Merangkai biduk rumah tangga bukanlah perkara mudah. Selain menyatukan dua mahluk Tuhan dengan latar belakang berbeda, menikah merupakan ibadah terpanjang dalam sejarah hidup. Misteri jodoh semisteri roda rumah tangga. Bagi yang menjalani ikatan pernikahan, menikah tidak sekadar memadupadankan pasangan, namun lebih dari bagaimana masing-masing person saling memahami satu sama lain hingga anggota keluarga besarnya. Mertua, ipar, saudara sepupu, om, tante, nenek kakek dari pasangan, dst perlu memahami dan dipahami oleh dan untuk kita. Kata memahami bermakna global. Memahami dalam konteks banyak hal membutuhkan proses sekaligus waktu yang belum pasti kapan berhasilnya.Â
Bicara memahami pasangan dan keluarga besarnya tak cukup seperti melipat tisu makan. Tisu perlu perlakuan lebih supaya tampil estetika. Dibutuhkan modal kehadiran hati dan mental super kuat agar tisu bisa digunakan di atas meja tanpa cacat. Ilustrasi tisu tak semestinya dianalogikan dengan sulitnya menyuguhkan pola estetika atau hormanisasi antar keterampilan tangan versus siapa yang menggunakannya pada cakupan berumah tangga . Gambaran kolaborasi memahami, tisu makan, pasangan, bahkan sampai keluarga besar menyeret istilah mertua dan menantu.
Dibalik sakralnya hubungan suami dan istri, terdapat jalinan menantu dan mertua. Dua subjek penentu poros kebahagiaan keluarga. Anggapan sikap mertua sangat dipengaruhi oleh menantu, tidak dapat ditepis bagi sebagian orang. Asumsi yang tak kalah banyak beredar yakni  sikap menantu merupakan jiplakan perilaku mertuanya dulu. Sebetulnya hormanisasi mertua dan menantu mudah diterapkan jika kedua belah pihak saling memahami. Nah, untuk menggapai kata memahami, seorang mertua dan menantu perlu perhatikan hal-hal berikut.
 Jangan koreksi menantu cara mendidik anak
Mertua bijak tidak akan mendekte perkara pola asuh dan didikan menantu terhadap cucunya. Perkembangan zaman dengan segala perubahan menyatukan titik pemahaman bahwa masa kecil mertua sangat berbeda dengan zaman cucunya. Misalnya, bagi ibu mertua yang cenderung suka bawel mengetahui si cucu saat bayi sudah belajar renang. Ketakutan mertua yang berlebih andai cucunya terserang flu dan demam serta jatuh sakit merupakan alasan utamanya komentari pola asuh menantu. Contoh lain, menantu dianggap tidak lazim berikan edukasi seks sejak dini terhadap cucunya.
Bagi menantu berikan pengertian kepada mertua jika bayi butuh interaksi dengan air. Manfaat renang di masa kecil bisa meningkatkan kognitif, mengurangi risiko tenggelam, memperbaiki pola tidur, lebih dekat dengan orang tua, dan mengatur keseimbangan. Orang tua senantiasa mendampingi bayinya renang sehingga si anak terlindungi. Jasa pelatih propfesional renang bagi bayi pun sudah mengakar dimana-mana. Selain mengenalkan air kepada si kecil, renang mampu membantu perkembangan motorik anak.Â
Santun ketika memberikan pemahaman kepada mertua menjadi kunci bagi menantu supaya kesan menggurui maupun membantah tidak melekat di diri menantu. Untuk permasalahan edukasi seks sejak dini, ajak diskusi mertua terkait fenomena zaman now tatkala gawai pengaruhi pergaulan anak. Seputar seks hendaknya pertama kali dikenalkan orang tua kepada anak. Ajari anak untuk tidak diperbolehkan disentuh organ vitalnya oleh orang lain. Bagaimana menghadapi masa puber hingga mandi wajib. Bekali dan praktikkan tentang mandi wajib setelah haid dan mimpi basah. Ajarkan bahwa kehamilan di luar nikah bisa terjadi jika anak tidak hati-hati menjaga diri. Tiada ruginya dan sudah bukan hal tabu lagi kalau sex education sangat dianjurkan.
Jangan mengkritik menantu melalui menantu lainnya
Tak pantas rasanya jika para menantu dijadikan bahan pembicaraan oleh mertua. Diyakini atau tidak, toh kelak ketika mertua berlanjut usia, peran menantu sangat dibutuhkan. Jika miliki banyak menantu, jangan sesekali membongkar tabiat jelek dihadapan menentu lainnya. Keceplosan bicara mertua dengan salah satu menantu dapat dijadikan topik pembicaraan antar menantu saat hubungannya dengan mertua tidak stabil. Hal tersebut memicu adu domba dan tak jarang berakhir perselisihan.Â
Dibilang susah tidak juga, namun dikatakan mudah kok ya ada susahnya, kiranya itulah tanggapan banyak menantu saat ditanya bagaimana memperlakukan sikap mertua yang sering mengkritik menantunya melalui orang lain. Ada dua langkah yang bisa dipilih untuk mengatasi situasi tersebut.Â
Satu, andai perselisihan antara mertua dan menantu atau menantu dan menantu lainnya tak kunjung bermuara damai, maka bisa memilih untuk mendatangi mertua.  Bangun suasana damai dan tanggalkan emosional diri, meski menantu merasa terus disalahkan. Jangan ragu untuk saling memaafkan.  Tanamkan pengertian untuk tidak mengulangi hal yang sama.  Perlu adanya pelukan antara menantu dan mertua sebagai simbol bahwa keduanya kembali harmonis guna bangkitkan ikatan batin. Sebelum berjumpa mertua, pastikan  masalah tersebut sudah tersampaikan kepada pasangan kita. Cari solusi terbaik yang hendak dibicarakan ke mertua.Â
Pilihan dua, untuk tipe menantu yang tidak bisa menunggu terlalu lama. Langsung berikan klarifikasi melalui telepon maupun chat kepada mertua terkait kritikan yang dilontarkan. Katakan sebenarnya yang terjadi. Jujur jauh lebih penting ketimbang menumpuk kebohongan. Tetap biasakan hormati mertua melalui bahasa opening dan closing 'cantik'.Â
Jangan paksakan anak dan menantu tinggal bersama mertua
Bentuk sayangnya mertua terhadap pasangan kita, tidak menutup kemungkinan dalam hal tempat tinggal. Â Geografis pembuatan rumah seolah dilegalkan oleh orang tua. Mertua hendaknya berikan keleluasaan kepada anak dan menantunya untuk memilih mau berdomisili dimana. Takut andai anaknya tidak bisa mandiri setelah menikah dan khawatir anaknya kekurangan secara materi, sepertinya menjadi salah satu alasan bagi orang tua yang masih saja memanjakan anak untuk tinggal satu atap dengannya. Disadari atau tidak, leluasa tinggal sendiri dan jauh dari mertua bisa meminimalisir masalah terhadap mertua. Jarangnya kontak fisik setiap hari mampu menghindari 'petaka' rumah tangga.
Andai menantu dan pasangan belum miliki rumah, sebisa mungkin menabunglah untuk menata keuangan sewa maupun cicil rumah. Hidup tanpa bayangan mertua ibarat air mengalir hingga persinggahan terakhir. Bebas hidup sendiri, demikian orang menyebutnya. Tidak ada rasa sungkan andai bangun kesiangan, bisa leluasa ungkapkan kegelisahan ketika sedang berseteru dengan pasangan, dan tak kalah penting mampu ciptakan vibes positif terhadap mertua secara berkelanjutan.
Jangan minta diprioritaskan oleh anak
Masih merasa punyai hak prerogatif terhadap anaknya, mertua kadang ambil langkah salah. Hegemoni mertua begitu kental. Tidak dibenarkan bahwa mertua selalu menjadikkan dirinya senantiasa diprioritaskan. Sang anak sudah beralih memikul tanggungjawab terhadap menantu dan cucunya. Dari urusan makan, antar ke rumah sakit, selalu ingin ditemani anaknya. Contoh konkret di kehidupan sehari-hari, mertua menuntut anaknya hadir dalam acara keluarga besar, namun secara kebetulan  menantu tidak bisa hadir dan sudah minta izin berhalangan datang, tapi mertua tidak legowo menerimanya. Tak anyal, terkadang ketidakmampuan anak dan menantu prioritaskan orang tua  sebabkan keretakan hubungan keluarga.
Banyaklah menimba pengalaman hidup baik melalui orang lain maupun keluarga sendiri, bahkan bisa mengikuti kelas pengajian guna cadangan aksi nyata untuk masa depan. Jadilah mertua dan menantu dengan kapasitas masing-masing. Saling memahami dengan cara sering bangun  komunikasi terbuka namun tetap pada koridor etika keagamaan dan adat yang berlaku. Karena ibadah terpanjang ini akan membawa kita menjadi 'murid maupun guru' saat menjalani kehidupan. Sekarang peran kita menjadi anak, lalu menantu, kemudian berubah pada posisi mertua. Maka kendalikan kesehatan mental sebagai amunisi berprasangka baik terhadap orang lain. Buanglah aura negatif, apalagi terhadap mertua atau menantu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H