Di masa remajanya, Soekarno bukan hanya seorang pemuda cerdas dengan semangat besar terhadap ilmu dan perjuangan, tetapi juga seorang pemuda yang pernah merasakan pahitnya cinta yang tak direstui. Salah satu cinta yang paling membekas dalam hidupnya adalah kisahnya dengan Mien Hessels, seorang gadis Belanda yang pernah mengisi relung hatinya.
Kisah ini tertuang dalam Buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams (2011), Salah satu kisah Soekarno muda bertemu noni cantik bernama Mientje Hessels alias Maria Gesina Wilhelmina, lahir pada tahun 1902, anak dari Thomas Wiggert Hessels dari Amsterdam.
Pertemuan mereka terjadi saat Soekarno bersekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya. Mien Hessels, dengan paras khas Eropanya, berhasil menarik perhatian Soekarno. Baginya, Mien bukan sekadar gadis cantik, melainkan seorang dewi yang ia puja. Cintanya begitu dalam hingga ia berani melamar Mien kepada orang tuanya.
Sebelum bertemu dengan Mien Hessels, Soekarno mudah jatuh hati pada noni-noni Belanda. Saat menempuh pendidikan di HBS Surabaya, ia kerap menjalin hubungan asmara dengan gadis-gadis negeri oranye ini.
"Hanya ini satu-satunya cara yang kutemukan untuk menunjukkan keunggulanku atas bangsa kulit putih dan membuat mereka tunduk padaku," ungkap Soekarno mengenai alasannya. Hmm..Memang Keren Pak Karno ini
Dalam buku otobiografinya, disebutkan beberapa nama gadis yang pernah mengisi hatinya. Ada Pauline Gobee, putri salah seorang gurunya, serta Laura, yang dalam beberapa sumber lain disebut sebagai Laura Fikenscher. Ia juga memiliki hubungan dengan kakak beradik dari keluarga Raat, dua gadis Belanda yang menjadi pujaan hatinya.
"Menaklukkan seorang gadis kulit putih dan membuatnya tergila-gila padaku adalah soal kebanggaan," ujar Soekarno.
Namun, segalanya berubah ketika Soekarno bertemu dengan Mien Hessels. Sejak saat itu, pesona noni-noni Belanda lain memudar. Ia begitu terpikat pada Mien, gadis yang ia gambarkan sebagai "bunga tulip berambut pirang dan berpipi merah muda."
Setiap kali Mien naik atau turun dari trem, Soekarno selalu berusaha menarik perhatiannya. "Aku rela mati untuknya, jika dia menginginkannya," katanya dengan penuh rasa cinta. Ke mana pun Soekarno pergi, Mien selalu diajak, bahkan dibonceng dengan sepeda.
Rasa cintanya begitu besar hingga ia memberanikan diri melamar Mien. Dengan hati berdebar, Soekarno yang saat itu baru berusia 18 tahun membulatkan tekad untuk menemui ayah gadis pujaannya. Ia mengenakan pakaian terbaiknya dan datang ke rumah keluarga Hessels, meski di dalam hati diliputi kegugupan.