Mohon tunggu...
M In am  Esha
M In am Esha Mohon Tunggu... -

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Falsafah Iwel-Iwel

8 Agustus 2018   21:50 Diperbarui: 8 Agustus 2018   22:22 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: masteresep.com

Sabtu, 4 Agustus 2018 lalu kami sekeluarga merasakan kebahagiaan karena kedatangan tamu. Setidaknya ada beberapa alasan kenapa mesti bahagia. Pertama, bahagia karena dalam agama kami diajarkan agar kita sedapat mungkin bisa hormat tamu. Ikram al-dhuyuf. Memuliakan tamu. Menerima tamu pada hakikatnya kita berkesempatan untuk mengamalkan Sunnah Rasul. Tidak semua orang khan bisa menerima tamu. 

Bisa jadi lagi keluar kota, sedang sibuk, lagi kejar tayang, dan sejenisnya. Bersyukurlah kita jika punya kesempatan untuk menerima tamu. Kita niati saja  sedang mengamalkan Sunnah Rasul Bab al-dhuyuf. Bab menerima tamu.

Kedua, menerima tamu itu membawa berkah. Rasul mengajarkan kalau kita menerima tamu maka kita insyaallah akan dihindarkan dari bala' atau malapetaka.  Maka, orang tua  mengajarkan tamu iku nggowo berkah. Terkait dengan kedatangan tamu dan hubungannya menolak bala', ada kisahnya ...

Dikisahkan, ada sahabat yang wadul kepada Nabi saw karena nampak istrinya tidak suka atas kedatangan tamu ke rumahnya. Mendengar hal itu, Nabi saw menyampaikan kepada sahabatnya itu, "Katakan pada Istrimu bahwa aku akan bertamu ke rumahmu". Walhasil, datanglah Nabi saw ke rumah sahabatnya itu. Dan, apa yang terjadi berikutnya...tatkala Nabi saw keluar dari rumah itu keluar pula beragam binatang yang berbahaya seperti kalajengking, ular, dan sejenisnya. 

Melihat hal itu istri sahabat itu pun tersadar. Menerima tamu dan memuliakannya selain memberikan bukti  keimanan juga membawa berkah. Dijauhkan dari bala' dan musibah juga salah satu bentuk berkah.

Kembali pada cerita saya, tamu saya ini tanpa disangka membawa oleh-oleh makanan yang sedikit aneh. Saya katakan aneh karena pada masa sekarang ini, pada zaman now ini, kayaknya makanan yang di bawa ini sangat jarang dibuat. Kecuali sedang ada hajatan saja. Dan, kebetulan memang kesukaan saya. Namanya iwel-iwel. Anak saya saja asing dengan jenis dan namanya.

Kue ini bahan pokoknya terbuat dari tepung ketan putih, parutan kelapa, dan  gula kepala atau gula merah. Menjadi sedap karena dibungkus daun pisang. Hemmm. Nikmat kalau dimakan dalam kondisi hangat. Hemmm...nyam...nyam...

Iwel-iwel ini adalah salah satu kue atau jajanan yang biasanya dibuat seiring dengan selamatan kelahiran bayi. Dalam tradisi Jawa kita kenal ada beberapa tradisi selamatan yang mengiringi kelahiran anak. Ketika masih dalam kandungan ada tradisi neloni dan mintoni. Neloni maksudnya adalah syukuran atas keselamatan janin yang memasuki usia tiga bulan. Mitoni maksudnya adalah syukuran keselamatan janin yang sudah memasuki usia tujuh bulan. 

Tatkala bayi lahir ada tradisi brokohan, dalam bahasa Jawa. Brokohan sebenarnya berasal dari kata berkah atau barakah. Berkah atau barakah dalam bahasa Arab secara sederhana artinya adalah 'ziyadah al-sya'i', bertambahnya sesuatu. Oleh karena itu, brokohan dalam tradisi Jawa ini dimaksudkan sebagai syukuran atas bertambahnya anggota keluarga kita. 

Dalam syukuran atas kelahiran bayi inilah biasanya orang Jawa membuat makanan-makanan yang khas seperti kuluban dan juga tidak ketinggalan jajan iwel-iwel. Kuluban dalam tradisi Jawa sebenarnya berasal dari kata qalbun jamaknya qulub. Qalbu biasa diartikan hati.    

Dari sini kita bisa paham sesungguhnya syukuran dengan nasi kuluban dimaksudkan sebagai bentuk doa orangtua kita agar anak yang dilahirkan ini menjadi anak yang memiliki "hati" yang baik. Karena, sebagaimana diajarkan oleh Nabi saw bahwa baik-buruknya    jasad kita ini sangat tergantung dari "hati" baik dalam makna lahiriah maupun batiniahnya.

Lantas, bagaimana dengan iwel-iwel. Kata iwel-iwel  berasal dari kata Arab waliwalidaiya. Karena perubahan ucapan jadilah iwel-iwel. Sama juga tatkala kita mendengar kata ngainun. Maksudnya adalah 'ainun, artinya "mata" dalam bahasa Arab.  Mesjid dari kata masjid (Bahasa Arab). Filsafat dari kata falsafah (Bahasa Arab). Nah, iwel-iwel yang dari kata waliwalidaiya (Bahasa Arab) artinya orangtua. Jajanan ini secara filosofis memilik makna bahwa orangtua berharap agar anak yang baru lahir ini akan menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Terlebih, dalam al-Qur'an diajarkan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan hal mendasar yang harus dilakukan setelah orang menyembah Allah swt. (al-Isra; 23-24).

Ternyata, dalam kehidupan keseharian kita bisa belajar falsafah hidup dan nilai-nilai agama dari tradisi yang diajarkan oleh para pendahulu kita. Dan, hebatnya lagi, para pendahulu kita mengajari aspek-aspek kunci nilai-nilai luhur agama tanpa sibuk menghujankan dalil, tetapi melalui laku. Tindakan.  Mereka mengajarkan agama dalam kearifan masyarakat. Menyatu dalam urat nadi tradisi masyarakat seperti menyatunya udara yang kita hirup sehari-hari. Tanpa terasa, tapi sarat makna dan falsafah hidup. Keren. Bagaimana menurut Anda?

 Dinoyo, 9 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun