Mohon tunggu...
Muh Miftakhudin
Muh Miftakhudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hahahihi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni)

12 Maret 2023   22:08 Diperbarui: 12 Maret 2023   22:27 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama: Muhammad Miftakhudin

NIM: 212121093

Kelas: HKI_2C

Review Buku

1.Nama Pengarang

Dr. H. A. sukris Sarmadi, S.Ag. MH

2.Judul Buku

Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni)

3.Penerbit

Aswaja Pressindo

4.Kesimpulan Isi Buku

Studi hukum waris Islam dikatakan sebagai kajian normatif karena berkaitan dengan studi pada teks-teks normatif berupa al-Qur'an dan as-Sunnah serta bagaimana mengaplikasiskannya secara benar sesuai dengan tuntunannya. Al-Qur'an sebagai dasar pembagian waris yang dikenal dengan istilah al-faraid. Penyebutan istilah faraid menunjuk pada pengertian adanya ketentuan yang pasti terhadap setiap orang yang menjadi ahli waris. 

Pembagian hak bagi ahli waris yang telah ditentukan didalam al-Qur'an sebagai sebuah ajaran sangatlah lengkap dan dinamis sebagai perhitungan matematis sehingga menghasilkan perhitungan yang sistematis. Tidak ada sistem perhitungan waris yang paling baik dan adil di dunia kecuali dalam Islam, karena perhitungan waris didalam islam ditetapkan langsung oleh Allah melalui wahyu-Nya.

Hukum waris Islam masuk bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. D. W. Freijer pernah diperintahkan untuk menyusun Conpendium yang memuat hukum perkawinan Islam dan kewarisan Islam masa pemerintahan VOC yang kemudian diperbaiki dan disempurnakan oleh tokoh yuris Islam pada masa itu. 

Berdasarkan pengakuan hukum Islam di zaman Belanda menyebabkan lahirnya teori Receptio in complexu bahwa hukum Islam berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam yang dijadikan standart politik hukum Belanda. 

Selain kewarisan adat dan hukum Islam, di Indonesia juga berlaku hukum waris perdata peninggalan colonial Belanda yang termaktub dalam B.W atau KUH Perdata. Penyelesaian sengketa waris bagi umat Islam diselesaikan di Pengadilan Agama, sedangkan bagi oran non islam penyelesaiannya di Pengadilan Umum, baik yang menghendaki penyelesaian secara hukum adat (di luar hukum Islam) maupun yang ada pada KUH Perdata.

Ilmu hukum dibedakan menjadi dua pengertian antara istilah hukum materil dan hukum formil. Hukum materil dipahami sebagai hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan yang berupa perintah dan larangan. Sedangkan hukum formil dipahami sebagai cara mempertahankan atau dapat disebut dengan hukum acara. 

Hukum materil tentang kewarisan Islam bagi umat islam di Indonesia belum diundangkan, berbeda dengan hukum formil yang telah tertuang pada UU No. 7 Tahun 1989 dan UU No. 3 Tahun 2006 maupun UU No. 50 Tahun 2009. Hukum waris Islam yang selama ini diyakini mayoritas umat Islam di Indonesia tersebar dalam kitab-kitab klasik diberlakukan sebagai hukum materil. Kitab-kitab fiqh yang digunakan pada umumnya memuat ketentuan al-faraidl bermadzhab Syafi'i atau fiqh waris sunni pro-Syafi'i yang sampai sekarang dijadikan sebagai pedoman yuridis para hakim di Pengadilan Agama.

Kitab-kitab yang digunakan bersesuaian dengan Surat Edaran biro Peradilan agama Departemen agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP no. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agamm di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara , maka hakim Peradilan agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum yang bersumber dalam kitab-kitab fiqh tersebut. 

Kemudian dibuatlah pengkodifikasian yang diupayakan sebagai suatu pedoman yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai hasil loka karya para yuris Islam Indonesia yang dituangkan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 merupakan fakta keberadaan fiqh madzhab Sunni versi Imam Syafi'i. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat memudahkan para hakin di Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa waris bagi umat islam.

Bahasan Hukum Waris Islam di Indonesia menyangkut pengertian hukum warisan, ruang lingkung kewarisan serta segala istilahnya yang disebutkan dalam Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam.

Pasal 171 huruf (a) KHI menegaskan fungsi atau tujuan dari diadakannya hukum warisan. Maksudnya, dengan adanya pengaturan tersebut berarti hak-hak keperdataan mengenai harta telah dijabarkan berupa hak menerima harta dari orangf tertentu kepeda dirinya disebabkan adanya hubungan khusus antara dirinya sebagai penerima hak dengan orang yang memiliki harta. 

Dalam hukum kewarisan Islam, hubungan tersebut dapat berupa hubungan nasab, sepersusuan, dan hubungan sebeb perkawinan. Dalam pasal tersebut, istilah tirkah dipahami dengan harta peninggalan pewaris sebelum dikeluarkan untuk biaya penyelenggaraan jenazah, biaya pelunasan hutan dan pembayaran wasiat. Pasal 171 huruf (d) menegaskan mengenai tirkah dengan istilah harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik berupa harta benda yang dimilikinya maupun hak-haknya.

Selanjutnya pada Pasal 171 huruf (b) menegaskan mengenai masalah definisi pewaris sebagai orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta peninggalan di mana pada saat meninggalnya dinyatakan meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Ketentuan ini tidak berbeda dengan ketentuan yang ada dalam fiqh Islam selama ini. 

Meninggal di mata hukum yaitu meninggalnya dapat dibuktikan secara hukum. Selama ini, sebagaimana yang berkembang dalam fiqh Islam, seseorang yang dikatakan meninggal adalah baik meninggalnya secara hakiki atau hukmi maupun takdiri. Penetapan tentang ahli waris dari Pengadilan Agama adalah berdasarkan adanya hubungan hukum (Islam) yakni hubungan darah/nasab (genetic), hubungan sepersusuan dan perkawinan sebagaimana yang dipahami terhadap Pasal 171 huruf (c) dana pa yang dijabarkan Pasal 174 KHI.

Serangkaian perincian masalah kewarisan tidak serta merta mengesampingkan masalah wasiat pewaris. Wasiat dari pewaris haruslah didahulukan sebelum terjadinya pembagian harta warisan kepada para ahli waris. Pasal 171 huruf (f) menjelaskan secara khusus bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Wasiat terjadi selagi pewaris masih hidup untuk memberikan harta pribadinya kepada orang lain atau lembaga tertentu dengan pernyataan tegas dari pewaris bahwa yang dimaksudkan adalah wasiat, dengan dipersaksikan oleh dua orang saksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 194-209 KHI. Wasiat berlaku setelah pewaris meninggal dunia, berbeda dengan hibah yang diberikan selagi ia masih hidup berupa harta untuk dimiliki sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 171 huruf (g) dan perinciannya ada dalam pasal 210-213 KHI. Pasal 171 huruf (h) menjelaskan tentang anak angkat. Selama ini dalam hukum Islam, anak angkat dianggap tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya maupun sebaliknya. Berbeda dengan hukum keperdataan barat yang memberi bagian tertentu untuk anak angkat. Hukum waris Islam sebagaimana yang terlihat dalam Pasal 209 KHI telah memberikan jalan hubungan dengan masalah kewarisan agar anak angkat memperoleh harta warisan atau harta peninggalan dari orang tua angkatnya maupun sebaliknya melalui wasiat wajibah.

Ahli waris atau yang biasa disebut dengan furud al-muqaddarah diklasifikasikan menjadi tiga hubungan yaitu, hubungan darah (nasabiyah), hubungan perkawinan dan perwalian. Hubungan yang terakhir atau hubungan perwalian sudah tidak diberlakukan lagi karena di zaman sekarang sudah tidak ada perbudakan. Perwalian yang dimaksud adalah orang yang memerdekakan budak. Secara umum rangkaian hukum Islam yang diatur dalam KHI memiliki persamaan dengan hukum waris yang diatur dalam fiqh Islam Sunni, khususnya yang telah diatur dalam Pasaln 174 KHI. Tetapi ada perbedaan antara hukum yang diatur dengan KHI dan fiqh sunni, jika dalam KHI ada ahli waris pengganti dimana bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Sedangkan dalam fiqh islam sunni tidak ada istilah pergantian, bagian mereka masukmasukn dalam bahasan bagian masalah cucu dengan system pembagian tersendiri. Para cucu berhak memperoleh warisan dengan ketentuan khusus.

Ahli waris juga memiliki kewajiban atas harta peninggalan seperti yang tercantum dalam Pasal 175 KHI. Prioritas utama yang dilakukan para ahli waris terhadap pewaris adalah mengurus dan menyelesaikan pemakaman jenazah, sebagaimana pendapat jumhur ulama' pada fiqh Islam sunni. Berdasarka pada Pasal 171 huruf (e) biaya yang dimaksud diambil dari harta peninggalan mayit. Kewajiban lainnya yang harus dilaksanakjan oleh para ahli waris yaitu menyelesaikan semua hutang-hutang mayit kepada orang lain selagi ia masih hidup. Ditegaskan dalam Pasal 175 ayat (2) bahwa jika harta peninggalan mayit tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya, maka mustahab (sebaiknya) bagi ahli waris atau kerabat lain yang membayarkannya. Apabila para ahli waris berselisih pendapat tentang pembagian warisan, maka dapat diajukan ke Pengadilan Agama setempat. Ketika perkara tersebut sudah terselesaikan oleh pihak pengadilan, maka tidak ada acara perdamaian yang dapat dilakukan lagi.

Berdasarkan yang ditunjukkan pada Pasal 183 KHI bahwa perdamaian harus didasarkan kepada kesadaran para ahli waris dimana mereka telah mengetahui bagian saham mereka masing-masing sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Tujuan tersebut disyaratkan agar tidak terjadi kerugian dari salah satu pihak ahli waris. Perdamaian yang dimaksud adalah kerelaan pihak-pihak yang bersepakat dalam pembagian tersebut. Ada dua alasan dasar yang memungkinkan bagi KHI untuk memperbolehkan terjadinya pembagian harta dengan cara perdamaian, yang pertama yaitu para ahli waris sudah mengetahui bagian saham mereka masing-masing secara hukum materil islam. Kedua, berdasarkan fiqh waris Islam sebagian ulama' faradhiyun memperbolehkan terjadinya takharruj berupa perjanjian yang diadakan ahli waris mengundurkan dirinya (salah satu atau sebagian dari mereka) dari saham sebagian warisan sebagai pergantian, imbalan dari barang tertentu yang diberikan kepadanya. Takharuj yang berarti mengundurkan diri salah satu atau beberapa orang ahli waris dari perolehan saham waris melewati perjanjian pergantian tertentu merupakan dasar bolehnya terjadinya perdamaian dalam pembagian harta waris.

Konsep Asasi dan Sebab-Sebab Beroleh Kewarisan memiliki lima prinsip filosofis hukum kewarisan Islam yang telah disepakati oleh para ahli hukum Islam sehingga ia dijadikan asas hukum waris, yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas peristiwa kematian. Asas ijbari dimaksudkan bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas bilateral maksudnya sistem pembagian waris Islam bukan berdasarkan garis keturunan sepihak seperti garis bapak atau garis ibu namun, dari kedua belah pihak ibu bapak. Asas individual adalah harta warisan yang dapat dibagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Asas keadilan yang berimbang adalah jumlah nilai bagian (fard) yang diperoleh ahli waris adalah seimbang dengan hak dan perolehan bagian warisnya berbeda. Kewarisan karena hubungan perwalian tidak dicantumkan dalam KHI, karena telah berubahnya zaman dimana saat ini tidak ada lagi perbudakan.

Penghalang memperoleh warisan atau yang disebut sebagai mawaniu al-irtsi adalah gugurnya hak seorang ahli waris untuk memperoleh harta warisan. Hak perolehan tersebut dapat gugur atau terhalang dikarenakan sebab-sebab khusus, walaupun dalam statusnya ia merupakan ahli waris seperti anak terhadap orang tuanya maupun sebaliknya. Dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia, seseorang terhalang memperoleh warisan sebagaimana yang disebutkan pasal 173 adalah berdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap di hukum karena membunuh ataupun memfitnah pewaris. Hukum acara yang mengatur hal ini didasarkan pada pengaturan yang berlaku dalam lembaga hukum di lingkungan Pengadilan Negeri yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selain dua hal tadi yang dapat menghalangi seseorang mendapatkan warisan, berbeda agama juga menjadi penyebab seseorang tidak mendapatkan warisan. Walaupun tidak ada ketentuan khusus dalam KHI bukan berarti tidak ada hukum tentang perkara tersebut. Para hakim agama tentunya tetap memilih al-Qur'an dan al-Hadits hingga hasil Ijtihad, sebagai pedoman pengambilan keputusan hukum selain KHI.

Hijab dalam pengertian fiqh Islam adalah keadaan tertentu yang mengakibatkan seseorang terhalang untuk mewarisis, baik terhalangnya mengakibatkan seseorang tidak memperoleh sama sekali (hijab hirman) atau berakibat hanya mengurangi bagian perolehan harta warisan (hijab nuqsan). Khusus persoalan cucu, termasuk di dalamnya cuvu perempuan pancar laki-laki dalam KHI Pasal 185 tidak dapat terhijab hirman jika kedudukannya sebagai waris pengganti terkecuali orang yang digantinya masih hidup, maka ia tidak dapat menggantikan kedudukan orang tuanya karena terhijab hirman oleh orang tuanya sendiri. Menurut KHI bahwa para ahli waris yang terhijab hirman juga dapat terhijab nuqsan adalah saudari seayah. Sedangkan ahli waris yang hanya mungkin terhijab hirman tetapi tidak terhijab nuqsan adalah para cucu ketika ada orang tua mereka.

Praktik pembagian warisan para ahli waris harus sesuai dengan bagiannya masing-masing yang telah ditentukan di dalam al-Qur'an dan juga Kompilasi Hukum Islam. Anak laki-laki merupakan ahli waris 'ashobah yakni berhak menghabiskan sisa harta waris setelah diberikan kepada ashabu al-furud yang lain. Anak perempuan, ayah, dan ibu adalah ahli waris nasabiyah yang memiliki nilai saham tertentu (furud al-muqaddarah). Suami (duda) dan istri (janda) merupakan ahli waris sababiyah dan termasuk ashab furud yang memiliki bagian tertentu. Para cucu pancar laki-laki dan perempuan serta ahli waris pengganti merupakan ahli waris nasabiyah dan memiliki saham tertentu jika ia pancar perempuan dan sebagai 'ashobah jika ia pancar laki-laki, dan kedudukan mereka sudah diatur di dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Dalam perhitungan mengenai cucu banyak sekali hasilnya berbeda dengan madzhab Sunni terutama ketika menyangkut masalah cucu laki-laki ataupun perempuan pancar perempuan yang dianggap sebagai dzaw al-arham. Mereka hanya boleh mewarisi harta ketika tidak ada para ahli waris dzaw al-furudh. Para saudara-saudari terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan sekandung, seayah (sebapak) atau seibu. Mereka termasuk dalam kelompok ashabu al-furudh yang memiliki saham tertentu dan merupakan ahli waris nasabiyah menyamping. Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah kakek dan nenek tidak dijelaskan secara rinci kecuali menyebutnya sebagai orang yang memiliki peluang menjadi ahli waris.

Penyelesaian perhitungan waris dari saham atau bagian para ahli waris yang berupa bilangan pecahan, terkadang saham-saham tersebut apabila apabila dijumlahkan akan melebihi dari harta-harta yang akan dibagi. Masalah adanya kelebihan saham para ahli waris yang berakibat harta yang dibagi tidak mencukupi di dalam fiqh disebut dengan masalah aul. Ciri masala haul adalah apabila perhitungan bilangan pecahan angka pembilangnya lebih besar dari angka penyebutnya atau melebihi jumlah asal masalahnya. Adapun mengenai raad adalah kebalikan dari aul. Tradisi fiqh mawaris menyebutkan bahwa raad berarti harta yang dibagi masih tersisa. Ciri masalah raad ini adalah jika nilai saham (pembilang) lebih kecil dari asal masalahnya (penyebut). Radd hanya mungkin terjadi jika tidak ada ahli waris ashobah yakni yang menghabisi sisa harta. Raad merupakan cara penyelesaian perhitungan ketika harta masih tersisa sedang ahli waris ashobah tidak ada. Mengenai cara penyelesaian raad ini tidak ada secara tekstual dalam nash agama sebagaimana dalam masalah aul. Pada masa sahabat, selain aul, raad juga menjadi polemic hukum diantara mereka.

Pasal 171 huruf (f) menyebutkan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Menurut madzhab fiqh Sunni, wasiat mempunyai beberapa rukun dan syarat tertentu. Rukun-rukun tersebut yaitu pertama, adanya al-mushi (pewasiat), yang syaratnya harus orang yang berakal, sudah dewasa, mukallaf dan tidak dipaksa orang lain. Kedua, adanya al-mushilahu (orang yang menerima wasiat) dengan syarat orang tersebut bukan ahli warisnya. Pada Pasal 195 ayat (3) menyebutkan bahwa wasiat kepada ahli waris hanya berlaku jika disetujui oleh para ahli waris. Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuatan akta wasiat sebagaimana tertuang dalamn Pasal 208 KHI. Ketiga, adanya sesuatu yang diwasiatkan (al-musha bihi) adalah milik al-mushi (pewaris) tanpa ada tewrsangkut hak sedikitpun dengan orang lain. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak pewaris (Pasal 194 ayat 2). Keempat, adanya lafadz perwasiatan atau bukti terjadi perwasiatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 195 ayat 1 yang menyebutkan bahwa wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris.

Pada Pasal 171 huruf (g) mendefinisikan bahwa hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah berbeda dengan wasiat, di mana ia berlaku dan terjadi ketika pemberi hibah masih hidup tanpa menunggu kematiannya sebagaimana dalam wasiat. Hibah juga memiliki beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, pertama adanya penghibah dengan syarat berumur minimal 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada unsur paksaan dari orang lain (Pasal 210 ayat 1). Kedua, adanya penerima hibah (al-mauhubu lahu), dengan syarat ia dapat memilikinya. Dalam Pasal 211 disebutkan bahwa hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Selanjutnya, pada Pasal 212 disebutkan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembvali kecuyali hibah orang tua kepada anaknya. Rukun yang ketiga yaitu adanya harta yang dihibahkan (al-mauhubu bihi) dengan syarat hartanya bernilai, milik si penghibah, dan tidak boleh melebihi 1/3 harta penghibah. Keempat, adanya lafadz yang menyatakan penghibahannya dengan disaksikan dua orang saksi (pasal 20 ayat 1)

5.Kesimpulan dan Inspirasi

Hukum Waris Islam di Indonesia sudah ditetapkan aturan-aturannya di dalam al-Quran maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam. Bagian-bagian para ahli waris juga telah ditetapkan di dalam al-Qur'an. Setelah mempelajari hukum waris yang berlaku di Indonesia, kita dapat mengetahui secara lebih luas tentang hukum kewarisan yang ada. Mengetahui tentang wasiat dan hibah bahwa keduanya berbeda, saat berlakunya pun berbeda. Hukum waris ini dapat membantu masyarakat dalam masalah pembagian warisan maupun wasiat pewaris yang berlaku ketika ia sudah meninggal dunia. Bagian-bagian yang didapatkan ahli waris yang tercantum dalam KHI maupun al-Qur'an dan as-Sunnah sudah ditetapkan demi kemaslahatan bersama. Disamping itu, hukum waris juga membahas tentang ahli waris yang terhalang dan tidak memperoleh hak dari harta warisan. Sebab-sebab seseorang tidak mendapat harta warisan juga telah dibahas secara detail dalam Hukum Kompilasi Islam.

Mempelajari hukum waris Islam mendorong saya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kewarisan sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan. Saya bertekad untuk dapat menjadi volunteer untuk mensosialisasikan tentang hukum kewarisan Islam. Penting bagi masyarakat untuk mengetahui tentang hukum kewarisan Islam, karena setiap orang pasti akan meninggal dunia sehingga orang yang ditinggalkan atau ahli warisnya harus paham tentang pembagian harta dari pewaris. Apabila pewaris mewasiatkan suatu hal, maka hal tersebut haruslah dilaksanakan. Jadi, peran volunteer dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hukum kewarisan Islam sangatlah diperlukan. Volunteer yang baik harus dapat memahami segala hal tentang hukum kewarisan yang akan disosialisasikan kepada masyarakat yang pemahaman tentang kewarisannya kurang. Dengan adanya sosialisasi dari para volunteer, masyarakat akan lebih memahami masalah kewarisan dan tidak perlu berdebat maupun berebut harta dari pewaris. Setelah masyarakat memahami hukum kewarisan Islam, mereka akan dapat menyelesaikan masalahnya ketika salah seorang keluarganya ada yang meninggal, dan para ahli waris akan dapat menerima bagiannya masing-masing dengan lapang dada dan ikhlas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun