2.hadits sebagai sumber histiografi islam
Penulisan sejarah sebuah peristiwa membutuhkan sumber atau data yang terkait dengan peristiwa tersebut. Ada tiga jenis sumber sejarah yang umum digunakan. Pertama, sumber lisan yang berasal dari keterangan-keterangan yang diperoleh dari pelaku atau saksi peristiwa tersebut. Kedua, sumber tulisan yang berasal dari hasil peninggalan orang-orang di masa lalu, seperti surat kabar, naskah, dokumen, rekaman, dan sejenisnya. Ketiga, sumber benda atau artefak yang berasal dari peninggalan manusia pada zaman lampau, seperti patung, kapak, dan sebagainya.
Namun, dalam konteks hadits sebagai sumber historiografi Islam, hadits memiliki peran khusus. Hadits berisi perkataan, ketetapan, dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat. Hadits muncul sebagai respons atas pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat pada masa itu, dan hadits terbentuk berdasarkan Asbab al-Wurud (sebab turunya hadits). Hadits hadir dengan latar belakang adanya permasalahan, persoalan, atau berita yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, penting untuk memahami konteks hadits sesuai dengan niat dan keinginan Nabi Muhammad SAW. Asbab al-Wurud berperan penting dalam memahami konteks hadits sesuai dengan situasi saat itu. Tanpa pengetahuan tentang sejarah Nabi Muhammad SAW, bagaimana kita bisa meneladani ucapan dan perbuatan beliau? Dan bagaimana kita bisa mengetahui sejarah Nabi Muhammad SAW jika hadits bukan bagian dari sumber sejarah yang diriwayatkan dari sahabat kepada tabi'in, dari tabi'in kepada tabi'ittabi'in, dari tabi'ittabi'in kepada ashabuttabi'in, dan seterusnya hingga generasi selanjutnya.
Dalam kesimpulannya, hadits memegang peran penting sebagai sumber historiografi Islam. Hadits memberikan informasi yang sangat berharga tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Namun, penting untuk memahami konteks hadits dengan memperhatikan Asbab al-Wurud agar kita dapat memahami secara akurat pesan yang ingin disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
3.hadits sebagai catatan histiografi islam
Hadits memiliki peran sebagai catatan historiografi Islam. Hadits yang tercatat dalam kitab-kitab seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, al-Muatta Imam Malik, Musnad Imam Syafi'i, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, dan sebagainya merupakan kumpulan catatan yang dapat digunakan sebagai sumber dalam historiografi Islam, mencakup berbagai aspek kehidupan Nabi Muhammad SAW. Meskipun secara umum Nabi melarang pencatatan hadits karena khawatir akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang telah ditulis oleh para sahabat seperti Zaid bin Thabit dan yang lainnya.
Peran dan keberadaan hadits mulai diperhatikan oleh sejarawan Islam sejak akhir abad ke-1 Hijriyah. Hal ini terjadi karena adanya kekacauan dalam umat Islam atau fragmentasi politik setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Hadits menjadi alat untuk melegitimasi kelompok tertentu, bahkan ada yang membuat hadits palsu atas nama Nabi SAW. Pada tahun 99 H, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan salah satu gubernurnya, yaitu Abu Bakar ibn Hazm, dan beberapa ulama lainnya untuk menulis hadits. Hal ini dilakukan karena kekhawatiran dan kegalauan Khalifah akibat kondisi politik yang tidak kondusif dan banyaknya penghafal hadits yang gugur dalam pertempuran. Khalifah khawatir ilmu dan ulama akan hilang dan lenyap.
Salah satu ulama yang sangat menonjol dalam pengkodifikasian hadits Nabi Muhammad SAW adalah Abu Bakar bin Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, seorang ahli hadits dan fikih pada zamannya. Abu Bakar bin Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat pada tahun 123 H. Beliau diberi tugas oleh Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan hadits. Perintah Khalifah ini melahirkan metode pendidikan alternatif di mana para ulama mencari hadits dari orang-orang yang dianggap memiliki pengetahuan di berbagai tempat, yang kemudian dikenal dengan metode rihlah.
4.hadits sebagai filsafat dalam histiografi islam
Hadits berperan sebagai filsafat historiografi Islam karena memiliki otoritas kebenaran yang ilmiah, superior, dan keabsahannya tidak diragukan lagi. Hal ini disebabkan oleh proses seleksi hadits yang melalui berbagai tahapan dan metode yang sulit untuk mencapai status shahih. Seleksi hadits tidak hanya mencakup matan (isi) dan sanad (rantai perawi), tetapi juga mencakup kredibilitas dan ketakwaan perawi yang meriwayatkannya. Kredibilitas dan ketakwaan perawi memiliki peran penting, karena seorang perawi haruslah orang yang adil dan hati-hati dalam perilakunya. Kriteria semacam ini tidak ditentukan oleh para sejarawan, sehingga ada sejarawan liberal dan tidak bermoral yang dengan seenaknya memutar balikkan fakta sejarah, sehingga menimbulkan berbagai kontroversi dan kontradiksi yang membingungkan umat.