Mohon tunggu...
Muh Asyrofi
Muh Asyrofi Mohon Tunggu... Insinyur - Insinyur

Seorang Insinyur di Perusahaan Bidang Energi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Dekarbonisasi Industri Petrokimia Menuju NZE 2060

3 Januari 2024   16:33 Diperbarui: 3 Januari 2024   16:55 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai negara berkembang, saat Ini Indonesia juga memiliki berbagai industri petrokimia yang tersebar di Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain. Kapasitas total industri petrokimia hulu di Indonesia saat ini adalah 7,1 juta ton/tahun dengan feedstock dari minyak bumi dan gas alam yang menghasilkan produk berupa Etilen, Propilen, BTX, Butadiena, Polietilen (PE), dan Polipropilen (PP) [7]. Data Kemenperin menyebutkan bahwa pertumbuhan industri petrokimia hulu rata-rata setiap tahun adalah 4,6%.

Ke depan, berbagai proyek petrokimia juga sedang dirancang oleh Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti proyek Olefin Kompleks TPPI Tuban, proyek green Amonia di Kalimantan dan Papua, dan lain-lain. Data Kemenperin juga menyebutkan bahwa antara tahun 2020 – 2030 telah/akan dilakukan investasi sebesar total USD 31 milyar untuk menjalankan proyek-proyek pengembangan industri petrokimia hulu tersebut, yang diperkirakan akan menambah produksi olefin sebesar 5,7 juta ton/tahun dan poliolefin sebesar 4,7 juta ton/tahun [7].

Keberadaan industri petrokimia tersebut beserta prediksi pertumbuhannya ke depan sudah tentu akan menghasilkan penambahan emisi CO2 jika tidak dilakukan antisipasi dengan dekarbonisasi. Saat ini, emisi CO2 secara total di Indonesia mencapai sekitar 600 juta tonCO2/tahun (IEA, 2021), di mana sektor industri secara keseluruhan menyumbang sekitar 130 juta tonCO2/tahun, sementara industri kimia secara khusus menyumbang sekitar 20 juta tonCO2/tahun [8]. Dengan trend pertumbuhan industri petrokimia sebagaimana disebutkan di atas, maka trend emisi CO2 juga akan terus meningkat jika tidak dilakukan usaha pengurangan emisi CO2.

Indonesia juga berkomitmen dengan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mewujudkan cita-cita Nett Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Oleh sebab itu, dekarbonisasi di sektor industri petrokimia juga perlu segera dilaksanakan untuk konteks Indonesia. Skema dekarbonisasi yang telah dijelaskan di atas juga perlu diberlakukan untuk industri petrokimia di Indonesia, dengan melihat potensi sumber energi terbarukan yang ada di Indonesia. Dengan mempertimbangkan kondisi Indonesia sebagai negara berkembang dan dari kelima pilar dekarbonisasi yang telah disebutkan sebelumnya, dapat diambil 4 (empat) pilar yang bisa diterapkan untuk dekarbonisasi sektor industri petrokimia di Indonesia dalam rangka memenuhi target NZE 2060, yaitu:

  • Implementasi CCUS untuk industri petrokimia di Indonesia
  • Penggunaan biofuel dan biomassa sebagai pengganti bahan bakar sumber energi (uap, panas dan listrik) di industri petrokimia di Indonesia
  • Elektrifikasi peralatan industri petrokimia di Indonesia (kompresor, pompa, turbin, dll)
  • Efisiensi energi, baik dari sisi peralatan maupun operasional industri petrokimia di Indonesia.

Keempat hal tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia yang merupakan negara berkembang, karena beberapa faktor sebagai berikut:

  • Teknologi CCUS khususnya post-combustion merupakan teknologi yang sudah mapan,
  • Sumber bioenergi (biofuel dan biomassa) tersedia melimpah di Indonesia, bahkan merupakan sumber bioenergi terbanyak di dunia, yaitu setara 56,97 Gigawatt (Kemen ESDM, 2023).
  • Teknologi elektrifikasi peralatan industri sudah banyak berkembang di seluruh dunia. Selanjutnya, sumber listrik untuk peralatan tersebut dapat diambil dari pembangkit listrik berbasis biofuel dan biomassa yang merupakan bagian integral dari industri petrokimia tersebut.
  • Penerapan efisiensi energi, baik dari sisi peralatan maupun operasional dapat dilaksanakan dengan manajemen yang baik dari operator industri.

Dampak Sosio-Ekonomi

Sesuai standard World Bank, Indonesia termasuk negara berpenghasilan menengah-bawah dengan GDP per kapita setara 70% dari angka level global, yaitu USD 13.000 per kapita (2021) [8]. Sektor industri, di mana industri petrokimia merupakan bagian integral di dalamnya, menyumbang angka cukup signifikan dari total GDP Indonesia sebagaimana gambar berikut ini:

dokpri
dokpri

Gambar 7: Pembagian GDP Indonesia per Sektor [8]

Dengan adanya program dekarbonisasi pada sektor industri petrokimia sebagaimana dijelaskan di atas, maka dampak secara sosio-ekonomi tidak dapat terelakkan. Dampak tersebut dapat dialami secara langsung oleh para pekerja di sektor industri petrokimia maupun secara tidak langsung yaitu oleh berbagai pihak yang terkena efek domino dari adanya dekarbonisasi tersebut.

Berikut ini adalah indikator kunci untuk sosio-ekonomi Indonesia:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun