Mohon tunggu...
Muh Asyrofi
Muh Asyrofi Mohon Tunggu... Insinyur - Insinyur

Seorang Insinyur di Perusahaan Bidang Energi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Program Transisi Energi di Indonesia

3 Januari 2024   12:19 Diperbarui: 3 Januari 2024   13:32 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PROGRAM TRANSISI ENERGI DI INDONESIA

Latar Belakang 

Pemanasan global saat ini merupakan satu hal yang telah menyita perhatian berbagai negara dalam kaitannya dengan masa depan bumi dan manusia. Penyebab utama pemanasan global tersebut adalah emisi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida (CO2) yang utamanya ditimbulkan oleh sektor energi yang menyumbang tiga per empat dari total emisi GRK di seluruh dunia (IEA, 2022). Emisi CO2 dari pembakaran energi fosil maupun industri proses telah mencapai 36,3 Gigaton pada tahun 2021 (IEA, 2021). Untuk mencegah pemanasan global terus meningkat yang berdampak buruk pada iklim dan kehidupan manusia, perlu dilakukan berbagai upaya untuk menekan emisi CO2 tersebut.

Kesadaran berbagai negara untuk mengurangi emisi CO2 telah tertuang dalam protokol Kyoto pada tahun 1997, yaitu kesepakatan internasional di antara berbagai negara untuk mengurangi emisi CO2 di atmosfer. Selanjutnya menyusul perjanjian Paris (Paris agreement) yang dilaksanakan oleh United Stations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tanggal 12 Desember 2015 untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 oC dan diharapkan hanya mencapai 1,5 oC, beberapa negara yang tergabung dalam International Energy Agency (IEA) pada tanggal 31 Maret 2021 telah bersepakat untuk membatasi pemanasan global dengan program Net Zero Emission (NZE) 2050, yaitu program untuk menargetkan kondisi dunia dengan total emisi bersih GRK bernilai nol atau setara tanpa emisi GRK pada tahun 2050 (IEA, 2022).

Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk sekitar 278,8 juta (BPS, 2023), Indonesia juga turut menyumbang emisi CO2 sebesar 600 juta tonCO2/tahun (IESR, 2023). Dalam rangka menurunkan emisi CO2 tersebut, Indonesia juga telah mengadopsi program NZE dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang mengandung dua cita-cita, yaitu tercapainya Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 dan penurunan emisi CO2 pada tahun 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri atau 41% jika dibantu Internasional.

Untuk mewujudkan cita-cita NZE 2060 tersebut, maka program transisi energi di Indonesia menjadi penting, karena hingga saat ini sumber energi fosil masih mendominasi berbagai sektor di Indonesia seperti sektor pembangkit listrik, pertambangan, perminyakan, industri, transportasi, bangunan dan rumah tangga. Dalam rangka mewujudkan program transisi energi tersebut, Dewan Energi Nasional (DEN) juga telah Menyusun Kebijakan Energi Nasional (KEN) hingga 2050 yang telah memuat lima (5) prioritas utama sesuai Pasal 11 Ayat 2 & 3, yaitu: Memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan, meminimumkan penggunaan minyak bumi, mengoptimalkan penggunaan gas bumi, menggunakan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional, dan menjadikan nuklir sebagai pilihan terakhir. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang disusun oleh DEN juga telah ditargetkan bahwa bauran energi terbarukan di Indonesia adalah 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.

Dengan melihat fakta-fakta di atas, maka program transisi energi di Indonesia semestinya dapat dilaksanakan melalui kerjasama yang baik oleh berbagai stake holder / sektor. Program transisi energi di Indonesia juga perlu dijalankan dengan tetap mempertimbangkan potensi sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang tersedia di Indonesia.

Sumber Daya dan Kebutuhan Energi di Indonesia

Indonesia memiliki sumber daya energi yang melimpah, baik energi fosil maupun energi terbarukan. Secara umum, potensi energi fosil di Indonesia yaitu minyak bumi sebesar 86,9 milyar barel, gas bumi sebesar 384,7 TSCF, dan batubara sebesar 104 milyar ton. Adapun potensi energi terbarukan di Indonesia, International Renewable Energy Agency (IRENA) dalam laporan “Indonesia Energy Transition Outlook” yang dirilis Oktober 2022 melaporkan bahwa total potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.692 GW, namun baru dimanfaatkan sebesar 0,3% hingga tahun 2021. Berikut ini rincian potensi energi terbarukan di Indonesia menurut IRENA [5]:

  • Energi Surya: potensi 2.898 GW, terpasang 0,2 GW
  • Energi Angin Lepas Pantai (offshore wind): potensi 589 GW, terpasang 0 GW
  • Energi Air: potensi 94,6 GW, terpasang 6,1 GW
  • Energi Biomassa: potensi 43,3 GW, terpasang 1,9 GW
  • Energi Panas Bumi: potensi 29,5 GW, terpasang 2,1 GW
  • Energi Angin Daratan (onshore wind): potensi 19,6 GW, terpasang 0,2 GW
  • Energi Arus/Panas Laut: potensi 17,9 GW, terpasang 0 GW

Dari seluruh potensi energi tersebut di atas baik energi fosil maupun energi terbarukan, bauran energi yang sudah dimanfaatkan saat ini adalah sebagaimana dalam grafik berikut ini:

Gambar 1: Bauran Energi di Indonesia [2]

Dari grafik di atas, terlihat bahwa bauran energi terbarukan di Indonesia hingga tahun 2022 masih sekitar 10%, yang masih jauh dari target dalam RUEN yaitu 23% pada tahun 2025. Untuk mewujudkan kembali cita-cita NZE, KEN dan RUEN maka perlu dilakukan terobosan tertentu untuk mempercepat laju pemanfaatan energi terbarukan dan mengurangi energi fosil.

Saat ini, kebutuhan energi di Indonesia telah mencapai sekitar 200 Mtoe/tahun dan diperkirakan akan terus tumbuh hingga mencapai 556,5 Mtoe/tahun (juta ton setara minyak / tahun) yang setara 23,3 x 10^9 GJ/tahun pada tahun 2060 [4], atau sebanding dengan daya listrik total sebesar 738,82 GW pada tahun 2060. Berikut ini grafik permintaan energi di Indonesia per sektor:

gb1-6594eb5bde948f1d693864e2.jpg
gb1-6594eb5bde948f1d693864e2.jpg
Gambar 2: Permintaan Energi di Indonesia per Sektor [4]

Selama ini, kebutuhan energi di Indonesia masih didominasi oleh sektor transportasi, listrik, dan industri sebagaimana pada grafik berikut:

dokpri
dokpri

Gambar 3: Pembagian Kebutuhan Energi di Indonesia tahun 2020 per Sektor [4]

Proyeksi kebutuhan energi di atas adalah dengan skenario dasar, di mana pertumbuhan penduduk dan GDP diproyeksikan mengikuti data masa lalu. Dalam hal ini, belum dimasukkan variabel-variabel efisiensi energi dengan berbagai pendekatan agar intensitas energi dapat ditekan serendah mungkin. Dengan melihat data potensi energi terbarukan di atas beserta proyeksi kebutuhan energi di Indonesia, maka potensi energi terbarukan di Indonesia lebih dari cukup untuk digunakan menutupi kebutuhan energi di masa depan hingga tahun 2060 dengan tanpa memerlukan import energi. Namun demikian, efisiensi energi tetap dibutuhkan agar intensitas energi dapat ditekan.

Perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar kebutuhan energi di Indonesia ke depan dapat terpenuhi dan tetap sejalan dengan cita-cita NZE 2060. Di samping itu, faktor energi berkelanjutan (sustainable energy) juga merupakan hal penting yang perlu dijaga, agar generasi masa depan tidak mengalami krisis energi. Untuk mencapai hal tersebut, bauran energi dengan memaksimalkan energi terbarukan menjadi kunci utama suksesnya program transisi energi menuju NZE 2060 dan energi berkelanjutan, sebagaimana telah dituangkan di dalam prioritas pertama KEN 2050.

C. Greig dalam “Getting to net-zero emissions” telah merumuskan lima pilar utama untuk mendukung program dekarbonisasi agar selaras dengan nett-zero pathway, yaitu: [5]

  • Mengoptimalkan produktifitas energi (konsumsi energi per unit GDP) melalui: peningkatan efisiensi energi, pembangunan industri/proses yang hemat energi, dan membudayakan perilaku hemat energi.
  • Dekarbonisasi sektor pembangkit listrik dengan mengganti energi fosil dengan energi terbarukan (matahari, angin, air, biomassa, panas bumi, nuklir, dll).
  • Elektrifikasi di sisi end-user, meliputi sektor transportasi dan alat pemanas (rumah tangga dan industri)
  • Dekarbonisasi sektor bahan bakar dan carrier energi dengan hidrogen, biofuel dan biomassa.
  • Implementasi Carbon Capture Utilization & Storage (CCUS).

Kelima pilar tersebut di atas dapat diterapkan untuk program transisi energi di Indonesia dengan penyesuaian seperlunya, dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber energi yang ada di Indonesia dan tetap berpegang pada prioritas yang telah ditetapkan dalam KEN dan RUEN.

Transisi Energi di Indonesia Menuju NZE 2060: Peluang dan Tantangan

Dalam rangka memenuhi target transisi energi ke depan, beberapa faktor menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program tersebut, yaitu:

  • Potensi sumber energi terbarukan di Indonesia
  • Potensi sumber daya manusia (SDM) yang akan mengelola transisi energi
  • Teknologi energi, yang meliputi teknologi konversi energi primer menjadi energi siap pakai, infrastruktur penyaluran energi, teknologi penggunaan energi (end user), teknologi efisiensi energi, dan teknologi penangkap emisi karbon (CCUS).

Ketiga faktor di atas harus berjalan secara sinkron untuk mewujudkan transisi energi menuju cita-cita NZE 2060.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan energi masa depan. Potensi sumber daya manusia (SDM), dengan jumlah penduduk saat ini yang mencapai sekitar 278,8 juta jiwa (BPS, 2023) dan akan terus bertambah, akan menjadi kekuatan sekaligus tantangan yang besar untuk mengelola sumber daya energi yang ada. Begitu pula perkembangan teknologi energi saat ini juga semakin banyak menjangkau pengelolaan energi terbarukan dengan tingkat efisiensi dan nilai ekonomis yang semakin optimal.

Tantangan besar dari sisi SDM saat ini adalah bagaimana mengupayakan SDM yang handal dalam mengelola sumber energi terbarukan. Kualitas dan etos kerja SDM perlu ditingkatkan melalui pendidikan yang intens dan berkelanjutan. Untuk itu, perlu dukungan pemegang kebijakan, yakni dalam hal ini Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan seluruh elemen masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan. Anggaran Pendidikan di Indonesia yang telah mencapai Rp 612,2 triliun perlu diimplementasikan dengan efektif untuk meningkatkan kualitas SDM.

Sementara itu, tantangan dari sisi teknologi energi juga perlu dituntaskan. Untuk menunjang transisi energi, perlu dibangun fasilitas-fasilitas teknologi energi yang sesuai dengan sebaran sumber daya energi terbarukan di Indonesia (matahari, angin, panas bumi, air, biomassa, dll) dan sesuai pula dengan sebaran penduduk di Indonesia. Untuk itu diperlukan investasi yang masif di sektor energi terbarukan dan juga budaya riset yang handal. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) telah mencatat bahwa investasi energi terbarukan di Indonesia selama tahun 2015 hingga 2022 baru mencapai USD 36,7 milyar dan masih berada di urutan ke-9 di seluruh dunia. Adapun anggaran riset Indonesia saat ini baru mencapai USD 8,2 milyar / tahun dan berada di urutan ke-34 di seluruh dunia (R&D World, 2022). Hal ini memerlukan perhatian dari semua pihak khususnya pemangku kebijakan, agar nilai investasi dan anggaran riset perlu ditingkatkan untuk menunjang program transisi energi dalam waktu dekat. Pemerintah perlu menerbitkan aneka kebijakan yang menarik bagi para investor untuk menanamkan modalnya di sektor energi terbarukan dan memberikan edukasi yang intens kepada masyarakat sebagai pengguna energi agar memiliki budaya yang sejalan dengan program transisi energi, seperti budaya penghematan energi, budaya ramah lingkungan dalam penggunaan energi, dan yang tak kalah penting adalah kesadaran bahwa energi yang ada saat ini adalah bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi yang akan datang (kesadaran akan energy sustainability).

Mewujudkan Transisi Energi yang Berkeadilan Sosial

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 33 tersebut dan seiring dengan kebutuhan adanya transisi energi di Indonesia, maka dalam pelaksanaannya, program transisi energi haruslah berpijak pada azas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Transisi energi tidak boleh hanya memberikan keuntungan / dampak positif pada sebagian kelompok tertentu saja atau menjadikan sebagian kelompok tertentu saja untuk menanggung resiko tanpa mendapatkan ekses positif yang setara. Untuk mewujudkan hal tersebut, peran pembuat kebijakan sektor energi (DPR & DEN) dan pelaksana regulasi sektor energi (Pemerintah) menjadi signifikan. Para pemangku kebijakan tersebut harus menjalankan amanat UUD 1945 dengan sebaik-baiknya demi kemakmuran rakyat.

Dalam rangka mewujudkan amanat UUD 1945, saat ini Indonesia telah memiliki berbagai Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan sektor energi, seperti UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, dan lain-lain. Di samping itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) bersama dengan pemerintah sampai saat ini masih merumuskan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Untuk menghindari adanya potensi tumpang tindih di antara berbagai UU tersebut dalam rangka menopang jalannya transisi energi, perlu dibuat Omnibus Law yang menjangkau seluruh sektor yang berkaitan dengan energi. Para wakil rakyat perlu segera merealisasikan regulasi tersebut agar segera dapat dijalankan oleh Pemerintah (pusat dan daerah) maupun para investor untuk segera merealisasikan program transisi energi yang berkeadilan sosial.

Agar pelaksanaan program transisi energi berkeadilan sosial dapat terwujud, maka penyusunan Omnibus Law di bidang energi dan yang berkaitan tersebut perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

  • Memberikan iklim investasi yang sehat kepada seluruh investor dengan menciptakan perangkat pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang handal serta memberikan keuntungan yang baik bagi investor dengan tetap berpegang pada kemaslahatan yang optimal bagi masyarakat.
  • Mengoptimalkan pemberdayaan sumber energi lokal setempat dengan teknologi yang tepat sasaran untuk dimanfaatkan oleh masyarakat terdekat terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan untuk masyarakat lain yang lebih jauh.
  • Mempertimbangkan tingkat keekonomian masyarakat pengguna energi dalam penetapan tarif energi agar terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
  • Memberikan subsidi bagi masyarakat yang tetap kesulitan mendapatkan akses energi setelah dilakukan optimaliasi pengelolaan energi dengan memperhitungkan keuntungan bagi seluruh stake holder.
  • Mengatur roadmap dan lokasi pembangunan industri dalam kaitannya dengan penggunaan sumber energi primer (sebagai bahan baku maupun sumber energi pemrosesan) agar memberikan kemanfaatan yang optimal bagi masyarakat pengguna produk industri tersebut (konsumen) dengan tetap memperhatikan keuntungan bagi investor.
  • Memfasilitasi BUMN (PLN, Pertamina, dll) untuk bertransformasi sesuai arah program transisi energi agar di masa depan tetap menjadi perusahaan Negara yang unggul dan mampu memberikan keuntungan bagi Negara secara optimal di era energi terbarukan, dengan tetap menjaga azas kemanfaatan bagi masyarakat secara luas di bawah prinsip keadilan sosial.


Kesimpulan

Transisi energi merupakan suatu keharusan seiring semakin meningkatnya pemanasan global akibat penggunaan energi fosil yang massif selama ini. Indonesia, meskipun sebagai negara berkembang dengan emisi CO2 yang tidak sebanyak negara maju, juga memiliki tanggung-jawab untuk turut serta mewujudkan program Net Zero Emission (NZE) untuk mencegah kerusakan alam di masa yang akan datang. Saat ini Indonesia telah memiliki roadmap transisi energi sebagaimana tertera dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2050 yang disusun oleh DEN, yang perlu untuk terus ditingkatkan ataupun disesuaikan dengan perkembangan kondisi di lapangan.

Program transisi energi harus dirancang sebaik mungkin dengan memperhitungkan potensi sumber daya energi yang tersedia, potensi SDM, pertumbuhan penduduk, dan perkembangan kebutuhan energi di masa depan, setidaknya hingga tahun 2060 sesuai program NZE 2060. Beberapa aspek pokok dalam transisi energi antara lain adalah program optimalisasi produktifitas energi (efisiensi energi), dekarbonisasi sektor pembangkit listrik, elektrifikasi di sisi end-user, dekarbonisasi sektor bahan bakar (fuel), dan penerapan CCUS.

Program transisi energi juga perlu mempertimbangkan azas keadilan sosial sebagaimana amanat UUD 1945. Untuk itu, perlu dibuat Omnibus Law di bidang energi dan yang berkaitan dengannya agar pelaksanaan transisi energi yang melibatkan berbagai sektor lain (pertambangan, perminyakan, ketenagalistrikan, keuangan, pertanian dan lain-lain) dapat berjalan dengan lancar dan tanpa tumpang-tindih antar berbagai sektor tersebut. Dengan demikian, diharapkan segala tantangan yang dihadapi dalam transisi energi, seperti tantangan SDM dan teknologi energi dapat diatasi dengan kerjasama yang baik dari semua pihak.

Daftar Pustaka

[1] Rinaldy Dalimi. (2021). Menuju Era Energi Terbarukan. Departemen Teknik Elektro, FTUI.

[2] IESR. (2023). Indonesia Energy Transition Outlook 2023. IESR

[3] IEA. (2023). An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia. IEA

[4] Edwaren Liun, et. al. (2021). Indonesia’s Energy Demand Projection Until 2060. International Journal of Energy Economics and Policy.

[5] Maria Magdalena Ramirez-Corredores, et. al. (2023). Decarbonization as a Route Towards Sustainable Circularity. SpringerBriefs in Applied Sciences and Technology.

[6] IRENA. (2022). Indonesia Energy Transition Outlook. IRENA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun