Mohon tunggu...
MUHLISIN
MUHLISIN Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FTIK IAIN Pekalongan

Ketua LP Ma'arif NU Kab Pekalongan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puasa dan Karakter Kejujuran

18 Mei 2020   14:04 Diperbarui: 26 Mei 2020   09:33 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak terasa, hari ini kita telah menempuh ibadah puasa pada hari ke 25 di bulan Ramadan 1441 H, dengan demikian sebentar lagi kita akan mengakhiri ubudiyah di bulan yang sangat mulia. 

Ramadlan dikenal sebagai bulan yang penuh rahmah, maghfirah, dan pembebasan dari api neraka. Bermodal motivasi yang tinggi, setiap kaum muslim berlomba-lomba untuk menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk manifestasi penghambaan pada Allah SWT, melalui ritualitas meninggalkan makan, minum, dan semua perbuatan maksiat. 

Seakan-akan telah terjadi kompetisi secara massif untuk meraih kebaikan sebanyak-banyaknya. Kaum Muslimin berlomba-lomba untuk mewujudkan puasanya secara istiqomah dan penuh dengan mengharap ridlo dari Allah SWT. 

Meskpiun, sebagian kaum muslimin juga ada yang lalai dalam memanfaatkan momentum kemuliaan Ramadlan. Tidak sedikit kaum muslimin yang masih larut dalam kealpaan, terjerumus dalam kemaksiatan dan masih bersenyawa dengan hawa nafsu.

Dengan kekuatan daya magnetnya, bulan Ramadlan telah menjadi zona yang sangat efektif dalam proses pembentukan karakter. Salah satu karakter yang dapat dikembangkan adalah karakter kejujuran.

 Sebagai ibadah yang bersifat rahasia, puasa merupakan proses yang dilakukan dengan kesadaran untuk membentuk pola hidup yang selalu konsisten antara niat yang diucapkan, proses yang dilalui dan perilaku yang ditampilkannya. 

Ada proses bathiniyah yang sulit untuk diukur secara kuantitatif dan kualitatif yang justru sangat erat dengan diterimanya ibadah puasa seseorang. Sebagai Ibadah yang memadukan antara dhahiryah dan batiniyah, kejujuran menjadi kata kunci yang menjadi penghubung antara hamba dan Tuhannya.

 Trilogi Kejujuran

Kejujuran dalam berpuasa sangat penting, karena prosesi berpuasa sejak fajar sidiq hingga datangnya waktu Magrib, hanyalah diketahui oleh dirinya, Tuhannya dan malaikat yang diperintahkan untuk mencatatnya. Ibaratnya terdapat segitiga yang menjadi simpul kejujuran, apakah seorang hamba benar-benar sedang berpuasa atau berpura-pura puasa.

 Bisa jadi, ada sebagian orang yang menikmati makan sahur dan berbuka puasa, namun di tengah-tengahnya ternyata  tidak berpuasa. Padahal, derajat keimanan dan ketakwaan  dihadapan Allah Swt tergantung tingkat kejujuran seseorang dalam menjalani suatu peribadatan.

Dalam meneladani karakter kejujuran, kita berkiblat pada uswah hasanah yang terpancar dari karakter Rasulullah, Muhammad SAW, sosok manusia mulia yang disematkan gelar Al-Amin.  Oleh penduduk Makkah, Nabi Muhammad diberikan gelar tersebut karena dikenal sebagai seorang laki-laki yang penuh amanah, jujur dan dapat dipercaya. 

Bahkan, sebelum kedatangan Islam, beliau sudah masyhur sebagai orang yang jujur. Orang-orang kafir Makkah pun mengakui kejujuran  Nabi Muhammad SAW sekalipun mereka tidak beriman atas kerasulannya. Bahkan, karakter kejujurannya menjadi variable utama, betapa seorang saudagar  Siti Khadijah sangat mempercayainya dalam mengurus perdagangan dan mengantarkannya menjadi sang suami.

Kejujuran sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat ucapan atau pembicaraan, baik pada masa lampau, masa sekarang maupun yang bersifat masa depan yang terkait dengan janji atau pernyataan lainnya. Indikator kejujuran seringnya diukur dari tingkat kesesuaian antara ucapan atau yang dikemukakan dengan kenyataan atau fakta yang ada. 

Ucapan itu juga dianggap jujur bila dikemukakan dengan kesadaran dari dalam hati. Ungkapan seseorang akan dianggap benar, kalau memang sesuai dengan data di lapangan. Namun, ungkapan seseorang akan dianggap bohong, tatkala berbeda dengan keyakinan hati dan praktek kesehariannya.

Orang yang disebut jujur sedang  berpuasa bukan sekedar ucapan yang diungkapkan pada saat membaca niat, namun juga harus ada pembuktian bahwa niat tersebut diinternalisaiksn dalam hati dan diimplementasikan secara konsekuen dalam prakteknya. Orang yang jujur sedang menjalankan ibadah puasa, berarti  orang tersebut tidak pernah membohongi dirinya dengan mengerjakan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. 

Dengan kata lain, untuk mendapat predikat jujur seseorang harus terbiasa jujur dalam tiga hal: perkataan, perbuatan dan keadaan. Jujur dalam perkataan adalah terkaitnya lisan dengan konsistensi ucapannya. Jujur dalam perbuatan adalah terkait tentang ketepatan perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah dan ketaatan kepada-Nya secara sepenuh hati.

Dalam menjaga konsistensi ubudiyah, puasa memang membiasakan pelakunya untuk membudayakan kejujuran, di mana karakter tersebut ditanamkan  dan dikembangkan dalam pribadi setiap manusia agar puasanya tidak batal secara fiqih maupun hakekat. Puasa bukan sekedar melatih kejujuran yang ditampilkan kepada orang lain secara verbal dan fisik, justru yang paling essensial adalah memperkokoh habituasi untuk bersikap jujur kepada diri kita sendiri. Dengan pembiasaan bersikap jujur pada diri sendiri, maka seseorang akan mudah untuk untuk bertindak jujur kepada orang lain.

Idealitas kondisi tersebut menjadi urgen, mengingat kejujuran bukan hanya sekedar ide, gagasan atau konsep. Kejujuran selalu akan tampil dan melekat dengan derajat kemanusiaan seseorang. Mengapa? Melalui sifat kejujuran,  manusia akan menjadikannya disukai oleh sesama manusia. Sebaliknya, setiap orang yang memiliki kebiasaan berbohong, tentu akan sulit mendapatkan kepercayaan dari sesama manusia bahkan cenderung akan dibencinya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :   Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang jujur. – (Q.S At-Taubah: 119)

Dalam perspektif yang lain, kejujuran akan membuat seseorang lebih efisien dalam hidup dan kehidupannya. Salah satu alasan utama untuk jujur adalah karena seseorang yang jujur tentu memiliki rasa kepedulian. Bila seseorang tidak memiliki kepedulian dengan orang lain, maka orang cenderung tidak memiliki kejujuran yang dapat mengakibatkan kerugian pihak-pihak lain.

Dalam buku Pendidikan Karakter yang ditulis oleh Budi Munawar Rachman disebutkan, beberapa keuntungan dari kejujuran yang akan diterima oleh pelakunya. 

Pertama, kejujuran meningkatkan keakraban. Apabila seseorang menginginkan hubungan yang mendalam dan berarti, hal itu hanya dapat diperoleh lewat kejujuran. 

Kedua, kejujuran membawa lebih banyak orang dan kreativitas mereka ke dalam proses. Ketiga, kejujuran membuat persoalan cepat selesai. Ia membereskan keadaan, menghemat waktu dan menjadikan segalanya lebih efektif. Hal tersebut sangat beralasan karena kejujur adalah cermin kepercayaan diri pada jiwa seseorang dalam menghadapi dan menjalanlkan setiap realitas. 

Seseorang yang terpola jujur akan memiliki keteraturan antara perkataan dan perbuatannya, bagaikan air yang mengalir apa adanya. Memang, menerapkan kejujuran terdapat banyak hambatan dan ujian, di mana seseorang yang harus berani mengatakan apa adanya dan siap menerima kenyataan respon dari komunitasnya.

Berangkat dari narasi di atas, apakah puasa dapat disebut sebagai ibadah yang mampu membentuk seseorang memiliki karakter kejujuran? Secara normative dan empiris, tentu dapat dijawab dengan optimis bahwa puasa dapat membentuk karakter kejujuran. Tentu dengan syarat dan ketentuan bahwa ibadah puasa yang dijalaninya benar-benar hanya karena mengharap ridla dari Allah SWT, bukan untuk kepentingan pencitraan religiusitas. 

Sebagaimana sabda Rasulullah  “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari dan Muslim). 

Menurut pendapat para ulama, yang dimaksud berpuasa atas dasar iman adalah berpuasa karena meyakini akan kewajiban dan kebenaran puasa secara mantap. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala SWT, bukan karena manusia, sehingga aroma ketulusan secara batiniyah.

Melalui berpuasa secara istiqomah, seseorang akan senantiasa berjuang secara maksimal untuk  menjaga puasanya agar terbebas dari kemaksiatan yang dapat membatalkannya. Citra diri yang mampu terjaga dari kemaksiatan akan memberikan pesona kepribadian yang luhur. Pada titik inilah, puasa memantulkan kejujuran dan menjadi wasilah sebagai sosok yang dapat dijadikan referensi kebaikan bagi orang lain di sekelilingnya. 

Publik tentu akan menempatkan orang yang berkarakter jujur sebagai pribadi yang memiliki integritas kuat dalam hidup, karena apa yang ada di dalam dan di luar dirinya adalah cermin jiwanya. Dengan modal kejujuran, seseorang akan menjalani hidup dan kehidupan yang terbebas dari aroma kemunafikan, kepalsuan dan sandiwara. Wallahu a’lam Bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun