Akibatnya, muncul mentalitas yang cenderung konformistis, ritualistis, loyal terhadap otoritas, dan menyukai status quo. Mereka mengedepankan stabilitas dan harmoni, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional.
Mentalitas ini tercermin dalam sikap lahiriah yang tenang, stabil, dan terkendali. Pengendalian diri menjadi hal utama, di mana kritik terhadap atasan jarang diungkapkan secara terbuka, dan konflik dihindari sejauh mungkin.Â
Dalam interaksi sosial, kehalusan perilaku dianggap sebagai tolok ukur "keberadaban" seorang priyayi. Nilai-nilai ini menjadi dasar dalam membentuk priyayi karir yang moderat, tidak radikal, dan mendukung kestabilan sistem yang ada.
Priyayi baru pada masa kolonial memainkan peran penting dalam birokrasi kolonial sebagai Indlandsche Bestuurs Ambtenaar (pegawai negeri pribumi).Â
Mereka menjadi simbol dari individu yang setia, tekun, dan rajin melaksanakan tugas. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengejar ketenangan, kesejahteraan, dan kehormatan dalam posisi mereka.
Relevansi mentalitas priyayi baru ini mungkin dapat ditemukan dalam konteks Aparatur Sipil Negara (ASN) di zaman sekarang.Â
ASN sebagai penerus birokrasi di Indonesia modern sering kali dituntut untuk menunjukkan sikap profesionalisme, loyalitas, dan stabilitas dalam menjalankan tugasnya.Â
Meski sistem feodal telah berlalu, nilai-nilai seperti penghormatan terhadap hierarki, pengendalian diri, dan orientasi pada stabilitas masih terasa dalam kultur birokrasi.
Namun, berbeda dengan masa kolonial, ASN saat ini dituntut untuk lebih adaptif terhadap perubahan, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, dan berorientasi pada pelayanan publik.Â
Modernisasi dan demokratisasi menuntut para ASN untuk mengedepankan transparansi, inovasi, dan keberanian mengambil inisiatif.Â
Meski demikian, warisan nilai-nilai priyayi baru dapat menjadi pijakan yang berharga dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas dan dinamika yang diperlukan untuk membangun birokrasi yang efisien dan humanis.