Saya lupa tepatnya. Mungkin sekitar Juni 2020 lalu. Saya cuma ingat Juli 2020 saya mudik dan melaksanakan sholat idul adha di Kampung, Masumpu, Bone, Sulawesi Selatan. Meski saat itu dunia dilanda pandemic covid-19, suasana lebaran idul adha di kampong berjalan seperti biasanya. Mungkin karena mobilitas keluar masuk warga tidak begitu tinggi, potensi penularan pun jadi relatif rendah dan warga beraktivitas seperti biasa.
Keesokan harinya juga demikian, kalau tidak salah sebanyak tujuh ekor sapi atau hewan qurban disembelih dan dagingnya dibagikan ke seluruh warga di kampung. Luar biasa, semangat berqurban warga di kampung semakin tinggi. Tujuh sapi qurban adalah record dari tahun-tahun sebelumnya. Karena jumlah nya cukup banyak, sebagian daging qurban tersebut dibagi ke desa dan kampung sebelah.
Ahhhhh, sudahlah. Ini bukan cerita mudik, bukan juga cerita hewan qurban. Sebetulnya, ini cerita sebelum musim mudik idul adha 2020. Lagi-lagi saya lupa waktu tepatnya. Namun, saya masih mengingat benar alasan saya mudik idul adha tahun 2020 itu.Â
Pertama, saya sudah lama tidak melaksanakan sholat idul adha di kampung.Â
Kedua, saya tidak mudik idul fitri sebelumnya akibat adanya pembatasan gerakan aktivitas sosial masyarakat sebagai upaya pemerintah untuk menekan penyebaran covid-19 yang saat itu juga sudah melanda Indonesia.Â
Jadi mudik itu adha 2020 itu adalah akumulasi dari musim mudik idul adha sekaligus sebagai pengganti rencana mudik idul fitri 2020 yang tertuda.
Waduuhhh, bahasannya masih saja tentang mudik. Sekali lagi, ini sebetulnya bukan urusan mudik. Ini menceritakan saat saya membayangkan skenarion terpapar covid-19 tahun lalu. Ingat, membayangin terpapar covid-19, bukan positif covid-19. Singkatnya, sebelum saya mudik lebaran idul adha 2020 itu saya sempat sakit. Sakitnya bukan karena terpapar covid-19.Â
Saya meyakini betul bahwa meskipun wabah covid-19 sudah semakin meluas di Indonesia tetapi saya sakit bukan karena covid-19. Sederhana saja, saya tidak terkonfirmasi positif. Saya tahu karena memang waktu itu saya tidak memeriksakan diri ke dokter. Saat itu saya tidak melakukan test antigen, rapid test, atau test PCR.Â
Pada hal, hasil test itulah yang menjadi rujukan satu-satunya untuk memastikan seseorang terkena covid-19 atau positif. Clear, saya tidak terkena covid 19, setidaknya tidak terkonfirmasi.
Meski tidak terkonfirmasi tetapi ada cerita unik yang menyertainya. Lagi-lagi saya lupa kapan persisnya tetapi saya mencoba kembali mengingat memori itu.Â
Seingat saya, saya mengalami gejala seperti batuk dan sedikit demam. Lemas seluruh badan juga sempat terasa. Saya mengalami beberapa hari, 2-3 hari. Saat itu saya memutuskan untuk tetap tinggal di rumah. Saya tidak pernah keluar. Saya tentu saja berusaha menghindari kontak dengan orang lain, termasuk tetangga.Â