Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... Lainnya - Rakyat Jejaka

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Kahar Muzakkar: Sang Patriot yang Memberontak

11 Januari 2025   15:16 Diperbarui: 11 Januari 2025   15:19 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengulas sosok Kahar Muzakkar teringat cerita dari Eyang saya yang pendengarannya memburuk karena efek ledekan mortir saat penumpasan Kelompok Kahar Muzakkar di Hutan Sulawesi. Saat saya tanya," Mengapa kok ditumpas? " Jawabnya "karena Berkhianat pada Negara" Dari cerita ini saya tertarik akan belajar Sejarah, karena saat di masih sekolah Pemberontakan Kahar Muzakkar masuk dalam pelajaran sejarah. Namun hanya dijelaskan singkat dan jawaban mengapa memberontak serta relevansinya untuk siswa kurang bisa di mengerti.

Sosok Kahar Muzakkar bisa memiliki berbagai sudut pandang: bagi sebagian orang, ia adalah pejuang yang memperjuangkan hak-hak daerahnya, sementara bagi yang lain, ia dianggap pengkhianat karena memberontak melawan pemerintah pusat.

Abdul Kahar Muzakkar lahir pada 24 Maret 1921 di Luwu, Sulawesi Selatan, dan tumbuh sebagai pemuda dengan jiwa nasionalisme yang tinggi. Saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, ia memimpin laskar rakyat melawan tentara Belanda. Ia mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS) yang kemudian menjadi Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS), bagian dari Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang diakui secara nasional. Pada 19 September 1945, Kahar bahkan menjadi pengawal Soekarno dan Hatta dalam Rapat Raksasa Ikada, membawa parang sebagai perlindungan dari ancaman tentara Jepang. 

Tidak hanya itu, Kahar Muzakkar mendirikan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) untuk melawan Belanda. APIS bergabung dengan KRIS, dan Kahar ditunjuk sebagai sekretaris dengan tugas membentuk cabang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

Awal Konflik dengan Pemerintah Pusat

Ketika Indonesia merdeka, pemerintah membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai pengganti laskar-laskar perjuangan. Kahar Muzakkar mengusulkan agar pasukan rakyat yang dipimpinnya di Sulawesi Selatan, yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), diintegrasikan ke dalam TNI tanpa seleksi. Namun, usulan ini ditolak. Kahar merasa kecewa karena perjuangan pasukannya dianggap tidak dihargai.

Ada dua alasan yang mendorong Kahar Muzakkar memberontak terhadap pemerintahan Presiden Sukarno, yang sebelumnya didukungnya. Pertama, Kahar tidak dapat menerima keputusan pemerintah pusat yang hanya menerima sebagian kecil anggota "Brigade Hasanuddin" sebagai bagian dari pasukan resmi, meskipun mereka telah berjuang keras. Kedua, ia merasa tidak sepakat dengan kecenderungan Presiden Sukarno yang mulai menerima pengaruh ideologi Komunis. Kekecewaan lainnya karena (KRIS) justru dikuasai golongan Minahasa-Manado. 

Penolakan ini memicu pemberontakan. Pada 1950, Kahar membawa pasukannya ke hutan dan menyatakan perlawanan terhadap pemerintah pusat. Tak lama setelah itu, ia bergabung dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosoewirjo. Pada 7 Agustus 1953, Kahar resmi menyatakan Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia.

Untuk mengatasi pemberontakan Kahar Muzakkar, pemerintah pusat menempuh berbagai upaya guna membujuknya dan pasukannya agar kembali tunduk pada pemerintah. Penawaran amnesti dan abolisi sempat diajukan kepada anggota DI/TII yang bersedia menghentikan perlawanan, tetapi tawaran tersebut ditolak. Akibatnya, pemerintah melancarkan operasi militer dengan sebutan "Operasi Bharatayudha" mengerahkan pasukan seperti Divisi Siliwangi dan Kompi BRIMOB untuk menumpas gerakan DI/TII yang dipimpin Kahar.

Mengapa Harus Ditumpas?

Gerakan Kahar Muzakkar dan DI/TII dianggap ancaman serius terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cita-cita mereka mendirikan negara Islam bertentangan dengan prinsip Pancasila dan keberagaman Indonesia. Pemerintah, di bawah pimpinan Soekarno, berkomitmen menjaga keutuhan NKRI, sehingga pemberontakan bersenjata semacam ini dianggap tidak dapat ditoleransi.

Pemberontakan Kahar Muzakkar berlangsung lebih dari satu dekade, menjadikannya salah satu perang gerilya terlama dalam sejarah Indonesia. Dengan strategi gerilya di hutan lebat Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar membuat pemerintah kesulitan menumpas gerakannya. Namun, perlahan kekuatannya melemah akibat operasi militer intensif. Kahar akhirnya tewas dalam penyergapan pada 3 Februari 1965.

Pelajaran dari Sejarah ini

Kisah Kahar Muzakkar memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Pertama, pentingnya mendengar aspirasi daerah dan menjaga keseimbangan pusat-daerah. Ketimpangan pembangunan dan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan daerah dapat memicu konflik berkepanjangan.

Kedua, kepemimpinan karismatik seperti Kahar dapat menggerakkan massa, tetapi tanpa dialog dan kompromi, konflik sulit dihindari. Indonesia yang beragam membutuhkan pendekatan inklusif untuk merangkul semua elemen bangsa.

Di era otonomi daerah, semangat desentralisasi seharusnya menjadi pelajaran dari sejarah. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah diperlukan untuk menciptakan keadilan sosial dan meratakan pembangunan, demi mencegah konflik serupa di masa depan.

Kahar Muzakkar meninggalkan jejak yang kontroversial dalam sejarah Indonesia. Ia adalah pejuang dan intelektual yang meninggalkan sejumlah karya, termasuk Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia dan Tjatatan Bathin Seorang Pedjoang Revolusioner. Karya-karya ini menunjukkan bahwa meskipun ia memilih jalan pemberontakan, ia tetap seorang pemikir yang peduli pada masa depan bangsa. Bagi generasi sekarang, mengenal kisah Kahar bukan hanya untuk mengingat masa lalu, tetapi juga untuk meraih hikmah demi membangun Indonesia yang lebih baik.

Referensi :

Nasution, Kaka Alvian. Sang Prajurit Pemberani. Yogyakarta: Laksana, 2017. 

Aisyah, Nur., Patahuddin, dan Ridha, H. M. Rasyid. Baraka: Basis Pertahanan DI/TII di Sulawesi Selatan (1953-1965), Jurnal Pattingalloang, Pemikiran dan Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan, Vol 5 No. 2 April-Juni 2018, h. 49-60. 

Hakiem, Lukman. Dari Panggung Sejarah Bangsa: Belajar dari Tokoh dan Peristiwa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, (n.d.). 

Usman, Syafaruddin. (2010). Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar. Yogyakarta: Penerbit NARASI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun