Mohon tunggu...
Muhlis Lamuru
Muhlis Lamuru Mohon Tunggu... Guru - Penting tak Penting

Lahir di sebuah Dusun terpencil di Kab. Bone, Sulawesi-Selatan. Namanya, Dusun Masumpu, Des. Massengrengpu, Kec Lamuru. Dusun tersebut baru dialiri listrik PLN pada pertengahan tahun 1999. Muhlis Lamuru menghabiskan masa kecil di Kampung halaman dan bersekolah di MI 43 Pising (Masumpu) dan SLTP di Kecamatan sebelum hijrah ke Kota Makassar melanjutkan pendidikan menengah. Sejak 2004 hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan Tinggi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dan, tahun 2010 mencoba mengadu nasib n memulai hidup baru di Ibu Kota Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lemahnya Komunikasi Kita

16 April 2020   16:54 Diperbarui: 16 April 2020   17:01 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah pandemi global yang juga mewabah ke seluruh penjuru tanah air, diperlukan usaha sistematis dan terukur untuk menanganinya. Semua elemen bangsa wajib bersatu dan mengerahkan upaya maksimal agar virus corona (Covid-19) bisa segera menghilang di Bumi Indonesia dengan korban seminimal mungkin. 

Namun apa lacur, sejak Presiden Jokowi mengumumkan dua kasus pertama virus corona di Indonesia 02/03/20 lalu sampai kini sudah tembus angka 4.839 kasus terkonfirmasi positif sebagaimana diumumkan oleh juru bicara pemerintah untuk urusan penangan Covid-19 Achmad Yurianto 14/04/20, kita masih saja berkutat pada persoalan dasar yaitu lemahnya komunikasi kita.

Iya, masih segar di ingatan kita ketika para petinggi negeri ini seolah menyepelehkan wabah Covid 19 saat China, Jepang, Korea, dan Singapura sudah bekerja ekstra menanganinya. 

Para petinggi kita masih yakin virus yang bermula di Wuhan, China, itu tidak akan mewabah sampai ke Indonesia. Terucap di mulut mereka kata-kata yang menggampangkan urusan Covid-19 sebelum kasus Covid 19 pertama yang diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi. 

"InsyaAllah ya, Covid-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal," kata Menteri Perhubungan Budi Karya sebagaimana dilansir oleh republika.com Senin (17/2/20) kala itu.

Bukan hanya Budi Karya, Mahfud MD melalui twitternya yang diposting 15/02/20 pernah mengungkapkan kelakar Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebut perizinan di Indonesia berbeli-belit, maka virus corona tidak bisa masuk. 

Hal serupa disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. "Sampai katanya virus corona enggak masuk ke Indonesia karena izinnya susah," ujarnya sebagaimana dilansir economy.okezone.com Senin (24/2/2020).  

Tidak hanya itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pernah dengan tegas membantah hasil penelitian Harvard University yang dipublikasi 5/02/20. Hasil penelitian itu memprediksi Covid 19 sudah masuk ke Indonesia sejak awal Februari lalu. 

Terawan Agus Putranto bahkan menilai prediksi tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap Bangsa Indonesia. "Itu namanya menghina itu. Wong peralatan kita, makanya kemarin di-fix-kan dengan duta besar Amerika. Kita menggunakan dari Amerika. Kitnya, kit boleh gunakan dari mana aja, tapi kita gunakan dari Amerika," ujar Terawan yang dilansir di news.detik.com Selasa (11/2/2020).

Kini cerita zero case sudah berlalu. Kita tidak lagi bebas Covid-19 atau nol kasus. Saat ini kasus Covid-19 terkonfirmasi positif sudah mencapai 4.839, angka yang cukup tinggi. Angka itu pun jelas belum angka akhir. Angka itu masih bisa bertambah secara signifikan sekiranya semakin banyak orang yang dites. 

Artinya jika setiap hari semakin bertambah warga yang dites, potensi bertambahnya kasus terkonfirmasi pusitif pun setiap hari. Sebagai perbandingan kini angka positif terkonfirmasi di Amerika sudah mencapai 587.173 kasus. Hal ini tidak lain karena jumlah warga yang tes di Amerika jauh lebih banyak dari kita. 

Negeri Paman Syam sudah mengetes 2,9 juta orang, kita baru angka 27,953 orang. Namun, karena keterbatasan kemampuan tes yang kita miliki, kita tidak punya pilihan lain selain menjadikan angka tersebut sebagai angka rujukan. 

Namun kita tetap perlu lebih waspada karena tidak tertutup kemungkinan hari-hari ke depan, angka terkonfirmasi positif akan semakin banyak, terlebih setiap hari Juru Bicara Pemerintah Covid 19 Achmad Yurianto secara rutin menggelar konferensi pers khusus untuk mengumumkan kasus baru.

Meski kasus Covid 19 semakin meningkat dan diyakini masih terus akan meningkat pada hari-hari mendatang namun rupanya persoalan komunikasi pun juga belum beranjak membaik. 

Celakanya, pelakunya justru para petinggi republik ini. Memang, pemerintah sudah menunjuk juru bicara yang khusus menangani urusan Covid-19 di Indonesia tetapi hasilnya juga tidak signifikan. Sang juru bicara justru kerap mengeluarkan pernyataan yang semakin memperkeruh keadaan. Sebut saja ketiga dia menyinggung profesi perawat. 

Dia dinilai menghina profesi perawat karena menyamakannya dengan room boy hotel. Tidak hanya itu, dia juga sempat menyinggung perasaan masyarakat ekonomi lemah. 

Kala itu Dia menyebut orang kaya melindungi orang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan orang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya. 

Dalam pernyataanya tersebut, dia secara tidak langsung dinilai menyinggung perasaan orang miskin karena dianggapnya bisa menularkan penyakit ke orang kaya.

Selain salah ucap atau a slip of the tongue, tak satu kata dalam pengambilan kebijakan menjadi persoalan mendasar lain yang sering kita saksikan. Ambil contoh kebijakan mudik. Pemerintah sudah berkali-kali menghimbau masyarakat untuk tidak mudik. 

Presiden Jokowi bahkan pernah meminta jajarannya untuk melakukan langkah yang lebih tegas agar masyarakat tidak mudik. Presiden juga meminta para gubernur menggencarkan pesan kepada masyarakat untuk tidak mudik. 

Selain Presiden Jokowi, Menteri Agama Fachrul Razi, Pelaksana Menteri Perhubungan Luhut Binsar Pandjaitan, Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin, dan para gubernur sudah mengeluarkan imbauan serupa. 

Himbauan ini bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 ke daerah-daerah. Hal ini mengingat para pemudik berpotensi menjadi penular Covid-19 di daerah.

Kenyataan di lapangan berkata lain. Belum juga musim mudik tiba. Biasanya mudik secara bersar-besaran itu terjadi menjelang perayaan hari raya idul adha.

Tahun ini musim mudik diperkirakan akan berlangsung pada minggu ketiga bulan Mei 2020. Masih sebulan lagi dari sekarang. Namun puluhan ribu orang sudah mudik duluan. 

Mereka sudah kembali ke kampungnya masing-masing. Umumnya mereka mudik karena aktivitas di tempat rantauannya berhenti. Kebijakan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah membuat mereka tidak punya aktivitas yang menghasilkan sebagaimana sebelum kebijakan tersebut diberlakukan.

Ketidakpatuhan masyarakat terhadap himbauan pemerintah tidak terlepas dari kebijakan itu sendiri. Kebijakan tersebut tidak tegas dan konsisten. Tak kala presiden dan jajarannya mengeluarkan himbauan tidak mudik, di sisi lain beberapa pembantu presiden justru mengatakan bahwa mudik tidak dilarang. 

Ada Pelaksana Menteri Perhubungan Luhut Binsar Pandjaitan, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md yang pernah mengatakan bahwa pemerintah tidak melarang masyarakat mudik. Presiden pun secara terang pernah mengungkapkan dua alasan pemerintah tidak bisa melarang masyarakat mudik atau sebatas himbauan tidak mudik.

Pertama, alasan ekonomi. Kebijakan pembatasan aktivitas di luar rumah (social distancing) atau kini Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan banyak di antara mereka tidak memiliki pekerjaan sehingga mudik dinilainya lebih realistis dibanding tinggal di perantauan tetapi tidak berpenghasilan . 

Kedua, alasan tradisi. Dampak alasan kedua ini justru lebih luas. Tak kala menyebut bahwa tradisi menjadi alasan untuk mudik maka secara otomatis himbauan untuk tidak mudik sudah tidak berlaku sebab mudik memang sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Olehnya itu, setiap musim lebaran tiba, musim mudik pun menyertainya.

Contoh lain tak satu kata dalam kebijakan adalah kebijakan tentang operasional ojek online. Dalam aturan Kemenkes No. 18 Tahun 2020 tegas dijelaskan di bagian D poin I bahwa larangan ekspedisi barang termasuk sarana angkutan roda dua berbasis aplikasi dengan batasan hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang. 

Ini artinya ojek online hanya bisa dipergunakan untuk mengangkut barang, tidak bisa mengangkut penumpang. Namun aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan justru berbeda. Dalam aturan Permenhub No. 18 Tahun 2020, di pasal 11 huruf d, sepeda motor berbasis aplikasi dapat mengangkut penumpang. 

Artinya, dua aturan yang dikeluarkan oleh dua kementerian berbeda yang meski memiliki tujuan yang sama untuk menangani Covid-19 tetapi di dalamnya justru memuat pasal yang saling bertentangan. Aturan Kemenkes melarang ojek online mengangkut penumpang sedangkan aturan Kemenhub justru melarangnya.

Ini bukan kali pertama dua instansi pemerintah membuat aturan yang saling bertentangan dalam urusan penangan Covid-19. Sebelumnya gubernur DKI Jakarta pernah mengambil kebijakan untuk menghentikan operasional Bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) yang keluar masuk Jakarta mulai tanggal Senin 30/03/20 kemarin. 

Namun kebijakan itu belum juga berlaku, Pelaksana Menteri Perhubungan Luhut Binsar Pandjaitan sudah menganulirnya. Sebetulnya pertentangan kebijakan antar instansi pemerintah seharusnya tidak perlu terjadi mengingat para pimpinan instansi itu adalah pembantu presiden. 

Dua menteri diangkat langsung oleh presiden dan gubernur adalah perwakilan pemerintah pusat di daerah. Tujuan aturan yang mereka buat juga sama serta mereka tinggal di lokasi sama.

 Dengan posisi tersebut mereka tidak ada alasan untuk membuat kebijakan yang saling bertentangan. Persoalan seperti ini tentu mudah diantisipasi dan jika sudah terjadi tidak sulit untuk diselesaikan. Mereka hanya perlu meluruskan niat dan berkomunikasi lebih intens agar mereka bisa membuat aturan yang lebih bagus dan lebih tepat sasaran.

Informasi yang tidak satu sumber adalah persoalan lain yang sering kita hadapi dalam penanganan Covid-19. Contoh paling kasat nyata telihat ketika Anies pertama kali menyampaikan bahwa ada 115 orang dalam pemantauan dan 32 pasien dalam pengawasan di Jakarta, 01/03/20 lalu. 

Kala itu Anies dibully kiri-kanan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahkan geram dengan sikap Anies yang mengumumkan data tersebut. Tidak hanya itu, kita sering mendapatkan informasi yang berbeda antara yang diumumkan oleh Juru Bicara Covid-19 Achmad Yurianto dan informasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan Covid-19 belum padu. Para pemangku kebijakan masih jalan sendiri-sendiri.

Akhirnya, kita berharap persoalan-persoalan mendasar ini bisa segera diperbaiki mengingat dalam penanganan Covid-19 ini banyak persoalan lain yang jauh lebih besar ada di depan mata.

Dasan Geria, 15 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun