picture: www.kaskus.co.id
Di tengah belantara isu KPK vs Polri, BBM naik, apartemen pelacur, dan isu-isu ketatanegaraan lain khas rezim joko widodo, tanpa kita sadari belakangan sosok Susilo Bambang Yudhoyono mulai terangkat kembali kepermukaan. Misalnya saja perkara utang IMF, bukan hanya anak pak beye ibas, seskab andi dan menkeu bambang saja yang terkena dampak saling tuding soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Masyarakat luaspun juga ikut terkena dampak 'saling tuding' tersebut. Maksudnya, saling tuding memperbandingkan pemerintahan pak beye dan jokowi. Akibatnya, masyarakatpun mendadak 'gaduh'. Mempertanyakan pidato jokowi di KAA soal utang IMF. Sebabnya, koreksi dari mantan presiden sebelumnya dianggap lebih masuk akal daripada pernyataan presiden yang sekarang.
Sebenarnya jika kita melihat nama pak beye di media-media mainstream nasional tentu menjadi suatu hal yang biasa bagi kita. Tapi coba perhatikanlah dengan seksama. Bandingkan kondisi dimana pak beye masih berkuasa dan kondisi dimana pak beye kini telah menjadi mantan presiden. Bagi saya, ada perbedaan mendasar ketika melihat berita saat pak beye menjabat dan berita ketika pak beye sudah tidak menjabat.
Ialah citra. Ya, kini harus diakui bahwa citra pak beye menjadi lebih positif dimata masyarakat. Hal berbeda tentu kita temui ketika beliau masih berkuasa beberapa tahun silam. Misalnya jika terdapat suatu isu atau kebijakan (yang dianggap bertentangan dengan kemauan rakyat), pak beye pasti dikait-kaitkan dengan kata 'lamban', 'akademis (wacana tanpa action)', 'lembek' dan berbagai perkataan satir lainnya. Dapat dikatakan hampir setiap hari masyarakat kita mencibir dan mencaci maki pernyataan, tindakan maupun sikap pak beye dalam mengkomandoi negeri ini. Entah itu dari kebijakan skala nasional maupun skala internasional. Dalam skala internasional misalnya, tak jarang pak beye menerima cemooh dan kritik dari rakyatnya kala ia menerapkan gaya politik luar negeri (polugri): “zero enemy, thousand friend”. Dampaknya ia pun menjadi bulan-bulanan rakyat kala kuliner ranah minangkabau berupa rendang hingga reog ponorogo ingin diklaim sebagai budaya dan kuliner dari malaysia. Atau, ketika australia seenaknya melakukan spionase kepada beberapa pejabat, dirinya sendiri bahkan istrinya sekalipun. Karena gaya polugri ala pak beye tersebut pun, implikasinya indonesia hanya bisa diam ketika ada upaya pembegalan kedaulatan dari luar. Sungguh memilukan.
Selain itu bahkan pernah, di skala nasional pada tahun 2011 pak beye dilecehkan dengan cara yang terbilang extreme. Ialah dengan menyamakan akronim namanya dengan nama seekor kerbau: Si-BuYa. Ide dari para demonstran muncul karena demonstran menganggap tingkah pak beye tak jauh berbeda dengan kerbau lamban yang hanya bisa bergerak jika di colok hidungnya.Seketika itu pak beye pun naik pitam dengan mengultimatum para demonstran. Sesaat kemudian, lahirlah larangan baru bagi para demonstran. Khususnya di DKI jakarta : tidak boleh membawa binatang ketika berdemo.
Menarik memang, mengingat sekelumit kisah isu mengenai pak beye saat ia berkuasa. Namun sekelumit kisah itu belum berhenti sampai disana. Bahkan pernah pada saat masa transisi kekuasaan lagi-lagi ia pernah mendapat cemoohan dari publik. Tepatnya di tahun 2014 dimana titik nadir ketegangan politik sedang memuncak. Pada pertengahan tahun tersebut misalnya, ia pernah dicibir karena gaya blusukannya bercitarasa jokowi. Jelajah sana-sini dan berusaha menampilkan sisi humanis dengan menjauhkan kesan pejabat necisyang sok-sokan terjun kelapangan. Itulah kesan yang kadung ditangkap publik untuk sosk jokowi. Pak beye pun meradang, mendengar cemoohan tersebut, ia segera menampik dengan mengatakan bahwa ia telah blusukan sejak 2004, jauh sebelum istilah “blusukan” tenar dan bahkan jauh sebelum jokowi jadi gubernur DKI.
Celakanya, mungkin ia lupa bahwa ia sedang disandingkan dengan jokowi yang kala itu menjadi media darling indonesia, hasilnya tentu sesuai dugaan banyak kalangan. Ia berada di posisi yang kurang beruntung. Memang, tentu kita masih ingat bahwa pada tahun politik tersebut publik terlanjur menyukai sosok jokowi yang lekat dengan karakter wong cilik serta jauh dari kesan pejabat wangi nan parlente.
Namun, kini keadaan itu terasa berbalik. Hal tersebut terasa sama jika kita membicarakan mengenai politik (kekuasaan) dan citra (kesan). Dimana berlaku suatu falsafah “tiada kepastian dalam berpolitik”. Falsafah tersebut mencerminkan dinamisasi dalam berpolitik. Jika kemarin A, maka esok belum tentu masih A. Inilah manuver (politik) yang sedang dicoba pak beye. Ia mencoba membalikkan keadaan, meredam figur jokowi dengan cara 'sehalus' mungkin.
Tanpa kita sadari, pak beye sebenarnya sedang melakukan manuver (politik) dengan memainkan past branding (pencitraan masa lalu) yang presisi. Menjadi mudah karena ia adalah mantan presiden. Dengan cara mencocokkan isu pemerintahannya dengan isu yang sedang hangat diperbincangkan. Tentu mudah karena permasalahan negeri dari tahun ke tahun itu-itu saja. Logika mengapa manuver ini efektif pun sebenarnya mudah: jika ada orang yang berpengalaman, maka (omongannya) tentu lebih dipercaya daripada orang yang kurang berpengalaman. Dalam arti, masa pemerintahannya. Tentu jangan bandingkan masa pemerintahan 10 tahun dengan masa pemerintahan yang bahkan belum genap setahun. Teknisnya sederhana, hanya tinggal mencari isu yang sama dengan isu kekinian yang sedang hangat diperbincangkan. Dan begitu isu tersebut dirasa cocok, tinggal memformulasikannya dengan kata-kata cantik yang 'tersirat', kemudian diakhiri melalui postingan lewat akun sosial seperti facebook atau twitter. Cara tersebut pun efektif. Sebagian dari kita (lebih) percaya kepada mantan presiden tersebut daripada jokowi.
Mantra tersebut efektif. Berhubung kondisi ekosospolitik nasional belakangan bergemuruh karena ulah rezim jokowi. Kemudian ditambah dengan meletupnya emosi masyarakat karena berbagai kebijakan yang kontoversi, pak beye pun mendapat limpahan keuntungan yang tak dapat ia peroleh ketika ia menjabat. Logikanya sederhana, masyarakat sedang marah. Itu artinya masyarakat butuh 'oase' untuk meredakan amarahnya. Inilah peluang yang dilihat pak beye. Ia menggunakan pengalamannya selama 10 tahun untuk 'menenangkan' amarah rakyat terhadap pemerintahan jokowi.
Buktinya kini tengoklah sekeliling kita. Betapa rindu nya masyarakat luas menginginkan pak beye kembali memimpin indonesia. Bahkan tak jarang, selain memuji postur tubuh dan aura kepemimpinannya, tak sedikit pula rakyat yang memuji kembali kinerja pemerintahan 10 tahun era pak beye dengan berbagai kalimat bernada positif.
Pada saat ia berpidato menjadi keynote speaker di KAA misalnya. Oleh sebagian kalangan, ia dianggap mewarisi aura bung karno ketika berpidato di hadapan pemimpin negara asia-afrika menggunakan bahasa inggris. Hal berkebalikan justru disematkan kepada jokowi ketika ia berpidato cukup 'keras' menentang IMF, ADB dan World Bank menggunakan bahasa indonesia. Meski isi pidato cukup 'garang', namun citra jokowi tetap saja kurang garang di negeri sendiri. Mulai dari penyampaian pidato yang tidak berwibawa hingga gayanya berpidato yang menggunakan kertas sebagai contekan. Belum lagi, ketika gaya berpidato pak beye, jokowi dan bung karno ketika KAA berlangsung disandingkan oleh sebagian media mainstream nasional. Tentu sesuai dengan dugaan kita, posisi pak beye dalam hal ini menempati posisi diatas jokowi. Inilah satu fakta menarik ditengah upaya pak beye memainkan strategi past branding.
Dugaan saya, upaya-upaya pak beye dalam merestorasi citra masih akan tetap dijalankan sebagai upaya inti dalam manuver politiknya. Karena tentu pak beye bukanlah orang sembarangan. Ia merupakan orang yang sudah malang-melintang di perpolitikan nasional dan transnasional sejak lama. Ia pasti paham bagaimana caranya mengendalikan opini publik kekinian dengan cara mempublikasikan pengalamannya berkuasa selama 10 tahun. Ia pasti paham bagaimana caranya membaca dan menjawab konstelasi geopolitik nasional. Selain itu yang tak kalah penting, ia juga pasti paham, bahwa partainya sangat membutuhkan sokongan kuat darinya untuk menggerakan mesin partai agar dapat memenangkan Pilkada serentak dan pemilu 2019.
Apalagi di lain sisi, partai besutannya sebentar lagi juga akan melangsungkan kongres dimana salah satu agendanya ialah memilih ketua umum partai. Mengenai siapa yang akan menjadi ketua umum partai demokrat, dugaan kita sepertinya (akan) tepat. Karena tentu partai demokrat tak dapat mengelak, ia belum bisa move on dari SBY effect yang telah membesarkan dan menyelamatkan nama partai kala badai politik menghujam.Ia juga tidak bisa mengelak betapa kuatnya kharisma mantan presiden ke-6 tersebut di mata rakyat. Maka, tentu ia juga tak dapat mengelak, bahwa partai tanpa kehadiran pak beye bagaikan butiran debu di lautan pasir.
Cerdas memang, strategi politik past branding ala pak beye untuk membalikkan posisi sampai krisis politik mereda. Meskipun kini KIH diatas angin, tetapi nampaknya pak beye masih berada di atas awan. Ia siap membaca kapanpun arah daun (politik) itu terbawa angin. Dan ia siap menerka angin (politik) itu dengan radarnya. Dampaknya, iapun semakin lihai untuk memainkan manuver (politik) nya tersebut dengan presisi dan indah.
Karena dalam berpolitik, segala kemungkinan bisa terjadi
END
Muhammad L Aldi
Kandidat S.H di UNS, Pengkaji Hukum Tata Negara, Penggiat PUSTAPAKO (Pusat Studi Transparansi Publik dan Anti Korupsi) UNS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H