Mohon tunggu...
Muhibbuddin Ahmad Al-Muqorrobin
Muhibbuddin Ahmad Al-Muqorrobin Mohon Tunggu... -

Pemuda lugu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dialog Interdimensi

11 Juli 2011   14:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:45 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hanya tinggal beberapa menit lagi sebelum dia menjalankan tugas. Ada sebuah instruksi kosmos yang turun kepadanya.” ujar Bima Sakti, galaksi tempat tinggalku.

“Siapa?” aku kebingungan

“Elemen air di planetmu”

“Musibah lagi?” Aku curiga.

“Hanya menjalani siklus. Mencari keseimbangan.”

“Lalu apa yang akan terjadi dengan manusia?” tanyaku khawatir.

Bima Sakti atau Milky Way dalam sebutan Ilmuwan Barat, kemudian melanjutkan ceramahnya.

“Inilah alam. Manusia harus menghadapinya. Tampaknya, belakangan ini, manusia lebih suka memilih untuk memposisikan diri di luar aturan main sistem konstelatika kosmos. Konsekuensinya, keseimbangan tatanan kosmos terganggu oleh karena ulah manusia…..”

Mendengar kata manusia disebut, tentu saja aku tersinggung dan segera menjatuhkan interupsi.

“Manusia? Bagaimana kau dapat membuktikan bahwa manusia merusak sistem.”

“Berbeda dengan kami yang diprogram untuk tidak dapat menolak perintah, kau adalah makhluk yang dianugerahkan hak untuk memilih serta membuat keputusan sendiri secara sadar meskipun keputusan itu adalah menolak perintahNya, namun kau harus bertanggungjawab terhadap pilihan itu.

Dan sejak waktu bermula, kau diperintahkan untuk memakmurkan alam. Kau pun hidup berdampingan dengan alam, tapi pikiranmu membawa eksistensi dirimu jauh dari alam. Kau ciptakan sendiri tabir yang mutlak membatasi dirimu dari alam...” ceramah Bima Sakti.

“…pertanyaanku belum kau jawab.”

“Dengarkan dulu nak! Aku belum tuntas. Pikiran adalah benang merah antara kau dan rusaknya sistem keseimbangan alam. Jangan anggap semua baik-baik saja ketika kau berpikir negatif! Ada frekuensi yang terpancar ke ruang hampa jagad raya, biarlah hal ini dijelaskan oleh saudara Orion nanti. Yang jelas pikiranmu haruslah selaras dengan hati sebagai pusat emosi dan biarlah keduanya saling mengendalikan.

Namun sebaliknya, ketika fungsi sinergis akal kau pisah dari fungsi hati, maka sistematika manusia sebagai belalang mikrokosmos akan cenderung destruktif dengan mengalirkan energi-energi negatif yang terpancar ke alam semesta. Ketika sebuah subsistem memisahkan perannya dari sistem, tahukah kau apa yang terjadi?”

“Sistem tidak lagi memiliki substansi totalitas dalam konteks keseimbangan karena meski subsistem yang lain masih berfungsi sempurna tetap saja hilangnya peran salah satu subsistem menyebabkan kinerja sistem menjadi kacau dan tidak seimbang” kujawab sekenanya.

"Dan untung saja masih ada manusia yang melakukan harmonisasi subsistemik dengan kosmos di tengah masyarakat yang semakin apatis psikopat. Namun demikian tetap saja dibutuhkan sebuah totalitas demi sempurnanya kinerja sistem kosmos.”

“Hey saudara Bima Sakti, aku punya pertanyaan. Makhluk itu diciptakan serba terbatas. Namun kenapa ada istilah totalitas? bukankah keterbatasan dan totalitas adalah dua hal yang kontras berbeda? Di tengah-tengah keterbatasan ini kenapa kita malah diharuskan bersikap totalitas?”

“Anak muda. Totalitas berarti kau menggunakan segenap daya dan upaya yang kau miliki. Bagaimana kau bisa belajar caranya bersyukur bila totalitas itu tidak ada? Dengan keseluruhan kemampuanmu yang terbatas, jika kau hanya menggunakan setengahnya berarti ada sisa kemampuan yang kau sia-siakan. Maka, bila demikian, kau sebenarnya lebih berhak mendapatkan kemampuan hanya sebesar yang kau gunakan itu dan kau dianggap tidak mensyukuri nikmat Allah.”

Orion, salah satu gugus bintang tiba-tiba hadir dalam pembicaraan dan langsung melanjutkan substansi dialog.

“Jadi, terdapat gelombang elektromagnetik yang memadati semesta dan mengelilingi dirimu. Segala yang kaupikirkan akan terpancar keluar menjadi frekuensi yang kemudian ditangkap oleh alam semesta. Lalu, frekuensi itu akan berubah menjadi energi dan alam semesta kemudian mengembalikan energi ini kepadamu, kau secara natural akan menangkapnya. Maka kau adalah apa yang kau pikirkan. Perilakumu adalah pengejawantahan dari apa yang kau pikirkan.”

“Oh iya, aku teringat teori tentang medan morfogenetika dalam istilah biologi.”

“Yup. Karl Jung menyebut misteri keterhubungan pikiran ini sebagai universal consciousness

“Eh sebentar, aku jadi ingat kalimatnya John Kehoe: kalau kita paham bahwa kita adalah bagian dari semesta nan terbuka dan dinamis, dan pikiran kita adalah bagian dari pembentukan realitas, maka kita dapat memilih hidup secara kreatif dan sentosa. Yang kutanyakan, realita itu tadinya adalah sebuah energi kan?”

“Ya, dan tahukah kau bahwa alam semesta hanya menerima pancaran negatif selama beberapa millennium belakangan. Energi-energi itu tidak sedikit yang kemudian mengganggu keseimbangan alam. Pikiran, perilaku, dan sikap umat manusia sudah lebih dari cukup untuk mengganggu sistem keseimbangan kosmos. Akibatnya, setiap komposisi dari bangunan semesta ini selalu bergerak mencari keseimbangan.”

“Tapi apakah pergerakan materi semesta mencari keseimbangan harus bersifat destruktif? Manusia sebagai subyek pun banyak yang jadi korbannya. Holocaust?”

“Lidah umat manusia memang terlatih untuk mengatakan bahwa pergerakan materi alam mencari keseimbangan adalah bersifat destruktif. Ini bukan holocaust. Lihatlah secara sempurna dari awal hingga akhir proses siklus itu. Awal Agustus beberapa tahun lalu, empat galaksi yang berada pada cluster galaksi CL0958+4702 yang berjarak 5 miliar tahun cahaya dari bumi bertabrakan. Tabrakan itu merobek jala-jala galaksi, menceraiberaikan bintang, planet serta semua benda di keempat galaksi itu.

Hebatnya, tabrakan itu justru malah menggabungkan keempat galaksi dan ianya membentuk sebuah galaksi baru yang berukuran sepuluh kali galaksimu, Bima Sakti. Padahal tadinya kau pasti berpikiran sesuatu yang destruktif. Memang sehubungan dengan jauhnya substansi materi semesta dari equilibrium, banyak proses yang harus dilewati materi jagad raya. Kau sudah belajar ilmu fisika?”

“Sudah.”

“Kau hanya tau tapi tidak paham. Bayangkan sebuah timbangan pasir yang memiliki sisi lebih berat pada salah satu sudut timbangannya! Secara otomatis sisi yang lebih berat tadi berada di bawah. Untuk mencapai keseimbangan, maka harus ada pengurangan dan penambahan: pasir yang berada di sudut terberat harus dikurangi untuk kemudian ditambahkan pada sisi yang lebih ringan agar tercapai kata seimbang, kau tidak boleh menambah pasir baru dari luar timbangan karena takaran pasir sudah tetap."

“Lalu, dimana letak korelasinya antara manusia dan semesta?”

“Ketika timbangan semesta berat di salah satu sisinya, maka itu artinya kau, sebagai subyek, mengalokasikan energi secara tidak proporsional. Bila demikian, akan selalu ada yang dikurangi dan selalu ada yang ditambahkan. Dalam konteks yang sama, bagi manusia, selalu ada yang merasa dirugikan dan selalu ada yang merasa diuntungkan. Bagi manusia bencana itu sangat merugikan, tapi sebenarnya alam hanya ingin mencapai titik seimbang melalui beberapa proses. Maka demi berlangsungnya hukum keseimbangan dalam semesta, terdapat sebuah alat penyeimbang. Pujangga Oriental menyebutnya Karma.”

“Wah, ini jelas-jelas doktrin Hinduisme. Aku ini muslim.”

“Bodoh! Tidak ada ilmu yang berasal dari suatu kaum. Sumber ilmu hanya satu: Allah, Penguasa Kosmos. Berpikirlah global maka kau akan dapat membedakan berlian dan kerikil di antara tumpukan pasir. Artinya, dengan berpikir global dan dengan iman yang terasah, kau akan dapat melihat apakah sebuah doktrin itu benar dari Allah ataukah sudah ditambah-tambah. Hampir saja kau menolak doktrin Hindu yang satu ini karna justifikasi subyektifmu. Jika demikian, mengapa kau justru menerima doktrin-doktrin yang berasal dari Barat?”

“Karena kukira doktrin Hindu itu beraroma animisme. Dan… Ya karena doktrin-doktrin Barat terasa lebih masuk akal.”

“Dasar bocah, akal saja yang kau beri makan. Hati pun butuh. Baiklah, apa yang kau lakukan untuk memahami substansi akan sesuatu?”

“Memahami kenapa dan atas dasar apa sesuatu itu ada?”

“Itu benar, tapi lebih tepatnya penjiwaan. Mulailah dengan memposisikan dirimu pada sebuah titik dimana kau dapat melihat segalanya secara komprehensif. Bila ada istilah berpikir global, maka kuciptakan sebuah istilah: penjiwaan global. Lalu awali dengan penjiwaan tentang apa peran dan tugasmu serta mengapa dan atas dasar apa kau ada serta dimana kau berada. Dari penjiwaan ini, substansi mengenai hal-hal lainnya akan terungkap dan tenagamu tidak terbuang demi memahami satu persatu masing-masing hal.”

“Baiklah nanti dicoba.”

“Wajib. Dan dari sini kau akan menemukan mengapa ilmu filsafat wajib ada. Disini kau membutuhkan sinergisme antara mata kasatmu dan mata hatimu. Bukalah mata hatimu karena hanya ialah yang mampu merasakan substansi-substansi transendental.”

“Oya, aku ingat. Dalam dunia teater setiap pemeran membutuhkan penjiwaan masing-masing karakter agar mereka dapat memerankannya dengan sempurna. Lalu akan tercipta sebuah drama yang kental nilai emosional. Bila dihubungkan, justru hal-hal emosional lah yang membuat manusia terhubung dengan alam. Semua itu hanya dari penjiwaan.”

“Nah, sudah menjadi tugasmu, sebagai subyek, untuk melakukan penjiwaan dengan lingkungan demi terciptanya sebuah harmonisasi sempurna yang akan bermuara pada keseimbangan kosmos. Keseimbangan kosmos pada gilirannya akan mengantarkan balik energi-energi positif kepada umat manusia. Energi itu akan mempengaruhi umat manusia secara individu maupun keseluruhan untuk benar-benar berada dalam posisinya sebagai subyek yang toleran.”

Entah mengapa suasana tiba-tiba menjadi hening. Dalam kehampaan ruang angkasa ini, sesuatu mengusap mukaku hingga segar. Sebuah elemen yang familiar. Air. Lalu mataku kemudian memandang tempat tinggal ragaku. Bumi. Ia tersenyum lalu mengingatkan.

“Ayo anakku. Kau harus kembali! Ada sesuatu yang harus kau lihat dan pelajari sekarang.”

---------------------------------

“Tuuuttuuut…tuuuttuuut…tuuuttuuut…” dering ponsel memecah fantasiku. Membawaku kembali ke alam nyata.

“Haus. Aku mau minum dulu.” Batinku.

Televisi masih menyala ketika kubuka langkah menuju lokasi dimana dispenserku berada. Lalu, dari tempatku berdiri, sayup-sayup terdengar suara Zelda Savitri dalam saluran MetroTV. Hari itu tepat tanggal 11 maret 2011.

“Pagi ini, setidaknya gelombang tsunami sudah menerjang beberapa kota di Tokyo, Jepang dengan ketinggian lima sampai enam meter…”

Aku terhenyak.

(Written by :Muhibbuddin Ahmad Al-Muqorrobin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun