Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mangrove Kao: Kriya Ekoteologi Negeri 1000 Pulau

22 Agustus 2022   10:34 Diperbarui: 22 Agustus 2022   10:38 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2. Penanaman mangrove Kao melibatkan generasi muda dan kaum perempuan (Dokpri)

Kao dan Negeri 1000 Pulau

Kao merupakan salah satu desa di wilayah administrasi Kecamatan Kao, Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Provinsi Maluku Utara (Malut). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Halmahera Utara tahun 2020, jumlah penduduk Desa Kao berkisar 1.836 jiwa[1] (perempuan 900 jiwa, laki-laki 936 jiwa) dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 606 KK. Sebagian besar, masyarakat Kao bermata pencaharian di sektor pertanian, disusul nelayan, jasa, juga karyawan di pemerintah dan perusahan. Secara sosial, masyarakat Kao berlatar belakang suku yang beragam, dari suku asli di wilayah Kao (Suku Kao, Pagu, Modole dan Boeng) hingga suku pendatang seperti Suku Makian, Bugis, Jawa dan lainnya. 

Desa Kao merupakan desa tertua di Kecamatan Kao, seiring pembentukan Kabupaten Halut tahun 2003. Dalam sejarahnya, masyarakat Kao pun tak luput dari trauma sejarah kelam konflik horisontal di Ambon (Maluku) pada awal Reformasi sehingga melahirkan provinsi baru, Malut (1999). Menurut Thamrin Amal Tomagola, Sosiolog Universitas Indonesia sekaligus putra daerah Halut (Galela), konflik di Maluku -khususnya Malut yakni di sepanjang Pulau Halmahera dan sekitarnya- merupakan kekerasan komunal yang dipicu oleh persoalan perbedaan identitas sosial, perebutan akses sumber daya alam/SDA dan kekuasaan/politik[2].

Sebagai bagian wilayah administrasi terkecil dari Provinsi Malut, sejatinya Desa Kao merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kepulauan Moloku Kie Raha (nama identitas sosio-kultur Malut). Sebagai wilayah yang secara  geografis berbentuk kepulauan, maka karakteristik DAS Malut adalah DAS Kepulauan yang terbentuk dari beberapa DAS Pulau dengan ekosistem alami DAS masing-masing pulau yang spesifik, baik pulau besar  maupun  pulau-pulau kecil di sekitarnya[3]. Berbekal karakteristik DAS Kepulauan tersebut, sebagian elemen masyarakat Malut sekarang sedang memperjuangkan terbitnya Peraturan Daerah Pengelolaan DAS Kepulauan Provinsi Maluku Utara.

Berdasarkan  hasil  review  penyusunan peta batas DAS skala 1:50.000 tahun 2017, Malut terdapat 3.568 DAS[4]. Desa Kao sendiri berada di DAS Teluk Kao dengan luasan 242,45 Ha. Jumlah DAS yang bermuara di Kabupaten Halut sebanyak 255 DAS dan luas 377.122,84 Ha, dengan DAS terluas adalah DAS Ake Jodoh yaitu seluas 106,715.87 Ha.

Terminologi 'Negeri 1000 Pulau' penulis angkat untuk menggambarkan kondisi wilayah Malut. Dengan luasan wilayah sebesar 3.148.431,35 ha, Malut merupakan  daerah kepulauan  yang terdiri dari 805 buah pulau besar dan kecil, sekitar 82 pulau yang dihuni dan 723 pulau yang belum dihuni[5]. Menurut Wikipedia.org, jumlah pulau sebanyak 1.474 pulau, terdiri dari 89 pulau berpenghuni dan 1.385 pulau tak berpenghuni[6]. 

 

SDGs dan Mangrove Kao

Berdasarkan data dokumen Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk-RHL DAS) Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai Wilayah Kerja BPDAS Ake Malamo 2014, Malut punya lahan mangrove dan sempadan pantai sekitar 55.322,61 hektar[7]. Khusus hutan mangrove di Malut, ada 46.259,41 hektar dengan kategori rapat 29.848,83 hektar dan kurang rapat 16.410,58 hektar. 

Menurut data terbaru Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Ake Malamo[8], Provinsi Malut memiliki potensi mangrove seluas 41.228,7 ha yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota[9]. Pada kurun waktu 2010-2017, terjadi penurunan luasan mangrove di Malut sebanyak 5.030,71 ha (10,87 %) dari luasan sebelumnya tahun 2010, yakni 46.259,41 ha. Hal ini disebabkan oleh adanya konversi mangrove menjadi lahan pertanian dan pemukiman, pembuangan sampah padat dan cair, pencemaran tumpahan minyak dan reklamasi pantai. Tekanan penduduk tinggi berakibat terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan pantai, seperti kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan di daerah pantai.  

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030[10]. Tujuan TPB/SDGs telah menjadi salah satu pengarusutamaan (mainstreaming) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020 -- 2024, sehingga parapihak bisa membuat peta kontribusi dalam upaya pencapaian target-target pada 17 Goals SDGs tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun