Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan, tak terkecuali pada suatu organisasi. Komunikasi merupakan ruh yang menjadi ujung tombak eksistensi dalam organisasi.Â
Baik pengurus maupun anggota organisasi harus bisa saling memahami dan saling mempercayai supaya tercipta sebuah harmoni. Â Tentu hal ini komunikasi telah menjadi bagian integral organisasi yang tidak dapat dipisahkan.Â
Seorang pengurus organisasi harus dapat mengomunikasikan kegiatan apa yang perlu dilaksanakan dengan penyampaian yang baik supaya dapat dipahami oleh anggota.Â
Begitu juga ketika melaksanakan program kerja, antar anggota  organisasi diharapkan dapat berkomunikasi dengan efektif  supaya tercipta kerja sama yang baik pula. Dengan kata lain, eksistensi suatu organisasi ditentukan oleh bagaimana pola komunikasi yang terjadi di dalamnya.
Namun, ungkapan tiada laut yang tak berombak adalah sebuah keniscayaan. Setiap organisasi tentu bersifat terbuka terhadap calon anggotanya.Â
Organisasi merupakan sebuah wadah yang digunakan untuk mencapai tujuan bersama. Sehingga hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa anggota organisasi berasal dari latar budaya yang berbeda-beda.Â
Perbedaan ini dapat menjadi faktor penghambat terjadinya proses komunikasi dalam suatu organisasi. Misalnya komunikasi yang terjadi antar anggota yang berasal dari Surabaya dengan anggota yang berasal dari Surakarta atau antara orang Batak dengan orang Sunda dapat memicu terciptanya bias komunikasi.Â
Perbedaan budaya komunikasi sering kali menimbulkan kesalahpahaman karena kurangnya pemahaman terhadap latar belakang lawan bicaranya. Oleh karena itu, orientasi yang berkelanjutan terhadap sesama anggota organisasi merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan.
Hambatan komunikasi dalam organisasi karena faktor kebudayaan dapat diminimalisir dengan melakukan pendekatan sosiokultural melalui kajian teori kode berbicara (speech code theory).Â
Teori yang dicetuskan oleh Gerry Philipsen menyatakan bahwa setiap etnis di dunia memiki variasi komunikasi yang beragam. Menurut Philipsen, studi untuk mengetahui cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain meskipun mereka memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda dapat dipelajari dalam ilmu etnografi.Â
Philipsen juga menyampaikan proposisi bahwa di mana ada suatu pebedaaan budaya, di sanalah akan ditemukan kode berbicara yang berbeda pula. Seperti yang telah diketahui, bahwa suatu organisasi tidak menutup kemungkinan memiliki anggota yang berasal dari berbagai daerah dengan beragam kebudayaan yang berbeda.Â
Setiap anggota tentu juga memiliki kode atau pola komunikasi yang bervariasi. Misalnya nada suara tinggi di kalangan suku Batak dinilai sebagai sebuah kebiasaan, namun di kalangan suku Jawa, penggunaan nada tinggi merupakan refleksi dari kemarahan.Â
Di daerah Jawa Timur, khususnya Surabaya penggunaan beberapa kalimat seperti "cuk" merupakan sebuah simbol keakraban yang menjadi kebiasaan.Â
Berbeda dengan Jawa Tengah, khususnya wilayah yang masih terpengaruhi oleh budaya Keraton Surakarta bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat yang tidak sopan serta tidak pantas untuk diucapkan.Â
Tentu hal tersebut kalau tidak disertai dengan rasa saling memahami dapat menyebabkan kesalahpahaman yang menghambat proses komunikasi dalam organisasi.
Untuk meminimalkan hambatan tersebut, maka seluruh anggota organisasi harus bersifat terbuka terhadap kebudayaan yang ada. Mempelajari berbagai kode dan pola komunikasi antar anggota organisasi mutlak diperlukan supaya komunikasi dapat berjalan dengan efektif.Â
Setiap anggota juga harus mengedepankan sikap positive thinking untuk menghindari terjadinya kesalahan persepsi. Meskipun anggota organisasi juga dituntut untuk menyesuaikan dengan kebudayaan setempat, namun budaya asal tentu tidak mudah untuk ditinggalkan.Â
Oleh karena itu, setiap anggota harus bersikap bijak dengan cara senantiasa melakukan orientasi terhadap partisipan komunikan. Sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki bahasa persatuan, penggunaan Bahasa Indonesia yang baik juga menjadi alternatif untuk menekan perbedaan kode dan pola komunikasi yang melibatkan partisipan dari berbagai macam budaya.Â
Ketika setiap anggota organisasi dapat mengetahui beragam kode komunikasi dari lawan bicaranya, maka akan tercipta harmonisasi sehingga komunikasi mampu berjalan dengan efektif dan pada akhirnya seluruh elemen organisasi bisa mencapai target yang telah ditentukan sebelumnya.
Daftar Pustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H