Mohon tunggu...
Muharningsih
Muharningsih Mohon Tunggu... Guru - Pengurus IGI Kab. Gresik-Pengurus KOMNASDIK KAB. Gresik-Editor Jurnal Pendidikan WAHIDIN

Linguistik-Penelitian-Sastra-Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Anak-Anakku, Kutitipkan Kalian di Pesantren

7 Desember 2024   06:01 Diperbarui: 9 Desember 2024   14:27 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak kedua, santri PP Amanatul Ummah (Sumber: dokpri)

Ngilu hati sama halnya dengan sensasi sakit gigit. Ngilu, satu hal dari benak pikiran berlanjut menjalar membentuk implementasi hati dan terkoneksi dengan rangsangan pedih. Ngilu ditinggal anak mondok, ya itulah rasa sakit yang pernah saya alami. 

Dua dari tiga anak saya, mereka saya ikhlaskan untuk mondok di pesantren. Tahun-tahun pertama liku-liku terjal kerinduan sebagai seorang ibu sangatlah terasa, nyesek di dada. Bahkan jika boleh menengok ke belakang, dulu ketika putri pertama saya masuk pesantren, dua minggu badan saya panas. 

Demam tak kunjung reda akibat ngilu diterpa kangen. Sedikit berbeda dengan adiknya laki-laki, saya berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar melihat anak saya yang kedua itu pamitan masuk asrama pondok. 

Bukan demam yang saya alami, namun lebih kepada persiapkan mental dengan berdamai pada diri sendiri. Inilah pilihanku tuk titipkan anak-anak di pondok pesantren. Putri pertama di Pondok Pesantren Putri Tebuireng Jombang Jawa Timur, lalu putra kedua di Pondok Amantul Ummah Pacet Mojokerto Jawa Timur.

Seiring berjalannya waktu, berseliweran pertanyaan tertuju untuk saya seputar mondokkan anak di pesantren. Kalimat-kalimat tanya yang sering menghampiri saya kurang lebihnya demikian. 

"Kamu kok tega, anak tamat SD disuruh mondok?"

"Kok, mau sih anaknya disuruh mondok, pengen sendiri atau dipaksa ortu?"

"Hati-hati lo, di pondok sering kena bullying kakak tingkat, gak khawatir?"

"Ah, lebih baik anakku di rumah aja, biar deket orang tua."

"Yakin masukin anak di pondok? denger-denger alumni pondok susah ya lanjut studinya di kampus negeri?"

"Biaya mondok, aman di kantong?" 

Enam kalimat interogatif tersebut, pada mulanya bikin ribet siapkan jawaban. Tetapi, kini memasuki tahun ke enam mondoknya anak saya, berbagai uraian sekaligus penjelasan sudah nancap di kepala. Ratusan kalimat siap disuguhkan kepada siapa saja yang bertanya.

Kira-kira begini deskripsinya, dimulai dari pertanyaan pertama hingga terakhir. Tentunya jawaban saya ini adalah pengalaman yang pernah saya alami. Mungkin bagi Kompasianer wali santri miliki pengalaman berbeda.

1. "Kamu kok tega, anak tamat SD disuruh mondok?"

Sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang tua untuk membekali anak-anaknya meraih pendidikan yang layak. Baik dalam pendidikan formal maupun nonformal.

Kenapa saya memilih pesantren sebagai jujukkan anak-anak saya selepas sekolah dasar? Ya, karena di pondok pesantren penambahan materi atau ilmu agama jauh lebih banyak dibanding sekolah umum.

Manajemen waktu, urus uang saku, tingkat kemandirian, kedisiplinan, dan mendalami agama mulai tertata tatkala di pondok. 

Bak pepatah mengatakan "Semakin digosok semakin sip", itulah latihan batin orang tua, apalagi seorang ibu.

Secara psikologis, kepekaan perasaan ibu terhadap anaknya cenderung lebih pekat dibandingkan ayahnya. Perkara ketegaan, kuncinya ada di keikhlasan jiwa. Belajar tega sama halnya dengan piawai beradaptasi terhadap diri kita. Yakni melalui menata niat tuk ikhlas melepas anak-anak dalam menimba ilmu. 

Kedua, beri nasihat kepada anak terkait kemandirian. Perjuangan hidup jauh dari orang tua saat belajar di pondok, akan sangat berdampak terhadap mandirinya si anak.

Pengelolaan emosional didapat saat anak berada di pondok. Biarkan anak merasakan situasi tersebut. Contohnya, jangan mengharap segala hal dapat diraih secara instan. 

Semua butuh proses kesabaran. Bukan pondok, jika segala aktivitasnya jauh dari kata antre. Mulai dari mandi, makan, ambil sandal, menjemur baju, ambil minum, dapat dikatakan harus antre.

Antrian panjang hingga berjubel merupakan pemandangan seru saat mondok. Tahapan antre inilah secara tidak langsung menjadi akar tuntunan dan tuntutan karakter membentuk kesabaran.

Tangkapan layar tiktok, santri mengantri saat hendak masuk sekolah (Sumber: dokpri)
Tangkapan layar tiktok, santri mengantri saat hendak masuk sekolah (Sumber: dokpri)

2. "Kok, mau sih anaknya disuruh mondok, pengen sendiri atau dipaksa ortu?"

Mau tidaknya anak dapat terlihat dari cara pola asuh orang tua. Mau atau tidak adalah sebuah pilihan, seyogyanya sebagai orang tua, kita tidak boleh mencekoki paksaan, terlebih soal pendidikan.

Paksaan orang tua akan membuat si anak merasa stres. Strategi agar anak nurut tuturan orang tua, dapat dipraktikkan lewat komunikasi intens. 

Ciptakan family time, misalkan selepas salat mahrib, buat jadwal khusus untuk obrolkan kegiatan seharian yang telah dilalui oleh masing-masing anggota keluarga. Dulu saya mengajarkan anak kedua untuk mendengarkan saat kakaknya ceritakan serunya tinggal di pondok. 

Dari menyimak, adiknya punya gambaran tentang kehidupan di pondok. Atau saat libur sekolah, katakan di hari Minggu, ajak anak-anak mengunjungi pondok-pondok terdekat. 

Jika hal tersebut tidak memungkinkan maka bisa melalui pencarian pesantren favoritnya di mesin pencarian google. Carikan referensi untungnya mondok di usia pelajar. 

Hampir setiap hari putar terus informasi tentang mondok. Setelah anak menemukan pondok pesantren yang diinginkan, ajak diskusi dan bimbing untuk mendapatkan kemantapan hati.

Berangkat dari penasaran, pengumpulan data, mengeksplor secara daring maupun luring pondok pesantren impiannya, lalu kunjungi secara langsung. Bebaskan anak mengobservasinya. Anak akan bisa terbiasa dengan budaya positif tuk tentukan keputusan tanpa adanya paksaan.

3. "Hati-hati lo, di pondok sering kena bullying kakak tingkat, gak khawatir?"

Marak terjadi perundungan antarsantri maupun kakak atau adik tingkatnya. Tetapi jika ditelusuri kenapa terjadi bullying di pondok, salah satunya karena kesalahpahaman konflik remaja.

Membaranya emosional dan jiwa pertemanan yang kuat menjadi pemicu kakak kelas merundung adik kelas. Senioritas sangat kental di lingkungan pesantren. 

Solusinya, cari pondok dengan penjagaan dan pendampingan satu atau dua ustad dalam setiap kamar. Bagi sebagian pondok sistem tersebut sudah berlaku. 

Fasilitas pondok pun perlu diperhatikan, termasuk adanya pemasangan alat CCTV setiap ruangan, guna meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. 

Lalu bagaimana dengan pondok yang terbatas fasilitasnya? Baik secara SDM maupun sarana prasarananya? Kembali kepada hasil referensi point 2, sudahkan kita sebagai orang tua benar-benar menyaring informasi terkait keamanan dan perlindungan santri? Apabila, nauudzubillah terjadi perundungan, maka jangan segan mencari titik terang perkara tersebut.

 Tuntaskan kasus sesuai prosedur yang sudah ada tanpa kekerasan antarwali santri dan pihak pondok. Tak lupa bekali anak dengan attitude positif. Matangkan pemahaman mengenai konsep antiperundungan sewaktu di rumah, supaya anak tidak menjadi korban ataupun pelaku.

4. "Ah, lebih baik anakku di rumah aja, biar deket orang tua."

Anak merupakan titipan Tuhan, jagalah dia dengan sebaik-baik kemampuan servis orang tua. Hindari terlalu memanjakan anak. Sebab, lima atau sepuluh tahun ke depan, anak akan 'berdiri' dengan kedua kakinya tanpa kita gandeng terus menerus. Lepaskan mereka. Siapkan anak menatap dan jalani masa depannya.

Bagi saya, prinsip memondokkan anak adalah sama menyiapkan kehidupan mereka, saya analogikan roda berputar. 

Kelak seandainya anak kita temui kehidupan mapan dalam banyak aspek, mereka tidak akan sombong, pelit, dan individual. Melihat orang di bawah mereka, baik segi ekonomi, agama, pendidikan, lingkungan kerja, sosial, dll tidak akan mengangkat dagu sambil sesumbar "Inilah saya". 

Seolah jika tidak ada dia, maka semuanya tidak ada artinya. Beranggapan kalau dirinya merasa paling hebat. Sebaliknya, saat mereka di posisi bawah atau kurang mampu, tidak akan meminta-minta dengan mempermalukan diri sendiri. 

Santri berasal dari berbagai suku dan daerah (Sumber: dokpri)
Santri berasal dari berbagai suku dan daerah (Sumber: dokpri)

Interaksi setiap hari di pondok memicu rasa persaudaraan semakin tinggi. 

Banyangkan, jika dalam satu kamar terdiri dari 20-30 santri tanpa adanya hubungan darah, berasal dari berbagai daerah dan suku. Terjadi dalam kurun waktu tiga tahun misalnya dari kelas 7-9 atau 10-12 tanpa rolling kamar, pertemanan menjadi persaudaraan. Kisah suka duka sudah dilewati para santri dengan penuh tantangan. 

Pasca lulus, para alumni santri ini akan terus menjalin silaturohmi satu dengan lainnya. Hal ini tentu berbeda jika anak hanya di rumah dengan intensitas ketemu anggota keluarga yang lebih cenderung miliki karakter dan kebiasaan yang sama. 

Kapasitas jumlah santri di setiap kamar berbeda-beda, sesuai kondisi pesantren.

Suasana tasyakuran santri (Sumber: dokpri)
Suasana tasyakuran santri (Sumber: dokpri)

5. "Yakin masukin anak di pondok? denger-denger alumni pondok susah ya lanjut studinya di kampus negeri?"

Jika niat sudah terurai, insyaAllah ikhtiar dan tawakal akan mengikutinya. Penting untuk difokuskan bahwa memilah dan memilih pondok pesantren dengan rating tinggi sesuai keinginan dan kemampuan anak. Sebetulnya relatif juga untuk pemilihan rating. 

Pondok pesantren modern tidak kalah menariknya dengan salaf. Daya tarik setiap lembaga pendidikan terletak pada keunggulan yang dimiliki. Rata-rata di pondok sudah memberlakukan les privat ataupun kolektif penambahan materi pelajaran untuk persiapkan santrinya menuju bangku sekolah ataupun kampus.

Kelas jenjang akhir pada satuan pendidikan mengambil langkah dengan diadakannya konsultasi siswa ke guru BK perihal studi lanjutnya.

Siapa bilang santri tidak bisa masuk perguruan atau sekolah negeri. Banyak pesantren menerapkan program tahfidz, bahasa, maupun kitab. Berbagai program inilah yang dapat menjadi salah satu out put santri berprestasi. 

Anak pertama saat wisuda tahfidz di Pondok Tebuireng (Sumber: dokpri)
Anak pertama saat wisuda tahfidz di Pondok Tebuireng (Sumber: dokpri)

6. "Biaya mondok, aman di kantong?"

Sebetulnya aman tidaknya urusan kantong bergantung dari cara mengatur pendanaan keluarga. Balance apa tidak antara pendapatan dan pengeluaran. Ingat, anak adalah investasi berharga tiada tandingnya. 

Jauhkan sifat pelit untuk biayai pendidikan anak. Sekali lagi, sasaran tepat terkait referensi pondok pesantren tentang biaya selama anak di pondok perlu dipertimbangkan secara maksimal. Sesuaikan dengan kemampuan orang tua. 

Bentuk solusi seandainya orang tua tidak miliki dana cukup, namun anaknya berminat mondok, manfaatkan beasiswa. Negosiasilah dengan pihak sekolah. 

Percayalah bahwa pesantren juga punyai program beasiswa santri berprestasi, anak yatim, duafa, atau mintalah keringanan dalam waktu atau besaran pembayaran seandainya di pertengahan anak belajar dan kita mendapatkan musibah keuangan.

Rasanya lega bisa menjawab beberapa pertanyaan seputar bagaimana memondokkan anak. Tentang ngilu karena rindu tadi, saya ada obatnya yakni saat wali kelas atau ustad/ustadah pendamping mengirimkan foto anak saya di grup kelas, wah saya pandangi terus tanpa berkedip. Meski hanya gambar di layar HP, penawar rindu itu dapat menghibur diri. Ada yang lebih bikin girang lagi, edaran sambangan telah terbit.

Saya langsung antusias, pergi ke mini market beli jajan untuk anak-anak, list kebutuhan yang akan dibawa saat sambang. Hari H tiba, segera saya bertandang ke pondok. 

Sesampainya di pesantren, raut wajah sumringah terlihat jelas di muka anak saya, kami saling pecah rindu dengan berpelukan, bercengkerama, berlanjut saling curhat. nikmat mana lagi yang kau dustakan. Momen inilah hadiah terindah dari Allah bagi kami para wali santri.

Syukron ya Allah, anak-anakku kutitipkan di pondok atas ridho-Mu. Doa dari ibu senantiasa tercurah untuk kalian. Alhamdulillah, pencapaian kalian di bidang tahfidz sudah di depan mata. 

Jangan lelah untuk terus gali dan syukuri bakat yang diberikan Allah kepada kalian. Karena perlu diyakini, Allah menciptakan hambaNya dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing. 

Thanks anak-anak ibu, kutitipkan kalian di pondok tidak berarti ibu lepas tangan bimbing kalian, semua semata-mata agar kalian dapatkan pengalaman dan mendalami agama. 

Tersenyumlah walau pada posisi tak nyaman sekalipun, kekurangan bekal dan uang saku, terkadang relakan barang pribadi tuk berbagi dengan teman, belajar dan praktikkan ilmu thoharoh, fiqih, tasawuf,akhlak, dll. 

Di pondok kalian diajari bagaimana unggah ungguh terhadap benda mati maupun hidup, tidak kalah pentingnya penguasaan keseimbangan kesehatan sosial emosional antara mental dan fisik.

Kamsia Pondok Putri Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren Amanatul Ummah Pacet, sukses dan barokallah dalam tularkan ilmu kepada para santrinya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun