Gambar 3: Diagram Alir Konsumsi Feedstock dan Jumlah Produk Kimia tahun 2017 [1]
Konsumsi energi fosil tersebut di atas menyebabkan munculnya emisi CO2 dari industri petrokimia, yang secara keseluruhan saat ini mencapai 1,5 Gigaton/tahun atau sekitar 18% dari total emisi industri di seluruh dunia [1]. Total emisi CO2 tersebut berasal dari dua proses utama, yaitu:
- Pengolahan feedstock (nafta, LPG, gas, dll ) menjadi produk kimia turunan yang mengeluarkan emisi CO2 sebesar 0,2 Gigaton/tahun, yang merepresentasikan selisih kandungan karbon antara feedstock dengan produk kimia turunan.
- Penggunaan bahan bakar fosil untuk energi (uap, panas, dan listrik) yang digunakan dalam industri petrokimia tersebut, yang mengeluarkan emisi CO2 sebesar 1,3 Gigaton/tahun.
Skema Dekarbonisasi Industri Petrokimia
Perjanjian Paris telah mengamanatkan untuk mewujudkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050. Atas hal tersebut, dekarbonisasi di berbagai sektor seperti industri, transportasi, bangunan dan lain-lain menjadi hal yang perlu dilaksanakan. Sektor industri petrokimia, sebagai salah satu sektor yang mengeluarkan emisi CO2 dalam jumlah cukup besar, yaitu 1,5 Gigaton/tahun juga memerlukan untuk dilakukan dekarbonisasi demi mewujudkan cita-cita NZE 2050.
Sejalan dengan itu, IEA (2017) telah mengeluarkan roadmap untuk skenario perkembangan industri petrokimia ke depan, yaitu dengan dua skenario sebagai berikut:
1). Reference Technology Scenario (RTS), yaitu skenario perkembangan industri petrokimia hingga tahun 2050 dengan mengikuti biaya optimal untuk operasional dan peralatan. Skenario ini berbasis pada peningkatan demand minyak bumi sebesar 10 juta BPD pada tahun 2030 dan meningkat lagi sebesar 7 juta BPD pada tahun 2050, juga berbasis pada peningkatan demand gas alam sebesar 850 BCM pada tahun 2030 dan meningkat lagi sebesar 4% hingga 2050. Konsekuensi dari hal ini adalah peningkatan emisi CO2 sebesar 30% pada tahun 2050 jika dibandingkan dengan emisi CO2 pada tahun 2017.  Adapun demand bahan kimia primer diperkirakan meningkat 30% pada tahun 2030 dan 60% pada tahun 2050, yang berimplikasi meningkatnya produk akhir industri kimia hingga lebih dari satu milyar ton pada tahun 2050. Dengan adanya efisiensi energi seiring perkembangan teknologi, maka intensitas penggunaan energi di sektor kimia primer akan turun dari 16,2 GJ/ton pada tahun 2017 hingga 14,7 GJ/ton pada tahun 2030 dan 12 GJ/ton pada tahun 2050.
Meskipun total emisi CO2 meningkat sebesar 30% pada tahun 2050, namun pada dasarnya intensitas emisi CO2 menurun di sektor kimia primer yaitu dari 1,7 tonCO2/ton pada tahun 2017 menjadi 1,4 tonCO2/ton pada tahun 2050. Faktor utama yang menurunkan intensitas emisi CO2 adalah adanya implementasi Carbon Capture Utilization & storage (CCUS) yang digunakan untuk pembuatan Urea, yang diperkirakan penggunaannya akan tumbuh hingga 50% pada tahun 2050. Berikut ini adalah grafik intensitas energi hingga tahun 2050 untuk skenario RTS:
Gambar 4: Grafik Intensitas Emisi CO2 dalam Skenario RTS [1]
2). Clean Technology Scenario (CTS), yaitu skenario yang serupa dengan RTS namun dengan mengurangi emisi CO2 sebesar 45% pada tahun 2050 dan menyelaraskannya dengan program IEA Sustainable Development Scenario yang terdiri atas tiga unsur, yaitu akses universal ke pelayanan energi tahun 2030 (terutama energi listrik dan clean cooking), mengikuti perjanjian Paris, dan pengurangan polutan lain secara luas.