"Bandar Grissee Gresik punya tempat sampah estetika?"
Anda sudah pernah beranjangsana ke Gresik? Kota industri penuh polusi namun datangkan banyak rezeki. Tidak hanya tersohor sebagai kota santri, Gresik berperan penting dalam islamisasi di Jawa Timur. Tak lain dan tak bukan karena Gresik tempat singgah jaringan jalur rempah internasional. Ada sebab, ada akibat. Buntut jalur rempah internasional membuahkan serangkaian etnis di Gresik. Secara geografis etnis-etnis tersebut hidup berdampingan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etnis merupakan sesuatu berkaitan dengan kelompok sosial dalam sistem atau kebudayaan sosial yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Jadi etnis dapat dikatakan sebagai 'petanda/pembeda' antara satu golongan sistem sosial terhadap sistem lainnya. Â Setidaknya Gresik mengantongi empat etnis: Jawa, Arab, Cina, dan Madura.
Empat etnis di Gresik miliki gaya partikular masing-masing. Kekhasan tersebut dilambangkan pada ikon tempat sampah di lingkungannya. Kenapa harus tempat sampah? Ya, dikarenakan kawasan Bandar Grissee sekarang ini menjadi incaran para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.Â
Para pengunjung dimanjakan dengan aneka jajanan mulai dari camilan, kopi, sampai makanan berat. Aktivitas kuliner menimbulkan sampah. Sampah-sampah ditampung pada  wadah yang semestinya, yakni tempat sampah. Nampaknya, Pemerintahan Daerah Kabupaten Gresik tidak mau sembrono ketika mendesain tempat sampah tersebut.Â
Berikut penampakan tempat sampah estetika kawasan Bandar Grissee Gresik
1. Pertama, tempat sampah warna hijau berjajar rapi paling dekat ikonik Bandar Grissee. Miliki 12 pasang tong sampah. Tertuliskan "Organik dan Non-organik", tersirat persuatif bahwa pembuang sampah diperintahkan memilah sendiri sampah mana yang tergolong organik maupun non-organik.Â
Contoh sampah pada bilah organik seperti sisa makanan, kotoran hewan, dedaunan, kulit buah dan lain sebagainya. Sedangkan plastik pembungkus makanan, tutup kaleng, kaca, kardus kertas, dan seterusnya merupakan  benda-benda 'penghuni' tong non-organik.Â
Enam pasang tempat sampah berada di jalur kanan dan enam lainnya di kiri pada sepanjang Jalan Basuki Rahmat. 'Si Hijau' berdimensi segi enam ini menjadi pelengkap diantara gedung-gedung megah nan besar bercorak kolonial Belanda seperti: gedung Polsek Gresik, kantor pos, Bank Gresik, Delodji Cafe and Resto, rumah dinas Wakil Bupati Gresik.Â
Selain gedung terdapat menara kuno lain yang tak kalah bernilai sejarah, namanya Gardu Suling. Jika dilacak fungsinya, gardu suling  mengeluarkan suara berupa sirene sebagai petanda saat buka puasa telah tiba. Ilustrasi gardu suling dapat dijumpai pada si hijau bagian tubuhnya (warna putih: dapat dilihat pada gambar berikut).
2. Kedua, desain tempat sampah dominan coklat bergaris putih. Sepuluh, jumlah hitungan angka lebih sedikit dibandingkan tempat sampah pertama. 'Si coklat bergaris' tidak mengenakan istilah organik dan non-organik, lebih lugas tertera "Basah dan kering". Dikarenakan masih lingkup Jalan Basuki Rahmat, maka posisi sentral ikonik gardu suling tepat di antara lima garis putih. Â
3. Ketiga, bertolak dari Jalan Basuki Rahmat, tempat sampah estetika nuansa Cina dapat dijumpai sepanjang Jalan Setia Budi. Tepatnya mulai dari Gereja Pantecosta sampai pertigaan Radio Elbayu. Mengusung warna emas, dominasi hitam, dan merah mempercantik desainnya. Â
Dibagi menjadi tiga bagian utama, atas bagian tutup, tengah tertuliskan organik dan non-organik ornamen Cina. Â lalu bagian bawah gambaran orang sedang membuang sampah menghadap ke kiri dikelilingi tiga panah arah jarum jam. Kurang lebih 300 meter hanya tersedia lima pasang tempat sampah. Tutup sampah divisualkan miniatur atap klenteng.
4. Keempat,serupa namun tak sama dengan tempat sampah ketiga. Hal yang membedakan yakni lokasi. Terletak di Jalan Wachid Hasyim. Area Setia Budi sisi kanan jalan, masuk kategori pada bagian ini. Tempat sampah estetika rata-rata bersanding dengan tiang lampu jalan. Â
Jika dicermati tiangnya juga senada dengan tempat sampah baik ornamen maupun warnanya. Pembeda yang kedua tanpa ada warna merah. Hitam dan emas menjadi daya tarik tersendiri. Bilah kanan tertuliskan kering. Sampah basah dapat dimasukkan pada bilah kiri.Â
Ditemukan kode tiga panah yang umumnya tertera di tong sampah. Hadir di tengah pemukiman masyarakat, setiap 2-3 rumah penduduk Pecinanan Gresik difasilitasi tempat sampah ciamik tersebut. Total ada 25 pasang.
Selanjutnya bagaimana kaitan letak tempat sampah dengan multietnis di Gresik?
Sepanjang Jalan Basuki Rahmat dipenuhi para pedagang kaki lima. Mayoritas berasal dari etnis Madura. Maka gaya tampilan tempat sampah dibuat sederhana namun penuh makna karenaterdapat ikonik gardu suling. Â
Gaya penulisanpun menggunakan latin tanpa adanya ornamen khusus. Sayangnya ditemukan 2 tempat sampah dalam kondisi kurang terawat. Fungsi gardu suling yang telah diutarakan sebelumnya, membuktikan bahwa muslim Gresik hidup damai dalam multietnis Jawa dan Madura.
Selanjutnya, Jalan Setia Budi dan Wachid Hasyim merupakan daerah Pecinan Gresik. Dapat dijumpai Klenteng Kim Him Kiong, salah satu klenteng tertua di Jawa Timur.Â
Selain klenteng terdapat pula kompleks sekolah Kristen bersebelahan dengan sekolah Islam, yakni SD Setia Budhi dan SMP-SMA Darul Islam. 'Kampung mesra' julukan multietnis antara Cina-Jawa- dan sebagian Arab.
Pembuktian berbagai etnis di Gresik saling menghormati satu dengan lainnya. Penempatan dan desain tempat sampah sarat sejarah dan geografis. Bayangkan jika empat bentuk tempat sampah  tersebut dirancang secara sederhana, maka kiranya tidak akan ada tulisan ini.Â
Hal tersebut menandakan bahwa Pemkab Gresik  selain peduli terhadap lingkungan dan sampah, tetap mengindahkan estetika, nilai jual sejarah, dan mengenalkan multietnis melalui benda yang disebut tempat sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H