Setiap mahluk hidup diberikan napas kehidupan oleh Tuhan. Dikasih dan akan diambil. Tinggal tunggu giliran vonis tiket kapan napas terakhir dihembuskan. Merinding jika mendengar kematian. Apalagi kematian yang bisa dikatakan mendadak. Barusan pagi tadi saya melihat almarhum salat subuh berjamaah di masjid namun siangnya dapat kabar jika sudah wafat. Kalimat yang terlontar saat melayat di rumah duka. Anggota keluarga menegaskan jika almarhum tidak mengidap penyakit. Kepergian yang tiba-tiba itulah menjadi pengingat bagi kita semunya untuk 'waspada' dengan kata kematian.Â
Kiranya ilustrasi di atas sudah tidak asing di kebanyakan masyarakat luas. Makna kematian akan terasa dekat jika umur semakin bertambah. Momen ulang tahun bukanlah ajang bergengsi guna memamerkan kemeriahan hari jadi. Meskipun dengan dalih rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Tuhan hingga memasuki angka usia yang semakin mengembang. Logisnya setiap kali milad, perlahan loket liang lahat mulai terbuka sedikit demi sedikit. Kematian itu pasti. Â Tinggal menengok bagaimana progres menyambut malaikat mencabut nyawa terpantau secara signifikan. Jika belum disiapkan dengan baik, maka perlu adanya penajaman bekal.
Terkait penajaman bekal setiap manusia miliki versi masing-masing dalam rancangan akhir hidupnya.  Sebagai anak  perempuan bungsu  yang kental dengan struktur hidup orang Jawa Tengah, maka saya sangat menjunjung tinggi pesan ibu. Salah satu kesiapan kematian yang dulu sering ibu wejangkan kepada saya yaitu "Wong wedok kudu nyambut gawe" (Orang perempuan harus bekerja). Kalimat sederhana nan penuh hikmah. Rasanya tak jemu ibu selalu menggaungkan ke telinga. Saya baru menyadarinya bahwa kalimat tersebut terlontar pasca bapak meninggal dunia. Makna bekal kematian siap  meninggalkan dan ditinggalkan akan saya uraikan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai anak yatim serta disusul kematian kakak laki-laki tercinta.Â
Apa sajakah yang perlu menjadi bekal atau sangu saat meninggalkan dunia?
Pertama, siapkan pendidikan. Memaknai pendidikan tidak hanya bernaung dalam gedung sekolah saja. Rumah menjadi taman belajar pertama dan utama. Siapakah gurunya? Kita sebagai orang tua.  Peran orang tua sangat dinantikan oleh anak-anaknya saat mengenalkan huruf hijaiyah,  tata laksana salat, mengajarkan kesabaran, belas kasih, ketaatan beribadah, hingga bekal dan trik mencari sesuap nasi berdasarkan minat dan bakat anak.  Bekali pendidikan agama  sebagai landasan dunia akhirat.
Mewariskan ilmu tidak sempit pada seputar buku pelajaran. Selain pendidikan agama, pengetahuan umum wajib diberikan seorang suami terhadap istri dan anaknya. Jangan sampai menyesal ketika di penghujung kehidupan, namun belum nyangoni anggota keluarga terkait pendidikan. Tidak perlu sekolah mahal, asalkan miliki niat ibadah dan akan mendapat barokah Allah. Jadi, jangan sampai pelit terhadap anggota keluarga tentang pendidikan. Jika punyai harta lebih, bolehlah anak di sekolahkan ke pondok pesantren. Memang bagi sebagian orang pesantren tidak menjamin anak menjadi lebih sholeh. Tetapi minimal sudah ngantongi ilmu agama dan belajar bersosialisasi.Â
Kedua, penuhi dan bekali finansial. Sudah menjadi kewajiban bagi laki-laki menafkahi keluarga. Jangan biarkan anak dan istri kelaparan setelah ditinggal mati. Kelola finansial seefektif mungkin. Manajemen keuangan disusun sejak dini. Sehingga jika ajal menyapa, setidaknya persiapan untuk merawat jenazah dan segala keperluan tahlil 7 hari, 40 hari, haul setiap tahun sudah terpenuhi secara ekonomi. Belum lagi untuk keperluan sehari-hari istri dan anak. Sisihkan  minimal 10 persen setiap penghasilan bulanan untuk tabungan masa depan. Tak lupa, berikan kepada orang tua jika ada kelebihan. Keluarkan zakat.Â
Satu hal yang perlu digaris bawahi, yakini bahwa Allah akan menjamin kecukupan hidup seseorang yang telah ditinggal oleh suami. Allah mudahkan segala hal untuk masa depan anak yatim. Karena Allah sudah berjanji bahwa tidak akan menguji umatNya di luar batas kemampuan.
Ketiga, suplai pemenuhan kesehatan mental anggota keluarga. Urgensi kesehatan mental layak untuk diperioritaskan. Mengapa orang tua perlu berikan kenyamanan kesehatan mental? Jawabannya lebih mudah dibandingkan praktiknya. Jika kesehatan mental terpenuhi dengan baik, maka roda kehidupan akan mengalir tanpa keraguan. Anak dan istri saat ditinggalkan tidak akan depresi karena sudah terbiasa dengan budaya positif. Tidak terlena berlebihan dengan duka, sebab diimbangi dengan senantiasa mengingat Allah, bahwa kematian sudah menjadi takdir. Legowo menerima kondisi dan mengisi hari-hari menghadiahkan Surat Al Fatihah serta khatamkan Al Quran khusus bagi almarhum.
Kesehatan mental berikutnya digunakan untuk menyiapkan bahwa anak dan istri yang ditinggalkan tidak akan sombong saat hidup bergelimpangan harta. Begitu juga sewaktu kondisi keluarga di 'bawah' tidak akan merasa hina dan malu hingga lakukan hal yang tidak diinginkan.Â