Mohon tunggu...
Muhimmatul Ulya
Muhimmatul Ulya Mohon Tunggu... Tutor - Ibu guru, ibu 1 anak, dan penikmat puisi

Masa depan adalah milik orang-orang yang percaya dengan manisnya mimpi mereka..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapakku (Tidak) Pelit

14 Mei 2023   10:10 Diperbarui: 21 Mei 2023   13:38 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ini uang jajanmu. 2ribu untuk jajan. 3ribu harus kau tabung,” kata Bapak menyodorkan uang 5ibu recehan. Dia menungguku memasukkan uang 3ribuku ke dalam celengan tanah liat berbentuk sapi coklat yang sangat besar.

“Ghani, kamu harus menabung untuk masa depanmu. Kamu harus belajar dan bekerja keras untuk meraih cita- citamu”

Kalimat itu ku hafal di luar kepala. Setiap malam, kalimat itu seperti tab recorder aktif yang berputar di rumahku. Aku tidak tau entah apa yang dipikirkan Bapak. Dia tidak pernah memberikan uang jajan lebih seperti ayah teman-temanku. Dia selalu menyuruhku untuk menabung, menabung, dan terus menabung. Kecuali di hari Jumat, karena di hari tersebut uang 3ribuku tidak masuk ke dalam celengan sapi yang kuberi nama “BUBU”, tapi masuk ke dalam kotak amal masjid di depan rumahku.

Awalnya aku tidak keberatan dengan segala perintah Bapak, tapi lama-kelamaan aku menjadi jengah. Aku ingin seperti teman-temanku yang bisa beli jajan sepuasnya. Nongkrong atau nge-game di playstation, atau bebas membeli barang-barang yang kuinginkan. Tidak kupungkiri bahwa dengan pertambahan jenjang sekolahku, uang sakuku juga semakin bertambah. Tapi peraturan Bapak tidak pernah berubah. Aku harus tetap melakukan rutinitas menyebalkan itu: belajar dan menabung!

Hingga suatu hari ide gila itu tiba. Di malam ketika Bapak menungguiku untuk memasukkan uang ke dalam celengan, ku selipkan sedikit uang itu. Kulirik Bapak yang tengah memejamkan mata, kemudian kembali kutarik uang yang belum sempat tertelan oleh bubu.

“Jangan curang. Masukkan uangnya kembali”, kata Bapak dengan mata yang masih terpejam.

“Tidak, ini uangku. Aku bebas menggunakannya”, kataku tersulut emosi karena tertangkap basah.

“Masukkan, Ghani”

“Bapak PELIIT… Aku benci sama Bapak”, teriakku kemudian membanting pintu.

Sekilas kulihat bahu Bapak bergetar. Tapi dia tidak menghentikanku. Ya, mungkin dia memang lebih menyayangi uang-uangnya daripada anaknya sendiri. Sampai detik ini aku masih berpikir bahwa Bapak adalah orang paling pelit sedunia. Sejak kematian ibu, aku sering mengintip Bapak memasukkan uang-uangnya ke dalam sebuah kotak yang besar hampir sebesar kotak amal masjid. Aku tau uangnya sangat banyak. Apalagi saat karirnya meroket karena keuletannya dalam bekerja. Dari cerita Budhe Ning (tetangga samping rumahku), banyak janda dan kembang perawan yang berniat mendekatinya, tapi Bapak bagaikan batu. Tak tersentuh.

Detik berganti, sekian purnama telah berlalu, gambaran Bapak di mataku tak pernah berubah. Hanya sesosok pelit yang mencintai uang-uangnya. Maka, wajar saja jika aku malas mengunjunginya apalagi setelah aku pindah ke Jakarta. Hingga sebuah telpon dari desa mengabariku bahwa aku harus kembali. Untuk orang pelit itu, Bapakku. 

Saat aku tiba, kulihat Bapak terpejam memeluk bubu, celengan sapi yang sudah kupecahkan bagian kepalanya. Dengan berbekal uang yang kutabung dalam bubu dan sedikit tambahan darinya aku kuliah kedokteran di Jakarta. Ada perasaan perih ketika melihat kondisi Bapak seperti ini. Terbesit sebuah pertanyaan dalam nuraniku: apa Bapak merindukanku?

“Ghani, kamu datang.” Ucapnya kemudian.

Kulihat sedikit genangan yang tertahan di matanya yang sayu.. Aku tak menyangka, bahwa waktu akan mempertemukan ku dengan Bapak dalam keadaan seperti ini. Sudah berkali-kali budhe Ning memintaku pulang, tapi tak sekalipun Bapak berkata bahwa dirinya sedang sakit. Aku tidak pernah tau bahwa Bapak sudah lama menahan sakitnya sekaligus kerinduannya. Ku genggam tangannya yang sudah termakan usia. Senyum terbit dari bibirnya. Hingga perlahan tak kutemukan lagi nafas hidup di nadinya.

Pelayat mulai berdatangan. Banyak sekali. Dan bertambah semakin banyak. Aku tertegun melihat betapa banyaknya orang-orang yang mendoakannya dengan sorot mata yang terluka. Dan yang lebih membuatku ternganga adalah rombongan anak kecil berpakaian putih-putih, mungkin jumlahnya ratusan atau ribuan, sedang membacakan surat yasin dengan begitu hikmadnya. Siapa mereka, dan dari mana datangnya?

Bapak adalah orang yang pendiam dan tak banyak bicara. Tak pernah kutahu bahwa Bapak memiliki teman atau relasi sebanyak itu. Dengan kehidupannya yang sederhana, Bapak menjelma menjadi orang desa yang bersahaja. Tapi, apakah selama ini aku telah salah sangka..

“Ghani, ada yang ingin bertemu denganmu, nak”, ucapan Budhe Ning membuyarkan lamunanku. Tak lama seorang lelaki bersurban putih menghampiriku dengan senyum teduhnya.

“Apa kabar, Nak Ghani? Saya adalah pemilik panti asuhan dari anak-anak yang sedang Anda lihat tadi. Bapak Anda adalah pendonor tetap di panti asuhan kami. Pak Madun adalah orang yang sangat dermawan. Setiap bulan beliau datang membawa uang hasil tabungannya dan meminta anak-anak yatim mendoakan untuk keselamatan dan kebahagiaan Anda. Ibu Anda sangat ingin anaknya menjadi dokter. Oleh karena itu, Pak Madun berusaha keras mewujudkannya. Kedisiplinan dan ketegasan yang beliau ajarkan semata-mata untuk menggembleng karakter Anda. Alhamdulillah semua harapan dan impian Pak Madun terwujud. Anda berhasil mendapatkan gelar dokter muda berkat prestasi dan kerja keras Anda. Bapak cerita beliau sangat bangga dengan keberhasilan Anda”

Untuk beberapa detik aku kehilangan diriku sendiri. Kilasan masa lalu bagai sebuah film hitam putih yang berputar dalam otakku. Kulihat diriku sediri berpuluh tahun yang lalu di pangkuan ibu. “Namamu Ghani, Nak. Ibu harap kamu menjadi orang yang kaya hati dan jiwanya. Berbelas asih pada makhluk yang bernyawa dan menolong sesama. Ibu ingin suatu hari kamu menjadi dokter yang baik hati, Ghani”, kata ibu diiringi anggukan oleh Bapakku.

Aku tak menyangka kata-kata Ibu yang kuanggap angin lalu justru akan aku ingat di saat-saat seperti ini. Di bawah gempuran arus pamer dan gengsi, aku melupakan keinginan orang tuaku. Aku buta mengenali wajah asli Bapakku. Pria yang kuanggap orang paling pelit sedunia justru adalah malaikat tak bersayap untuk ribuan anak yatim di panti asuhan. Bapak yang tak pernah berkata-kata ternyata adalah orang yang paling tulus mencintaiku lewat lantunan doa-doanya. Ya.. orang dermawan itu ternyata adalah Bapakku.

Sedetik kemudian kulihat tangga cahaya membentang dari langit. Bapak tersenyum kepadaku dan berjalan meniti anak tangga. Tak ada satupun gurat kesedihan dalam wajahnya, melainkan semburat kilau cahaya yang berpendar-pendar menerangi tubuhnya. Selamat tinggal, Bapak. Selamat bertemu denganNya dengan hati yang berbunga-bunga…

“wahai jiwa-jiwa yang tenang..

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi..

Maka, masuklah ke dalam barisan hamba-hambaKu..

Dan masuklah ke dalam surgaKu..” (Qs. Al-Fajr:27-30)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun