Istrinya menggeleng dan berujar, "Ini ayah."
Kali ini anaknya menggeleng dan masuk rumah. Lalu keluar lagi sembari menggenggam telepon seluler, menunjukkannya pada sang ibu sembari berujar, "Ayah. Ayah. Ayah."
Demi mendengar itu, Bara merasa hating yang kokoh dan bulat telah menjadi serpihan-serpihan kecil. Persis seperti kayu-kayu yang tiap hari digarapnya dengan jenuh selama empat bulan terakhir.
(Penggalan dari cerita "Dari Genggaman Telepon")
'Suara-Suara Ber(b)isik" memberikan dialog percakapan sehari-hari dan sangat berbeda dari penyampaian cerita pendek pada umumnya. Keunikan inilah yang membuat cerpen ini dapat menarik mata pembacanya. Sementara itu, "Dari Genggaman Telepon" memberi kisah yang menggugah hati terkait kesedihan Bara yang terpaksa menyapa anaknya melalui video call saja akibat pihak perusahaan yang memaksa karyawannya untuk tetap berada di kantor semenjak pandemi berlangsung. Empat bulan berlalu, Ia pun bisa pulang kerumahnya, hanya untuk melihat anaknya yang memanggil sebuah telepon genggam dengan kata 'ayah'.Â
Buku Wabah ini menawarkan cerita yang lengkap seputar genre, sekaligus membuat pembacanya dapat memposisikan diri mereka dalam cerita tersebut. Mulai dari kesedihan dalam pandemi saat kita terpaksa dirumahkan, situasi horor saat penyakit bertebaran sekaligus merebut nyawa orang-orang, dan situasi keputusasaan ketika pandemi membuat sebagian besar kegiatan ekonomi masyarakat terhambat.Â
Tata penulisan dan bahasanya pun sudah sangat bagus, dengan penyusunan yang tertata rapi. Namun, memang ada beberapa cerpen yang menggunakan kosakata asing/daerah yang dapat membuat sebagian pembaca tidak mengerti. Cover buku juga terkesan terlalu menyeramkan dan terlihat ketinggalan jaman. Alur cerita beberapa cerpen juga terasa sulit untuk dimengerti karena penulis gagal dalam menjelaskan akhir cerita secara jelas dan kebanyakan menggunakan open ending.
Kesimpulannya, kumpulan cerpen "Wabah" sangat cocok untuk dinikmati oleh orang-orang secara umum, mengingat temanya yang cukup familiar bagi sebagian besar orang dengan minim penggunaan kosakata dan alur yang dewasa, Namun, mempertimbangkan bagaimana pemahaman cerita memerlukan penalaran yang lebih lanjut, akan sulit bagi pembaca anak-anak mengerti akan cerita yang tertera dalam buku. Untuk itu, sebaiknya anak-anak didampingi oleh orang tua saat membaca "Wabah".
Buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh para pembaca di masa ini, mengingat masih adanya pandemi yang terjadi di sekeliling kita sehingga para pembaca dapat memposisikan diri mereka dalam situasi cerpen dan dapat menjadi penghilang rasa bosan dalam waktu luang. Di masa depan sendiri, pengulas yakin buku ini dapat menjadi sarana bagi para pembaca untuk bernostalgia masa-masa pandemi di suatu hari nanti.
Akhir kata, selamat membaca Wabah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H