Berwisata ke Dunia Sastra di Tengah Pandemi
Oleh Muhammad Irsyad Ramadhan
Judul Buku: Wabah
Pengarang: Rizqi Turama, dkk.
Penerbit: Kibul.in & FIB UGM
Tahun Terbit: 2021
Jumlah Halaman: xvi + 170 halaman
Siapa sih pelajar Indonesia yang tidak mengenal UGM? PTN yang termasuk "Top 3" satu ini merupakan salah satu tempat belajar yang selalu dielu-elukan oleh semua orang dan di sini, kita dapat membaca cerpen-cerpen yang dibuat oleh alumni-alumni UGM dan dosen-dosen universitas ternama! Cerpen-cerpen yang disajikan pun memiliki tema yang tidak jauh dari judul buku ini, yakni wabah.Â
Sudah hampir 2 tahun kita tinggal berdampingan dengan si kecil mematikan COVID-19 ini. Tentunya, saat membaca cerpen-cerpen dalam buku Wabah, tak jarang kita merasakan rasa pengertian akan situasi yang terjadi. Buku Wabah memaparkan apa yang kita rasakan selama dua tahun ini, situasi mencekam, senang, keputusasaan semuanya digambarkan.Â
Â
Dari ketujuh belas cerita yang terdapat buku ini, terdapat dua cerita yang sangat mencuri perhatian pengulas. Kedua cerita tersebut ialah cerita pertama yakni "Suara-Suara Ber(b)isik" dan "Dalam Genggam Telepon". Sebenarnya masih banyak sekali cerita yang menakjubkan dengan pesan-pesan tersendiri, namun tetap yang paling menonjol adalah dua ini.
"Ketemu lagi. Setelah bertahun-tahun."
"Seratus tiga belas tahun."
"Seratus tiga belas tahun?"
"Lama atau sebentar itu?"
"Bagi siapa?"
"Saya cuma melaksanakan perintah."
"Berdasarkan catatan siapa itu?"
"Iya, samalah."
(Penggalan dari cerita "Suara-Suara Ber(b)isik")
Siapa itu? Hayo!" istri Bara mengulangi.
"Oom." Suaranya imut dan lucu, tapi Bara dan istri tidak tersenyum.
Istrinya menggeleng dan berujar, "Ini ayah."
Kali ini anaknya menggeleng dan masuk rumah. Lalu keluar lagi sembari menggenggam telepon seluler, menunjukkannya pada sang ibu sembari berujar, "Ayah. Ayah. Ayah."
Demi mendengar itu, Bara merasa hating yang kokoh dan bulat telah menjadi serpihan-serpihan kecil. Persis seperti kayu-kayu yang tiap hari digarapnya dengan jenuh selama empat bulan terakhir.
(Penggalan dari cerita "Dari Genggaman Telepon")
'Suara-Suara Ber(b)isik" memberikan dialog percakapan sehari-hari dan sangat berbeda dari penyampaian cerita pendek pada umumnya. Keunikan inilah yang membuat cerpen ini dapat menarik mata pembacanya. Sementara itu, "Dari Genggaman Telepon" memberi kisah yang menggugah hati terkait kesedihan Bara yang terpaksa menyapa anaknya melalui video call saja akibat pihak perusahaan yang memaksa karyawannya untuk tetap berada di kantor semenjak pandemi berlangsung. Empat bulan berlalu, Ia pun bisa pulang kerumahnya, hanya untuk melihat anaknya yang memanggil sebuah telepon genggam dengan kata 'ayah'.Â
Buku Wabah ini menawarkan cerita yang lengkap seputar genre, sekaligus membuat pembacanya dapat memposisikan diri mereka dalam cerita tersebut. Mulai dari kesedihan dalam pandemi saat kita terpaksa dirumahkan, situasi horor saat penyakit bertebaran sekaligus merebut nyawa orang-orang, dan situasi keputusasaan ketika pandemi membuat sebagian besar kegiatan ekonomi masyarakat terhambat.Â
Tata penulisan dan bahasanya pun sudah sangat bagus, dengan penyusunan yang tertata rapi. Namun, memang ada beberapa cerpen yang menggunakan kosakata asing/daerah yang dapat membuat sebagian pembaca tidak mengerti. Cover buku juga terkesan terlalu menyeramkan dan terlihat ketinggalan jaman. Alur cerita beberapa cerpen juga terasa sulit untuk dimengerti karena penulis gagal dalam menjelaskan akhir cerita secara jelas dan kebanyakan menggunakan open ending.
Kesimpulannya, kumpulan cerpen "Wabah" sangat cocok untuk dinikmati oleh orang-orang secara umum, mengingat temanya yang cukup familiar bagi sebagian besar orang dengan minim penggunaan kosakata dan alur yang dewasa, Namun, mempertimbangkan bagaimana pemahaman cerita memerlukan penalaran yang lebih lanjut, akan sulit bagi pembaca anak-anak mengerti akan cerita yang tertera dalam buku. Untuk itu, sebaiknya anak-anak didampingi oleh orang tua saat membaca "Wabah".
Buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh para pembaca di masa ini, mengingat masih adanya pandemi yang terjadi di sekeliling kita sehingga para pembaca dapat memposisikan diri mereka dalam situasi cerpen dan dapat menjadi penghilang rasa bosan dalam waktu luang. Di masa depan sendiri, pengulas yakin buku ini dapat menjadi sarana bagi para pembaca untuk bernostalgia masa-masa pandemi di suatu hari nanti.
Akhir kata, selamat membaca Wabah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H