“Bodoh! Tidak ada ilmu yang berasal dari suatu kaum. Sumber ilmu hanya satu: Allah, Penguasa Kosmos. Berpikirlah global maka kau akan dapat membedakan berlian dan kerikil di antara tumpukan pasir. Artinya, dengan berpikir global dan dengan iman yang terasah, kau akan dapat melihat apakah sebuah doktrin itu benar dari Allah ataukah sudah ditambah-tambah. Hampir saja kau menolak doktrin Hindu yang satu ini karna justifikasi subyektifmu. Jika demikian, mengapa kau justru menerima doktrin-doktrin yang berasal dari Barat?”
“Karena kukira doktrin Hindu itu beraroma animisme. Dan… Ya karena doktrin-doktrin Barat terasa lebih masuk akal.”
“Dasar bocah, akal saja yang kau beri makan. Hati pun butuh. Baiklah, apa yang kau lakukan untuk memahami substansi akan sesuatu?”
“Memahami kenapa dan atas dasar apa sesuatu itu ada?”
“Itu benar, tapi lebih tepatnya penjiwaan. Mulailah dengan memposisikan dirimu pada sebuah titik dimana kau dapat melihat segalanya secara komprehensif. Bila ada istilah berpikir global, maka kuciptakan sebuah istilah: penjiwaan global. Lalu awali dengan penjiwaan tentang apa peran dan tugasmu serta mengapa dan atas dasar apa kau ada serta dimana kau berada. Dari penjiwaan ini, substansi mengenai hal-hal lainnya akan terungkap dan tenagamu tidak terbuang demi memahami satu persatu masing-masing hal.”
“Baiklah nanti dicoba.”
“Wajib. Dan dari sini kau akan menemukan mengapa ilmu filsafat wajib ada. Disini kau membutuhkan sinergisme antara mata kasatmu dan mata hatimu. Bukalah mata hatimu karena hanya ialah yang mampu merasakan substansi-substansi transendental.”
“Oya, aku ingat. Dalam dunia teater setiap pemeran membutuhkan penjiwaan masing-masing karakter agar mereka dapat memerankannya dengan sempurna. Lalu akan tercipta sebuah drama yang kental nilai emosional. Bila dihubungkan, justru hal-hal emosional lah yang membuat manusia terhubung dengan alam. Semua itu hanya dari penjiwaan.”
“Nah, sudah menjadi tugasmu, sebagai subyek, untuk melakukan penjiwaan dengan lingkungan demi terciptanya sebuah harmonisasi sempurna yang akan bermuara pada keseimbangan kosmos. Keseimbangan kosmos pada gilirannya akan mengantarkan balik energi-energi positif kepada umat manusia. Energi itu akan mempengaruhi umat manusia secara individu maupun keseluruhan untuk benar-benar berada dalam posisinya sebagai subyek yang toleran.”
Entah mengapa suasana tiba-tiba menjadi hening. Dalam kehampaan ruang angkasa ini, sesuatu mengusap mukaku hingga segar. Sebuah elemen yang familiar. Air. Lalu mataku kemudian memandang tempat tinggal ragaku. Bumi. Ia tersenyum lalu mengingatkan.
“Ayo anakku. Kau harus kembali! Ada sesuatu yang harus kau lihat dan pelajari sekarang.”