Kehebatan Jung Jawa juga tercatat dalam dokumen sejarah abad ke-16 oleh Gaspar Correia, yang menyebut kapal ini tahan terhadap tembakan meriam terbesar. Dari empat lapisan papan kapal, hanya dua lapis yang mampu ditembus. Hal ini menjadi bukti bahwa kapal ini tidak hanya besar, tetapi juga sangat kuat.
Namun, yang membuat Jung begitu istimewa bukan hanya ukurannya yang mengagumkan atau kemampuannya menempuh lautan luas, melainkan juga jiwa para pelaut di dalamnya. Nenek moyang kita dikenal sebagai pelaut ulung, pemberani yang menjelajah tanpa takut.
Mereka mengandalkan bintang-bintang sebagai penunjuk arah, memahami angin, arus laut, dan cuaca dengan insting yang tajam. Dari merekalah kita belajar bahwa laut bukanlah penghalang, melainkan jalan untuk bersatu dan berkembang.
Pada masa kejayaan Majapahit di abad ke-14, Jung Jawa memainkan peran penting sebagai kapal angkut militer. Armada perang Majapahit yang terdiri dari 400 kapal dikelompokkan ke dalam lima armada besar. Kapal-kapal ini mampu menampung hingga 800 prajurit dengan panjang mencapai 50 depa atau sekitar 100 meter.
Bahkan, kapal berukuran kecil memiliki panjang sekitar 33 meter dan kapasitas hingga 121 prajurit. Lambat laun, fungsi kapal-kapal ini beralih menjadi kapal dagang karena kapasitasnya yang sangat besar.
Niccolò da Conti, seorang penjelajah abad ke-15, mencatat bahwa kapal dagang Jawa memiliki ukuran lebih besar dibandingkan kapal Flor de La Mar (salah satu kapal Galleon) Galleon adalah sejenis kapal yang digunakan oleh bangsa Eropa untuk berlayar di Samudera Hindia.
Kapal Flor de La Mar kapal terbesar milik Portugis saat itu. Berdasarkan buku “Majapahit Peradaban Maritim” karya Irwan Djoko Nugroho, ukuran Jung Jawa mencapai 4 hingga 5 kali lipat dari kapal Flor de La Mar, dengan kapasitas angkut hingga 2.000 ton.
Catatan Duarte Barosa menegaskan bahwa Jung Jawa digunakan untuk perdagangan antara Asia Tenggara dan Timur Tengah, membawa barang seperti beras, daging, emas, sutra, kamper, dan kayu gaharu.
Kemana Kapal Jung sekarang ?