Mohon tunggu...
Muh Miftakhudin
Muh Miftakhudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hahahihi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni)

12 Maret 2023   22:08 Diperbarui: 12 Maret 2023   22:27 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam hukum kewarisan Islam, hubungan tersebut dapat berupa hubungan nasab, sepersusuan, dan hubungan sebeb perkawinan. Dalam pasal tersebut, istilah tirkah dipahami dengan harta peninggalan pewaris sebelum dikeluarkan untuk biaya penyelenggaraan jenazah, biaya pelunasan hutan dan pembayaran wasiat. Pasal 171 huruf (d) menegaskan mengenai tirkah dengan istilah harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik berupa harta benda yang dimilikinya maupun hak-haknya.

Selanjutnya pada Pasal 171 huruf (b) menegaskan mengenai masalah definisi pewaris sebagai orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta peninggalan di mana pada saat meninggalnya dinyatakan meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Ketentuan ini tidak berbeda dengan ketentuan yang ada dalam fiqh Islam selama ini. 

Meninggal di mata hukum yaitu meninggalnya dapat dibuktikan secara hukum. Selama ini, sebagaimana yang berkembang dalam fiqh Islam, seseorang yang dikatakan meninggal adalah baik meninggalnya secara hakiki atau hukmi maupun takdiri. Penetapan tentang ahli waris dari Pengadilan Agama adalah berdasarkan adanya hubungan hukum (Islam) yakni hubungan darah/nasab (genetic), hubungan sepersusuan dan perkawinan sebagaimana yang dipahami terhadap Pasal 171 huruf (c) dana pa yang dijabarkan Pasal 174 KHI.

Serangkaian perincian masalah kewarisan tidak serta merta mengesampingkan masalah wasiat pewaris. Wasiat dari pewaris haruslah didahulukan sebelum terjadinya pembagian harta warisan kepada para ahli waris. Pasal 171 huruf (f) menjelaskan secara khusus bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Wasiat terjadi selagi pewaris masih hidup untuk memberikan harta pribadinya kepada orang lain atau lembaga tertentu dengan pernyataan tegas dari pewaris bahwa yang dimaksudkan adalah wasiat, dengan dipersaksikan oleh dua orang saksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 194-209 KHI. Wasiat berlaku setelah pewaris meninggal dunia, berbeda dengan hibah yang diberikan selagi ia masih hidup berupa harta untuk dimiliki sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 171 huruf (g) dan perinciannya ada dalam pasal 210-213 KHI. Pasal 171 huruf (h) menjelaskan tentang anak angkat. Selama ini dalam hukum Islam, anak angkat dianggap tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya maupun sebaliknya. Berbeda dengan hukum keperdataan barat yang memberi bagian tertentu untuk anak angkat. Hukum waris Islam sebagaimana yang terlihat dalam Pasal 209 KHI telah memberikan jalan hubungan dengan masalah kewarisan agar anak angkat memperoleh harta warisan atau harta peninggalan dari orang tua angkatnya maupun sebaliknya melalui wasiat wajibah.

Ahli waris atau yang biasa disebut dengan furud al-muqaddarah diklasifikasikan menjadi tiga hubungan yaitu, hubungan darah (nasabiyah), hubungan perkawinan dan perwalian. Hubungan yang terakhir atau hubungan perwalian sudah tidak diberlakukan lagi karena di zaman sekarang sudah tidak ada perbudakan. Perwalian yang dimaksud adalah orang yang memerdekakan budak. Secara umum rangkaian hukum Islam yang diatur dalam KHI memiliki persamaan dengan hukum waris yang diatur dalam fiqh Islam Sunni, khususnya yang telah diatur dalam Pasaln 174 KHI. Tetapi ada perbedaan antara hukum yang diatur dengan KHI dan fiqh sunni, jika dalam KHI ada ahli waris pengganti dimana bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Sedangkan dalam fiqh islam sunni tidak ada istilah pergantian, bagian mereka masukmasukn dalam bahasan bagian masalah cucu dengan system pembagian tersendiri. Para cucu berhak memperoleh warisan dengan ketentuan khusus.

Ahli waris juga memiliki kewajiban atas harta peninggalan seperti yang tercantum dalam Pasal 175 KHI. Prioritas utama yang dilakukan para ahli waris terhadap pewaris adalah mengurus dan menyelesaikan pemakaman jenazah, sebagaimana pendapat jumhur ulama' pada fiqh Islam sunni. Berdasarka pada Pasal 171 huruf (e) biaya yang dimaksud diambil dari harta peninggalan mayit. Kewajiban lainnya yang harus dilaksanakjan oleh para ahli waris yaitu menyelesaikan semua hutang-hutang mayit kepada orang lain selagi ia masih hidup. Ditegaskan dalam Pasal 175 ayat (2) bahwa jika harta peninggalan mayit tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya, maka mustahab (sebaiknya) bagi ahli waris atau kerabat lain yang membayarkannya. Apabila para ahli waris berselisih pendapat tentang pembagian warisan, maka dapat diajukan ke Pengadilan Agama setempat. Ketika perkara tersebut sudah terselesaikan oleh pihak pengadilan, maka tidak ada acara perdamaian yang dapat dilakukan lagi.

Berdasarkan yang ditunjukkan pada Pasal 183 KHI bahwa perdamaian harus didasarkan kepada kesadaran para ahli waris dimana mereka telah mengetahui bagian saham mereka masing-masing sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Tujuan tersebut disyaratkan agar tidak terjadi kerugian dari salah satu pihak ahli waris. Perdamaian yang dimaksud adalah kerelaan pihak-pihak yang bersepakat dalam pembagian tersebut. Ada dua alasan dasar yang memungkinkan bagi KHI untuk memperbolehkan terjadinya pembagian harta dengan cara perdamaian, yang pertama yaitu para ahli waris sudah mengetahui bagian saham mereka masing-masing secara hukum materil islam. Kedua, berdasarkan fiqh waris Islam sebagian ulama' faradhiyun memperbolehkan terjadinya takharruj berupa perjanjian yang diadakan ahli waris mengundurkan dirinya (salah satu atau sebagian dari mereka) dari saham sebagian warisan sebagai pergantian, imbalan dari barang tertentu yang diberikan kepadanya. Takharuj yang berarti mengundurkan diri salah satu atau beberapa orang ahli waris dari perolehan saham waris melewati perjanjian pergantian tertentu merupakan dasar bolehnya terjadinya perdamaian dalam pembagian harta waris.

Konsep Asasi dan Sebab-Sebab Beroleh Kewarisan memiliki lima prinsip filosofis hukum kewarisan Islam yang telah disepakati oleh para ahli hukum Islam sehingga ia dijadikan asas hukum waris, yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas peristiwa kematian. Asas ijbari dimaksudkan bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas bilateral maksudnya sistem pembagian waris Islam bukan berdasarkan garis keturunan sepihak seperti garis bapak atau garis ibu namun, dari kedua belah pihak ibu bapak. Asas individual adalah harta warisan yang dapat dibagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Asas keadilan yang berimbang adalah jumlah nilai bagian (fard) yang diperoleh ahli waris adalah seimbang dengan hak dan perolehan bagian warisnya berbeda. Kewarisan karena hubungan perwalian tidak dicantumkan dalam KHI, karena telah berubahnya zaman dimana saat ini tidak ada lagi perbudakan.

Penghalang memperoleh warisan atau yang disebut sebagai mawaniu al-irtsi adalah gugurnya hak seorang ahli waris untuk memperoleh harta warisan. Hak perolehan tersebut dapat gugur atau terhalang dikarenakan sebab-sebab khusus, walaupun dalam statusnya ia merupakan ahli waris seperti anak terhadap orang tuanya maupun sebaliknya. Dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia, seseorang terhalang memperoleh warisan sebagaimana yang disebutkan pasal 173 adalah berdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap di hukum karena membunuh ataupun memfitnah pewaris. Hukum acara yang mengatur hal ini didasarkan pada pengaturan yang berlaku dalam lembaga hukum di lingkungan Pengadilan Negeri yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selain dua hal tadi yang dapat menghalangi seseorang mendapatkan warisan, berbeda agama juga menjadi penyebab seseorang tidak mendapatkan warisan. Walaupun tidak ada ketentuan khusus dalam KHI bukan berarti tidak ada hukum tentang perkara tersebut. Para hakim agama tentunya tetap memilih al-Qur'an dan al-Hadits hingga hasil Ijtihad, sebagai pedoman pengambilan keputusan hukum selain KHI.

Hijab dalam pengertian fiqh Islam adalah keadaan tertentu yang mengakibatkan seseorang terhalang untuk mewarisis, baik terhalangnya mengakibatkan seseorang tidak memperoleh sama sekali (hijab hirman) atau berakibat hanya mengurangi bagian perolehan harta warisan (hijab nuqsan). Khusus persoalan cucu, termasuk di dalamnya cuvu perempuan pancar laki-laki dalam KHI Pasal 185 tidak dapat terhijab hirman jika kedudukannya sebagai waris pengganti terkecuali orang yang digantinya masih hidup, maka ia tidak dapat menggantikan kedudukan orang tuanya karena terhijab hirman oleh orang tuanya sendiri. Menurut KHI bahwa para ahli waris yang terhijab hirman juga dapat terhijab nuqsan adalah saudari seayah. Sedangkan ahli waris yang hanya mungkin terhijab hirman tetapi tidak terhijab nuqsan adalah para cucu ketika ada orang tua mereka.

Praktik pembagian warisan para ahli waris harus sesuai dengan bagiannya masing-masing yang telah ditentukan di dalam al-Qur'an dan juga Kompilasi Hukum Islam. Anak laki-laki merupakan ahli waris 'ashobah yakni berhak menghabiskan sisa harta waris setelah diberikan kepada ashabu al-furud yang lain. Anak perempuan, ayah, dan ibu adalah ahli waris nasabiyah yang memiliki nilai saham tertentu (furud al-muqaddarah). Suami (duda) dan istri (janda) merupakan ahli waris sababiyah dan termasuk ashab furud yang memiliki bagian tertentu. Para cucu pancar laki-laki dan perempuan serta ahli waris pengganti merupakan ahli waris nasabiyah dan memiliki saham tertentu jika ia pancar perempuan dan sebagai 'ashobah jika ia pancar laki-laki, dan kedudukan mereka sudah diatur di dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Dalam perhitungan mengenai cucu banyak sekali hasilnya berbeda dengan madzhab Sunni terutama ketika menyangkut masalah cucu laki-laki ataupun perempuan pancar perempuan yang dianggap sebagai dzaw al-arham. Mereka hanya boleh mewarisi harta ketika tidak ada para ahli waris dzaw al-furudh. Para saudara-saudari terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan sekandung, seayah (sebapak) atau seibu. Mereka termasuk dalam kelompok ashabu al-furudh yang memiliki saham tertentu dan merupakan ahli waris nasabiyah menyamping. Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah kakek dan nenek tidak dijelaskan secara rinci kecuali menyebutnya sebagai orang yang memiliki peluang menjadi ahli waris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun