Mohon tunggu...
Muhibbuddin Ahmad Al-Muqorrobin
Muhibbuddin Ahmad Al-Muqorrobin Mohon Tunggu... -

Pemuda lugu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dialog Interdimensi

11 Juli 2011   14:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:45 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Yup. Karl Jung menyebut misteri keterhubungan pikiran ini sebagai universal consciousness

“Eh sebentar, aku jadi ingat kalimatnya John Kehoe: kalau kita paham bahwa kita adalah bagian dari semesta nan terbuka dan dinamis, dan pikiran kita adalah bagian dari pembentukan realitas, maka kita dapat memilih hidup secara kreatif dan sentosa. Yang kutanyakan, realita itu tadinya adalah sebuah energi kan?”

“Ya, dan tahukah kau bahwa alam semesta hanya menerima pancaran negatif selama beberapa millennium belakangan. Energi-energi itu tidak sedikit yang kemudian mengganggu keseimbangan alam. Pikiran, perilaku, dan sikap umat manusia sudah lebih dari cukup untuk mengganggu sistem keseimbangan kosmos. Akibatnya, setiap komposisi dari bangunan semesta ini selalu bergerak mencari keseimbangan.”

“Tapi apakah pergerakan materi semesta mencari keseimbangan harus bersifat destruktif? Manusia sebagai subyek pun banyak yang jadi korbannya. Holocaust?”

“Lidah umat manusia memang terlatih untuk mengatakan bahwa pergerakan materi alam mencari keseimbangan adalah bersifat destruktif. Ini bukan holocaust. Lihatlah secara sempurna dari awal hingga akhir proses siklus itu. Awal Agustus beberapa tahun lalu, empat galaksi yang berada pada cluster galaksi CL0958+4702 yang berjarak 5 miliar tahun cahaya dari bumi bertabrakan. Tabrakan itu merobek jala-jala galaksi, menceraiberaikan bintang, planet serta semua benda di keempat galaksi itu.

Hebatnya, tabrakan itu justru malah menggabungkan keempat galaksi dan ianya membentuk sebuah galaksi baru yang berukuran sepuluh kali galaksimu, Bima Sakti. Padahal tadinya kau pasti berpikiran sesuatu yang destruktif. Memang sehubungan dengan jauhnya substansi materi semesta dari equilibrium, banyak proses yang harus dilewati materi jagad raya. Kau sudah belajar ilmu fisika?”

“Sudah.”

“Kau hanya tau tapi tidak paham. Bayangkan sebuah timbangan pasir yang memiliki sisi lebih berat pada salah satu sudut timbangannya! Secara otomatis sisi yang lebih berat tadi berada di bawah. Untuk mencapai keseimbangan, maka harus ada pengurangan dan penambahan: pasir yang berada di sudut terberat harus dikurangi untuk kemudian ditambahkan pada sisi yang lebih ringan agar tercapai kata seimbang, kau tidak boleh menambah pasir baru dari luar timbangan karena takaran pasir sudah tetap."

“Lalu, dimana letak korelasinya antara manusia dan semesta?”

“Ketika timbangan semesta berat di salah satu sisinya, maka itu artinya kau, sebagai subyek, mengalokasikan energi secara tidak proporsional. Bila demikian, akan selalu ada yang dikurangi dan selalu ada yang ditambahkan. Dalam konteks yang sama, bagi manusia, selalu ada yang merasa dirugikan dan selalu ada yang merasa diuntungkan. Bagi manusia bencana itu sangat merugikan, tapi sebenarnya alam hanya ingin mencapai titik seimbang melalui beberapa proses. Maka demi berlangsungnya hukum keseimbangan dalam semesta, terdapat sebuah alat penyeimbang. Pujangga Oriental menyebutnya Karma.”

“Wah, ini jelas-jelas doktrin Hinduisme. Aku ini muslim.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun