Gerakan Kahar Muzakkar dan DI/TII dianggap ancaman serius terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cita-cita mereka mendirikan negara Islam bertentangan dengan prinsip Pancasila dan keberagaman Indonesia. Pemerintah, di bawah pimpinan Soekarno, berkomitmen menjaga keutuhan NKRI, sehingga pemberontakan bersenjata semacam ini dianggap tidak dapat ditoleransi.
Pemberontakan Kahar Muzakkar berlangsung lebih dari satu dekade, menjadikannya salah satu perang gerilya terlama dalam sejarah Indonesia. Dengan strategi gerilya di hutan lebat Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar membuat pemerintah kesulitan menumpas gerakannya. Namun, perlahan kekuatannya melemah akibat operasi militer intensif. Kahar akhirnya tewas dalam penyergapan pada 3 Februari 1965.
Pelajaran dari Sejarah ini
Kisah Kahar Muzakkar memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Pertama, pentingnya mendengar aspirasi daerah dan menjaga keseimbangan pusat-daerah. Ketimpangan pembangunan dan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan daerah dapat memicu konflik berkepanjangan.
Kedua, kepemimpinan karismatik seperti Kahar dapat menggerakkan massa, tetapi tanpa dialog dan kompromi, konflik sulit dihindari. Indonesia yang beragam membutuhkan pendekatan inklusif untuk merangkul semua elemen bangsa.
Di era otonomi daerah, semangat desentralisasi seharusnya menjadi pelajaran dari sejarah. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah diperlukan untuk menciptakan keadilan sosial dan meratakan pembangunan, demi mencegah konflik serupa di masa depan.
Kahar Muzakkar meninggalkan jejak yang kontroversial dalam sejarah Indonesia. Ia adalah pejuang dan intelektual yang meninggalkan sejumlah karya, termasuk Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia dan Tjatatan Bathin Seorang Pedjoang Revolusioner. Karya-karya ini menunjukkan bahwa meskipun ia memilih jalan pemberontakan, ia tetap seorang pemikir yang peduli pada masa depan bangsa. Bagi generasi sekarang, mengenal kisah Kahar bukan hanya untuk mengingat masa lalu, tetapi juga untuk meraih hikmah demi membangun Indonesia yang lebih baik.
Referensi :
Nasution, Kaka Alvian. Sang Prajurit Pemberani. Yogyakarta: Laksana, 2017.Â
Aisyah, Nur., Patahuddin, dan Ridha, H. M. Rasyid. Baraka: Basis Pertahanan DI/TII di Sulawesi Selatan (1953-1965), Jurnal Pattingalloang, Pemikiran dan Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan, Vol 5 No. 2 April-Juni 2018, h. 49-60.Â
Hakiem, Lukman. Dari Panggung Sejarah Bangsa: Belajar dari Tokoh dan Peristiwa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, (n.d.).Â