Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... Lainnya - Penggiat Sejarah

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Priyayi Baru: Dari Birokrasi Kolonial Hingga ASN Masa Kini

22 Januari 2025   18:05 Diperbarui: 22 Januari 2025   18:21 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Disclaimer: Narasi ini disusun berdasarkan ulasan analisa sejarah yang didasarkan pada fakta-fakta logis dari buku "Perkembangan Peradaban Priyayi" karya Sartono Kartodirdjo dan A. Sudewo Suhardjo Hatmosuprobo. Tulisan ini tidak bertujuan untuk mendiskreditkan kalangan tertentu, melainkan lebih kepada refleksi dan introspeksi bahwa mungkin saja pola pikir ini turut membentuk masyarakat kita saat ini. Ada nilai-nilai baik dan buruk di dalamnya, dan menjadi tugas setiap individu untuk berusaha memilih yang terbaik berdasarkan pemahaman masing-masing.

Pada masa kolonial, struktur sosial masyarakat Jawa mengalami perubahan signifikan yang melahirkan berbagai dinamika sosial. Salah satu fenomena yang menarik untuk disoroti adalah munculnya golongan priyayi baru, yang sering disebut sebagai homines novi atau "orang baru" dalam struktur kelas sosial. 

Mereka bukanlah bagian dari priyayi tradisional yang berasal dari garis keturunan ningrat, melainkan individu-individu yang mendapatkan status tersebut melalui jalur karir atau pendidikan yang diberikan oleh pemerintahan kolonial.

Golongan priyayi baru ini lahir dari kalangan rakyat biasa atau priyayi rendah yang berhasil mendaki tangga sosial berkat keberhasilan mereka mengenyam pendidikan formal "ala Barat" waktu itu. 

Pendidikan ini menjadi kunci utama yang membuka pintu mereka ke dalam dunia priyayi gede atau priyayi lama, menyerap gaya hidup dan nilai-nilai yang melekat pada kalangan elite tersebut.

Dengan pendidikan dan posisi baru ini, mereka menjadi bagian dari semesta kepriyayian yang sebelumnya tertutup bagi kalangan di luar garis keturunan bangsawan.

Dalam suasana feodal-tradisional dengan hierarki sosial yang ketat dan kekuasaan yang cenderung otoriter, para priyayi baru menghadapi tuntutan untuk beradaptasi dengan nilai-nilai yang mengakar kuat dalam budaya priyayi.

Sikap hormat kepada atasan, penghargaan pada senioritas, dan loyalitas tanpa syarat menjadi norma yang harus mereka patuhi. Lingkungan yang demikian membentuk karakter khas para priyayi baru, yang sering kali berorientasi pada karir dan menjaga hubungan baik dengan atasan mereka.

Karakter ini berkembang seiring terbatasnya interaksi mereka dengan kelompok sosial lain, seperti pedagang, wiraswasta, dan pengrajin. Dalam masyarakat Jawa pada masa itu, golongan priyayi baru adalah kelompok kecil yang terisolasi dalam tatanan sosial yang ketat.

Akibatnya, muncul mentalitas yang cenderung konformistis, ritualistis, loyal terhadap otoritas, dan menyukai status quo. Mereka mengedepankan stabilitas dan harmoni, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional.

Mentalitas ini tercermin dalam sikap lahiriah yang tenang, stabil, dan terkendali. Pengendalian diri menjadi hal utama, di mana kritik terhadap atasan jarang diungkapkan secara terbuka, dan konflik dihindari sejauh mungkin. 

Dalam interaksi sosial, kehalusan perilaku dianggap sebagai tolok ukur "keberadaban" seorang priyayi. Nilai-nilai ini menjadi dasar dalam membentuk priyayi karir yang moderat, tidak radikal, dan mendukung kestabilan sistem yang ada.

Priyayi baru pada masa kolonial memainkan peran penting dalam birokrasi kolonial sebagai Indlandsche Bestuurs Ambtenaar (pegawai negeri pribumi). 

Mereka menjadi simbol dari individu yang setia, tekun, dan rajin melaksanakan tugas. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengejar ketenangan, kesejahteraan, dan kehormatan dalam posisi mereka.

Relevansi mentalitas priyayi baru ini mungkin dapat ditemukan dalam konteks Aparatur Sipil Negara (ASN) di zaman sekarang. 

ASN sebagai penerus birokrasi di Indonesia modern sering kali dituntut untuk menunjukkan sikap profesionalisme, loyalitas, dan stabilitas dalam menjalankan tugasnya. 

Meski sistem feodal telah berlalu, nilai-nilai seperti penghormatan terhadap hierarki, pengendalian diri, dan orientasi pada stabilitas masih terasa dalam kultur birokrasi.

Namun, berbeda dengan masa kolonial, ASN saat ini dituntut untuk lebih adaptif terhadap perubahan, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, dan berorientasi pada pelayanan publik. 

Modernisasi dan demokratisasi menuntut para ASN untuk mengedepankan transparansi, inovasi, dan keberanian mengambil inisiatif. 

Meski demikian, warisan nilai-nilai priyayi baru dapat menjadi pijakan yang berharga dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas dan dinamika yang diperlukan untuk membangun birokrasi yang efisien dan humanis.

Kisah priyayi baru mengingatkan kita pada kompleksitas perubahan sosial dalam sejarah Indonesia. Mereka adalah saksi hidup dari bagaimana pendidikan dan karir dapat menjadi alat mobilitas sosial di tengah keterbatasan. 

Mentalitas mereka mencerminkan upaya manusia untuk bertahan dan beradaptasi, sekaligus menginspirasi generasi penerus untuk memanfaatkan peluang yang ada demi menciptakan perubahan yang lebih baik.

Referensi:

Kartodirdjo, S., & Hatmosuprobo, A. S. S. (1987). Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun