang menghancurkan impian dan merusak kesadaran manusia. 

Oleh karena itu mari kita lihat betapa bodohnya peraturan pelarangan rambut panjang di Sekolah, sudah cukup sabar saya terhadap peraturan hina ini, dan saya tak bisa membiarkan kebanalan peraturan ini terus hidup.

Rambut Pendek Itu Rapi Maka Taati, Matamua?

Orang-orang sekolah senantiasa menghamba pada jargon 'rapi' dan ikhwal-ikhwal 'kerapian' ala mereka, seringkali saya tanya pada mereka apa dasar etis dari peraturan tersebut, mereka menjawabnya dengan dalih kerapian, seolah-olah orang yang rapi ini akan sukses di masa depan dan masuk surga. 

Padahal jika kita telaah, kerapian sendiri bukanlah hal yang standarnya tetap dan tidak berubah, coba kita analisa secara (agak) ilmiah, supaya tak seperti orang-orang sekolah yang menelan kebenaran tanpa melihat halal-haramnya pada kecerdasan.

Kerapian adalah standar etis yang tercipta dari rahim norma, makna 'kerapian' tiap daerah tidaklah sama, karena memang norma-norma tiap daerah berbeda. 

Rambut pendek sebagai standar kerapian tentu juga lahir dari rahim norma, norma dibentuk oleh informasi yang merepresi kesadaran manusia, informasi sendiri seperti kata Mihaly Csikszentmihalyi dalam The Evolving Self : A Psychology for the Third Millenium dapat memengaruhi perkembangan diri, dengan kata lain 'rambut pendek sebagai standar kerapian' sebagai informasi dapatlah memengaruhi perkembangan diri.

Akan-kah perkembangan diri manusia (siswa khususnya) dapat lebih baik dengan adanya informasi bahwa 'rambut pendek itu rapi'? Hannah Arendt memperkenalkan sesuatu yang disebut 'banalitas', yakni suatu hal buruk yang menjadi kebiasaan lalu menjadi baik. 

Saya melihat bahwa stigma 'rambut pendek rapi dan baik' yang me-negasi 'rambut panjang tak rapi dan tak baik' adalah suatu banalitas, mari kita lihat mana titik banalnya.

Sudahlah Akui Saja, Pelarangan Rambut Panjang Adalah Kebodohan yang Tak Terelakkan

Mengapa pelarangan rambut panjang adalah banalitas? Coba kita lihat saja dalam mekanisme praktisnya, Sekolah seperti kata Illich harusnya adalah tempat yang menyenangkan, yang kata Freire Sekolah itu membebaskan manusia dari penindasan (ditindas oleh kebodohan, keburukan dll), akan-kah peraturan pelarangan rambut panjang membuat Sekolah menjadi tempat yang menyenangkan? Atau menjadikan Sekolah seperti kata Freire bahwa akan menghlangkan penindasan?.

Yah jelas tidak lah, justru dengan adanya pelarangan rambut panjang, sekolah menjadi tempat yang menakutkan, dan seolah siswa menjadi narapidana yang musti dipetal rambutnya. Guru sering pula mengatakan "Saya Potong Dulu, Nanti Juga Tumbuh" terlihat sekali penyepelean di sana, murid seolah dianggap sebagai objek yang bebas dieksploitasi tubuhnya.

Siswa adalah manusia yang memiliki kesadaran, memiliki perasaan, bukan sebuah benda yang bila diapa-apakan akan menerima. Banyak dari siswa yang takut ke Sekolah karena alasan yang katanya sepele itu. 

Dan eksploitasi kesadaran siswa itu hanya demi alasan kerapian, ibarat menyengsarakan 1000 manusia lalu mensejahterakan 1 di antaranya.

Yah pada akhirnya siswa hanya bisa diam walau impian dan kesadarannya dibunuh perlahan, saya menentang pembunuhan itu, saya ingin mengumumkan perang di medan pemikiran untuk sekolah yang tak memperbolehkan rambut panjang bagi siswanya, bahkan tak kurang dari 10 kali saya bersitegang dengan sekolah karena permasalahan kerapian dan rambut panjang.

Bagi para guru atau orang sekolah bahkan siapapun yang masih kekeh dengan pelarangan rambut panjang, saya tunggu balsan artikel dari kalian, bahkan saya tahu bahwa beberapa guru telah menyadari banalitas ini, namun karena memang terhegemoni oleh atasan dan peraturan maka tak bisa menentang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun