Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nganu yang Nganu karena Nganu: Sebuah Analisis Hyper-Semiotis

29 Juli 2021   14:15 Diperbarui: 29 Juli 2021   14:42 15118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Di sini, kata nganu yang memiliki entropi sangat tinggi tentu sangat tidak efektif dalam penyampaian informasi ketika berkomunikasi, sehingga kata 'nganu' perlu diredudansi. Salah satu cara untuk meredudansi kata 'nganu' adalah dengan melihat konotasi ketika kata nganu itu diungkapkan.

 Semisal ketika ada pertanyaan "Kamu mau makan apa?" lalu dijawab dengan "Aku mau makan nganu yang tempatnya di nganu itu loh", Kalimat ini bisa diredudansi dengan melihat konotasi kalimat tersebut diucapkan, semisal ia sedang berada dimana ketika mengucapkan kalimat tersebut, lalu yang biasanya ia makan itu apa dan kira-kira terakhir kali Anda makan dengannya itu dimana. Dengan begini ketakjelasan dalam kata 'nganu' dapat diminimalisir.

Hyper-Semiotika Diferansial Dalam Makna 'Nganu'

 Hyper-Semiotika adalah suatu metode yang melampaui semiotika, jika semiotika berfokus kepada analisis tanda/bahasa di dalam strukturnya, maka Hyper-Semiotika berfokus pada tanda dalam prakteknya. Hyper-Semiotika berusaha memahami bahwa tanda/bahasa tidak pernah tetap strukturnya, jikalau semiotika mengandaikan struktur bahwa Tanda itu tetap keberadaannya, tetap strukturnya dan tetap maknanya, maka hyper-semiotika meruntuhkan itu karena tanda atau bahasa bisa berubah kapan saja aturan, struktur maupun maknanya.

 Semisal kata 'radikal', jika menggunakan analisis semiotis terhadap kata radikal, kita akan menemukan bahwa secara harfiah dan etimologi kata 'radikal' itu berasal dari kata 'radax' yang berarti suatu hal yang mendasar, maka dengan analisis tersebut kita akan menyalahkan bahwa penggunaan kata radikal (paham ekstrim separatis dan tidak toleran) hari ini itu salah strukturnya.

 Namun ketika kata 'radikal' dianalisa menggunakan metode hyper-semiotika, maka fokus utama adalah pada prakteknya. Bagaimana makna kata 'radikal' hari ini tercipta atau berubah bukan lagi pada strukturnya, analisis hyper-semiotika mengemukakan bahwa pemaknaan kata 'radikal' sebagai golongan yang separatis dan ekstrimis itu tak masalah. 

 Prinsip utama analisis semiotis, sesuai strukturalisme Saussure, adalah difference (perbedaan) yakni bahwa makna suatu tanda/kata tercipta bukan karena substansi di dalamnya, namun karena ia dibedakan dengan tanda/kata yang lainnya. Semisal kata 'ayam', makna 'ayam' sebagai 'binatang berkaki dua' tercipta bukan karena substansi di dalamnya, melainkan karena kata 'ayam' dibedakan dengan kata lainnya (seperti ayah, ayang, ayem dan seterusnya).

 Prinsip difference ini mengandaikan suatu kehadiran perbedaan yang tetap dan tidak berubah, kata 'ayam' seakan menghadirkan perbedaan kata-kata yang lainnya ketika kata 'ayam' diucapkan, seakan kata lain (seperti ayah, ayang, ayem dan seterusnya) hadir tuk membedakan diri dari kata 'ayam' sehingga kata 'ayam' bermakna, prinsip ini yang disebut Derrida sebagai Logosentrisme.

  Jika semiotika mengandalkan difference, maka hyper-semiotika mengandalkan differance (menggunakan 'a'), yakni sebuah prinsip yang membantah logosentrisme dari prinsip difference (menggunakan 'e') yang mana prinsip ini dikemukakan oleh Jaques Derrida.

 Prinsip ini menolak adanya kehadiran makna secara tetap, dalam difference diandaikan bahwa kata memiliki identitas yang melekat dan tetap padanya (kata 'ayam' memiliki identitas denotatif yang tetap dengan objek rujukannya), sedangkan dalam differance tak diandaikan suatu identitas tetap, suatu kata itu bebas tuk dimaknai kata apa saja (kata 'ayam' bisa kita maknai sebagai 'seorang manusia yang memiliki anak' dan lain-lain).

 Kata 'nganu' tak bisa dianalisa secara semiotis (kalaupun bisa bakal kaku) karena memiliki entropi maksimum, sehingga denotasinya kabur. Maka tentu kita akan menganalisa kata nganu menggunakan nganu atau hyper-semiotika, karena hipersemiotika Dalam konsepnya merayakan permainan bebas tanda, dalam artian hipersemiotika digunakan untuk melihat bagaimana permainan bebas tanda itu bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun