Dalam moderasi beragama diperlukan prinsip-prinsip, antara lain: komitmen kebangsaan, anti kekerasan, berorientasi pada kemaslahatan umum dan menghargai kearifan lokal. Moderasi beragama muncul sebagai salah satu solusi kehidupan sosial, di tengah tantangan kemajuan global ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK) dan potensi masalah disintegrasi antar-anak negeri, khususnya bangsa Indonesia.
Potensi konflik sosial menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Indonesia dengan megadiversitas tinggi, meliputi keanekaragaman sosial (multikultural, aspek sumber daya manusia/SDM) sekaligus keanekaragaman hayati dan potensi biofisiknya (biodiversitas, aspek sumber daya alam/SDA). Selanjutnya, fenomena Cyber-sectarian[5], sebagai sektarian gaya baru berbasis internet dan media sosial, juga menjadi salah satu tantangan praktik moderasi beragama di era kemajuan IPTEK dan kelanjutannya: Era Informasi[6] hingga Era Disrupsi (Inovasi)[7], sekarang ini.Â
Peran agama dalam masyarakat megadiversitas ini sangat penting, baik dalam pengelolaan SDM maupun SDA. Agama dapat menjadi pemantik sekaligus peredam potensi konflik sosial di 'Negeri Surgawi'[8], bernama Indonesia (Nusantara). Agama menjadi pemantik konflik sosial manakala praktik dan pemahaman agama belum tepat dan cenderung disalahgunakan (dipahami secara tekstual), dan berlebihan. Beberapa ironi praktik beragama tersebut melahirkan kekerasan atas nama agama (fisik-non fisik, individu-komunal, verbal-non verbal) dan potensi konflik sosial lain yang memicu adanya disintegrasi bangsa.Â
Namun, jika pemahaman dan praktik keberagamaan tersebut sudah tepat, maka agama akan menjadi peredam sekaligus alat pemersatu bangsa melalui toleransi beragama. Moderasi beragama merupakan salah satu ikhtiar untuk mewujudkan toleransi beragama tersebut, hingga terwujud mayarakat harmoni. Menurut Penulis, masyarakat harmoni menjadi impian bagi para pribadi salih dalam berinteraksi dengan sesama.[9]
Â
Kampung Jaton : Legacy 'Sang Imam' di Tanah Minahasa
Apa hubungan Tuanku Imam Bonjol dan moderasi beragama? Menurut Penulis, Tuanku Imam Bonjol, dan para pahlawan pejuang lainnya yang dibuang di Minahasa, merupakan figur yang meninggalkan warisan baik (legacy) terkait praktik moderasi beragama. Segala spirit/semangat moderasi beragama tersebut  telah dilakukan oleh dipraktikkan secara baik oleh Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya.Â
Mereka, para pendakwah tersebut, menjadikan Islam benar-benar sebagai rahmatan lil 'alamien, sehingga bisa  bergaul dengan baik dengan masyarakat setempat, mengakui perbedaan, tanpa kekerasan dan tetap menghormati kearifan lokal masyarakat Minahasa. Mereka mengamalkan ayat Al Qur'an, termasuk ayat yang Penulis kutip di atas (QS.Al Hujurat ayat 13). Bahkan, sebagai suami bagi para puan Minahasa, mereka memuliakan istri-istri mereka serta para orang tua, sehingga diterima baik oleh masyarakat Minahasa.
Hingga sekarang, masyarakat Minahasa dan Provinsi Sulawesi Utara pada umumnya terkenal sebagai salah satu pelaksana praktik moderasi beragama, warisan dari Tuanku Imam Bonjol dan para tokoh adat Minahasa sebelumnya. Praktik tersebut bukan bersifat temporal atau musiman (musim hajat politik misalnya), tapi sudah menjadi bagian kehidupan sosial masyarakat Minahasa, dari hubungan kekeluargaan, pesta adat (perkawinan-kedukaan-panen hasil bumi) dan lain sebagainya.Â
Penghormatan masyarakat Minahasa terhadap para tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat tinggi, apapun agamanya, dari mana pun asalnya. Bahkan, makam Tuanku Imam Bonjol berada di bagian selatan Kota Manado, tepatnya di Desa Pineleng.Hingga sekarang kompleks makam Tuanku Imam Bonjol, dengan corak bangunan Minangkabau, masih sering dikunjungi para peziarah[10] maupun wisatawan lokal.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Jawa,_Tondano_Utara,_Minahasa