Kehadiran demokrasi dalam sejarah peradaban memang tak dapat dipungkiri, suatu sistem dengan janji menghilangkan tabiat otoriter dan totaliter dihadirkan sebagai janji yang baik untuk kemanusiaan, namun hal itu ternyata belum terbukti secara pasti.Â
Rupa-rupanya apa yang dikatakan Slavoj Zizek itu benar, bahwa ternyata demokrasi hanyalah sebatas ilusi, apa guna kebebasan berpendapat kalau tidak dilihat? Apa guna hipotesa masyarakat, kalau pejabat punya aparat? Tulisan saya kali ini akan membawa sosok Nabi Isa Alaihi Salam pada ruangan demokrasi dalam sejarah peradaban.Â
 Saya mengimani bahwa Nabi Isa adalah sosok Nabi yang diangkat oleh Allah Subhana Wa Ta'ala menuju surga, lalu akan turun apabila datang masanya, yaitu masa ketika dunia penuh akan huru-hara, kebenaran akan samar-samar wujudnya, ketika ummat islam mulai berjaya, hingga saat dajjal tiba.Â
Pertanyaannya, kapan hal itu terjadi? Sains sebagai pengetahuan terbaik manusia bahkan tak dapat mengetahuinya, inilah yang disebut oleh Kierkegaard sebagai tahap akhir eksistensi (keberadaan) manusia, yakni berupa kepercayaan apapun alasannya.
 Memasuki dulu pembahasan mengenai demonstrasi
 Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa demonstrasi adalah anak dari demokrasi, demokrasi dapat dinyatakan berguna ketika melahirkan sosok buah hati bernama demonstrasi. Dan akan dilihat apakah anak itu (demonstrasi) dapat membahagiakan orang yang mempercayainya sebagai kebahagiaan yang dijanjikan ibunya (demokrasi) berupa suatu keadilan manusia.
 Kata Immanuel Kant dalam bukunya Critique of pure reason, semua yang berada dalam lingkup realitas (dunia nyata), tak dapat terhindar dari hukum kausalitas (sebab-akibat), karena hukum itulah yang diciptakan Tuhan sebagai hukum alam. Disinilah manusia dapat memahami kejadian dalam kehidupan menggunakan hukum yang diciptakan Tuhan, yakni hukum kausalitas tadi.
 Meletakkan hukum kausalitas pada demokrasi
 Demokrasi adalah suatu sistem liberatif (pembebasan) terhadap pendapat yang ingin dikemukakan pengikut kepada pemimpin, atau rakyat kepada negara dan semacamnya. Kausalitasnya berarti, apabila penguasa tak menaati prinsip demokrasi, ia otomatis akan memicu masalah baru ditengah masyarakat yang beropini (berpendapat), inilah yang memicu adanya demonstrasi (yang saya sebut sebagai buah hati demokrasi), karena sang buah hati takkan terima apabila ibunya disakiti.
 Lalu apabila pemerintah/penguasa masih apatis dengan adanya buah hati demokrasi, maka buah hati akan marah dan menjadi anarkis seketika, itulah yang kita saksikan bersama sebagai huru-hara kekerasan masa beberapa waktu lalu, yang dapat lanjut hingga nanti. Apabila kemarahan sang buah hati demokrasi (demonstrasi) berupa anarkisme/kekerasan masih saja tak dipedulikan, disinilah demokrasi saya definisikan sedang masuk pada fase akhir zaman.
 "Disinilah Nabi Isa dikata turun oleh massa, karena demokrasi sudah dianggap masuk ke dalam akhir zaman, Dajjal pun sudah hadir didalam pemerintahan."
 Terlihat anekdot memang, pamflet yang bertuliskan "Turunkan Nabi Isa", tapi saya menangkap hal tersebut sebagai pesan kekecewaan buah hati (demonstrasi) , akan ibunya (demokrasi) yang hampir mati.Â
Dalan kitab suci sendiri, atau bahkan semua pelajaran dalam kehidupan, mengatakan bahwa kebenaran yang selalu menang, karena kebenaran yang ditinggikan tuhan ketimbang kejahatan/kesalahan. Dan bukankah hal itulah (kebenaran) yang dicari filsafat, juga para manusia dari zaman pertama diciptakannya hingga sekarang dan masa depan?.
 Karena hal itulah yang sesungguhnya Etis-Filosofis-Teologis-Ideologis-Saintis dari eksistensi/keberadaan segala sesuatu, kebenaranlah hakikat sahih dari apapun didunia ini, disini mungkin pembaca bertanya, lalu mengapa ada kesalahan?, disitu filsafat dapat menjawab, karena kesalahan juga benar adanya, artinya kesalahan benar keberadaannya dan tentunya keberanan-lah yang memperbaikinya.
 Kita mengetahui bersama, sistem demokrasi yang selama ini merawat bangsa ini, lalu apabila ia mati, siapa yang akan disalahkan? Apakah buah hatinya yaitu demonstrasi yang disalahkan? Tidak tentunya, yang membunuhnya lah yang harus disalahkan, bila di anologikan, inilah perang antara Nabi Isa dan Dajjal pada akhir zaman demokrasi, siapa yang akan mati? Tentunya kebenaran-lah yang akan tetap hidup sampai akhir zaman yang sebenarnya nanti.
 Semoga yang saya katakan salah, bahwa ada dajjal di pemerintahan, semoga Nabi Isa juga belum diturunkan, karena ialah senjata terakhir kebenaran.
 Segeralah tobat pemerintah yang menjadi sebab-akibat dari segala peristiwa di negara.
 Terimakasih, bila ada salah mohon dimaafkan, bila bermanfaat tolong bagikan, menerima kritik dan saran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H